Lampu kamar yang sudah
menyala kemudian mati dengan sendirinya. Tanganku meraba sakelar, sebelum
sampai lampu sudah menyala kembali. Ini terjadi sampai berulang kali. Tiba-tiba
angin berembus kencang di dalam kamar, meliuk dan berputar semakin kencang.
“Ah!” teriakku, saat
angin itu seolah mengangkat tubuh ini.
Lamat-lamat masih kudengar
suara Mas Dion sambil berusaha membuka pintu kamar.
“Sa!” teriakku lagi
sambil berusaha mendekati tempat tidur dan melihat tubuh mungil itu sambil
memeluk lutut memandang tajam ke arahku.
“Sa! Kamu enggak
apa-apa ‘kan? Sayang?” tanyaku lagi sambil menatap iba wajah polosnya yang
pucat dengan tatapan hampa.
Angin itu tiba-tiba
berhenti meliuk-liuk di dalam kamar dan menghilang.
Srek!
Tirai jendela bergerak
terbuka dan tertutup sendiri dengan tiba-tiba.
“Astaghfirullahaladziim!”
teriakku saat menatap sesosok bayangan hitam pada jendela kamar.
“Widya!” teriak Mas
Dion kembali dari luar kamar.
Segera kupeluk tubuh
Sa, agar tak melihat sosok hitam itu. Sementara angin berembus kembali dan
membawa bau amis darah yang kian menusuk hidung, membuat mual. Kepalaku terasa
berat, sambil menatap nanar pada wajah Sa dan berusaha tersenyum. Pelukanku
semakin erat dan semakin dingin saat tubuh ini menyentuh tubuh Sa. Dingin dan
dingin!
Dalam hitungan detik
semua berubah, lampu kamar kembali menyala. Tirai jendela pun tidak lagi
bergerak terbuka dan tertutup. Dan sosok bayangan hitam itu pun menghilang.
Perlahan-lahan angin yang mengembuskan aroma amis darah dalam kamar pun seakan
menjauh.
“Widya!” teriak Mas
Dion sambil berusaha membuka pintu kamar.
Bergegas aku turun dari
tempat tidur membukakan pintu kamar.
“Wid! Kamu baik-baik
saja?” tanya Mas Dion menatapku khawatir. Sambil tersenyum aku mengangguk.
“Apa yang terjadi
barusan di dalam kamar, Wid?” tanyanya kembali dengan nada penasaran.
“Sstt! Nanti
kuceritakan ya, Mas. Sekarang kita keluar dulu, kasihan Sa ingin istirahat,”
jawabku sambil melirik melihat ke arah Sa yang menutupi wajah dan tubuh mungilnya
dengan bantal. Segera kami keluar menuju ruang tamu.
Setelah aku menyuguhkan
segelas teh hangat dan beberapa gorengan yang kami beli tadi , sambil duduk di
lantai, kemudian Mas Dion bertanya kembali.
“Ceritakan apa yang
terjadi di dalam kamar tadi, Wid? Kamu berteriak ketakutan saat beristighfar
seperti ada sesuatu telah terjadi,” katanya sambil memakan pisang goreng.
“Aku juga sebenarnya
enggak mengerti, Mas. Sejak menemukan Sa di pinggir sungai, awalnya seperti ada
sesuatu, namun tidak tahu apa,” jawabku sambil menghela nafas.
“Sesampainya di rumah,
kejadian itu terulang kembali pada saat malam sebelum tidur. Serta tadi pagi
ketika aku membuka tirai kamar. Dan sekarang terjadi lagi hal yang nyaris sama
dan berulang membuatku merinding sebenarnya, kemudian hilang begitu saja.”
Sambil menahan napas, kemudian aku meneguk teh hangat untuk menenangkan diri.
Sebelum aku memulai cerita
lagi, Mas Dion kemudian bertanya kembali, “Maksud kamu, kejadian
seperti apa? Wid?”
“Ketika di tempat
pembuangan sampah, tiba-tiba ada angin berembus cukup kencang dan meliuk di
sekitar situ, hingga pepohonan perdu yang berada di sekitarnya pun bergerak.
Kemudian aku mencium bau amis darah yang sangat kental sampai membuatku mual,”
kataku sambil menahan mual kembali.
“Kemudian semalam hal serupa terjadi lagi di dalam kamar sebelum tidur. Tadi pagi pun
demikian saat bau amis darah itu menyengat hidung seolah memenuhi kamar, lalu
muncul sesosok bayangan hitam di jendela
dan pintu kamar, mempermainkan tirai dan pintu kamar yang bergerak sendiri.
Sampai barusan pun demikian, Mas.” Sambil menahan mual, nanar mataku menatap
Mas Dion.
Tiba-tiba ...
“Selamat malam, Mbak
Widya dan Mas Dion! Maaf jika kami mengganggu, tadi kami mendengar ada suara teriakan,
ada apa ya?” tanya Mang Darmin, tetangga sebelah aku bersama dengan Kang Itong
dan Bang Jaka.
“Enggak ada apa-apa,
Mang Darmin, tadi Widya kaget karena lampu kamar putus, mati mendadak saat
masuk ke dalam,” jawab Mas Dion menutupi semua yang terjadi sambil melirik ke
arahku, kemudian tersenyum.
“Baiklah, jika memang
tak ada apa-apa, jika nanti Mas Dion tidak ada, bisa meminta bantuan kami
tetangga di sini ya, Mbak?” Bang Jaka tersenyum sambil menawarkan jasa padaku.
“Iya, terima kasih
banyak ya, Mang, Kang Itong dan Bang Jaka,” jawab kami berbarengan, kemudian
mereka pun berpamitan.
Setelah berbincang
sesaat, sambil menenangkan aku dan mengatakan semua akan baik-baik saja, kemudian Mas Dion berpamitan.
“Wid, kamu jangan lupa
makan. Berikan baju itu padanya Sa. Mungkin saat ini Dia masih malu sama
Mas. Besok siang Mas ke sini lagi, sekalian kita laporan sama Pak RT Maman
tentang keberadaan Sa di rumah kamu ya, Wid? Semoga saja Dia segera bertemu
dengan orang tuanya,” ucap mas Dion sambil memakai jaket.
“Nanti makanannya juga
berikan ya, Wid? Ada coklat, roti dan pemen serta makanan ringan lainnya,”
Sambil berjalan ke luar Mas Dion masih saja berbicara.
“Iya, Mas! Iya!” aku
menyela sebelum Dia berbicara lagi
Lalu kami pun tertawa
bersama, kemudian Mas Dion mengerdipkan sebelah matanya sambil tersenyum mesra.
Ah!
Segera kualihkan
pandangan, karena sudah pasti merona pipi ini. Tak lama Mas Dion pergi, segera pintu
dan jendela aku kunci. Sambil merapikan gelas dan juga ruang tamu, kemudian
salat Isya, segera kutemui Sa sambil membawakan plastik berisi pakaian dan
makanan ringan untuk Sa.
Ketika di kamar, Sa
sudah tertidur, lalu kuselimuti dan meletakkan pesanan Mas Dion, di atas
meja. Kemudian aku berbaring di sampingnya, tiba-tiba ...
Angin berembus kencang
kembali dalam kamar, bau amis darah itu mulai memenuhi ruangan. Segera kutarik
selimut, berdoa dan memejamkan mata.
Brak!
Tiba-tiba pintu kamar
terbuka!
Segera kupeluk tubuh mungil
Sa, dingin!
DR.
Bekasi, 29 Maret 2018
19:19
Posting Komentar untuk "SANIA (3) Oleh Dewy Rose."