Dingin malam ini mulai
menusuk ke tulang. Apalagi selepas hujan deras yang masih menyisakan rinai
hujannya, hingga membuat udara malam bertambah dingin. Ya, karena malam ini aku
pulang agak larut sebab ada lemburan mendadak dari kepala bagian tadi. Sebagai
seorang karyawan sebuah pabrik, saat ada lemburan seperti itu sangatlah
diharapkan. Setelah turun dari bis jemputan, kemudian menyebrangi sungai
dengan getek, semoga saja masih ada. Sesampainya ditempat getek, masih kulihat
lentera menyala di tengahnya.
Alhamdulillah! rupanya waktu masih berpihak, batinku. Setelah menuruni jalan yang sedikit
licin, sampailah menaiki getek.
Seraut wajah lelaki yang
mulai keriput, sambil menyesap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal sedikit,
kemudian menikmatinya sebelum mengembuskan asapnya. Tak lama menunggu setelah
membuang sisa rokoknya, kemudian getek itu bergerak perlahan. Terlihat berat
saat menarik kawat baja yang menghubungi antara sungai pinggir jalan menuju
bibir sungai di perkampungan tempat tinggalku. Karena sengaja mencari tempat
tinggal yang berada di perkampungan, agar sewanya lebih murah dan juga masih
ada kekeluargaan di sana dalam kehidupan bermasyarakat. Setelah sampai, segera
kumasukan uang sepuluh ribu rupiah,
dengan tersenyum sebagai tanda terima kasih, lalu Bapak itu segera membereskan
kotak tempat uang karena ingin pulang juga.
Menaiki jalan dari
pinggir sungai dengan cahaya remang, harus lebih hati-hati. Karena kondisi
jalan yang becek, hingga licin sehabis hujan. Kemudian berbelok ke arah kanan
menuju rumah kontrakan, harus melalui jalan sedikit gelap, tempat pembuangan
sampah warga di semak pinggir sungai lalu sampai pada warung pojok, Pak Dullah
yang biasa buka hingga pagi dan jadi pangkalan para petugas keamanan juga.
Sambil melirik jam pada
handphone, terlihat pukul 21:47, sudah
malam sekali, batinku lagi. Memang kemalaman sekali pulang lembur kali ini.
Sebab bus karyawan yang tadi ditumpangi, mendadak kempes bannya dan supirnya harus mengganti dengan ban serep, memakan waktu ditengah perjalanan
tadi. Karena sudah bilang di awal dengan Pak Supir jika akan turun di
pinggir sungai, maka mobil membelok arah barat, jalan pintas hanya menyebrangi
sungai lalu sampai. Jika lewat arah timur, arah yang berlawanan, aku berpikir
akan lama sampai, karena harus memutar arah jalan raya, melewati pasar dan
memutar balik kembali agar sampai pada perbatasan kampung dan perumahan elite
sebelahnya.
Ketika melewati semak
tempat pembuangan sampah warga, aromanya mulai menyengat bahkan jalan semakin
gelap, karena minimnya penerangan di kampung. Tiba-tiba ...
“Srek!”
“Astaghfirullahaladziim!”
ucapku setengah berteriak.
Dan ... bulu kuduk
mulai berdiri, saat tiba-tiba aroma sampah berubah menjadi bau amis! Ya, bau
amis darah! Saat teringat, bahwa ini adalah malam jumat, semakin berdiri bulu
kuduk ini. Segera senter pada handphone kunyalakan. Dengan memberanikan diri
sambil terus membaca surat Alquran, mata ini berkeliling memperhatikan jalan,
dengan langkah memburu. Kemudian ...
“Huhuhuhu!”
Terkejut diri ini saat mendengar suara tangisan, kemudian senter segera kuarahkan pada sumber
suara, namun tidak ditemuka seseorang di sana. Sambil terus memacu langkah
setengah berlari, karena mendengar suara tangisan yang semakin jelas. Hingga dikagetkan pada sesosok anak kecil sambil berjongkok menundukkan kepalanya
yang sudah ada di depanku!
“Ah!” teriakku karena
kaget.
Namun segera berhasil menguasai diri. Perlahan mendekati tubuh mungil itu. Walau bau amis darah
semakin menyengat.
“Adik! Kenapa menangis?
Tinggal di mana?” tanyaku sambil terus mendekat dan berusaha jongkok.
Secara tiba-tiba anak
itu mendongakkan wajahnya!
“Ah!” teriakku lagi
karena terkejut sambil mundur kebelakang.
Kemudian anak kecil itu
berdiri, perlahan namun pasti berjalan ke arahku.
Ya Tuhan! Lindungilah hambamu ini, aku terus berdoa dalam hati. Sambil memejamkan
mata. Derap langkah kaki itu kian mendekati! Serasa copot jantung ini, saat sosok
mungil itu menyentuh jemari, dingin sekali tubuhnya. Ketika membuka
mata dan terlihat wajahnya yang pucat pasi dengan sorot mata kosong. Seraut
wajah polos itu seakan mengiba, lalu dengan penuh kasih segera kugenggam erat
tangan mungilnya.
Ah, mungkin saja anak ini kehujanan, hingga
menggigil kedinginan dan wajahnya pucat karena lapar juga, batinku menenangkan diri.
Setelah melewati warung
Pak Dullah, tak lama memasuki gang sampailah kami di rumah kecil, di antara
deretan rumah kontrakan yang lainnya, berjejer kanan dan kiri. Melihat wajahnya
yang pucat, dengan pakaian warna biru muda yang sudah kotor karena cipratan
tanah saat hujan, segera saja mencari baju keponakan pada saat menginap di sini
sebulan yang lalu bersama Mbakyu-ku dari Cirebon.
Dia hanya menoleh
sesaat, ketika tanganku menggenggamnya menuju dapur dan masuk kamar mandi untuk
membersihkan badannya. Selepas itu kami makan bersama,
Dia pun memakannya dengan lahap. Seolah lapar sekali hingga netraku mengembeng.
Ketika melihatnya makan, kemudian bertanya,
“Adik, namanya siapa?
Tinggal di mana?” Bukannya menjawab, namun tiba-tiba wajahnya menatapku tajam!
Sambil bibir pucatnya seakan ingin mengucapkan sepatah kata.
“Saaa!” ucapnya lirih,
nyaris tak terdengar!
“Sa? Namamu, Sa?”
tanyaku kembali.
Sambil tersenyum,
kemudian dia mengangguk dan melanjutkan makan kembali.
Tanpa terasa malam
telah larut dan kulihat Dia sudah terlelap. Segera kututupi tubuhnya dengan
selimut.
Ah! Dingin sekali badannya, batinku.
Tiba-tiba bulu kudukku
merinding kembali! Sesaat angin berembus membelai wajah, mempermainkan anak
rambutku dan bau amis darah itu tercium kembali!
DR.
Bekasi, 15 Maret 2018
20:22
Posting Komentar untuk "SANIA oleh Dewy Rose."