SEBUAH PETUNJUK
Oleh: Ela Sri H
"Tidak
mungkin. Mata dan hidungmu, bibirmu, persis. Ini tidak mungkin," lelaki
itu terus saja mengatakan hal-hal yang tidak kupahami. Dia menyentuh wajahku
dengan jemari yang bergetar. Sekitar sepuluh menit beliau gunakan untuk
linglung. Sementara itu, kakiku semakin mati rasa.
"Tolong
saya, Pak Tua. Tolong saya,"
***
"Lo
gak pingin jadi wartawan, Grace?"
Aku
menangkap sebotol air mineral yang Vina lemparkan. "Gila lo!"
umpatku, disambut tawa Vina. Botol yang dia lempar nyaris tak tertangkap
olehku, terlalu tinggi. Sedangkan tak jauh dari botol itu terbang, seorang
dosen lelaki sibuk memakan nasi rawonnya.
"Maaf,
Pak" ucapku sesantun mungkin. Beliau mengangguk dan tersenyum. Syukurlah
bukan dosen killer.
Vina
mengacungkan dua jarinya sambil meminta maaf. Aku meliriknya tajam.
"Jadi,
lo gak pingin jadi wartawan?" Vina mengulang kembali pertanyaannya, di
tegukan ke duaku.
"Buat
apa?" jawab gue singkat.
"Buat
cari duwitlah. Lo punya bakat, kenapa gak dicoba?"
Aku
menatap eyeliner Vina yang luntur terkena kringat, kemudian mendengus pelan.
"Lo tahu, kalau gue jadi wartawan. Apa yang bakal terjadi sama tulisan gue
setelah gue mati?" ucapku dengan mulut yang penuh akan makanan.
"Abadi.
Lo bakal diingat banyak orang. Masa depan bakal mengenang Grace Olivia sebagai
seorang wanita muda dengan pemikiran yang luar biasa. Keren!" keringat di
sekitar mata Vina menetes saat dia mengatakan itu. Keringat berwarna hitam, aku
sedikit tersedak melihatnya.
"Apa
cuma ada itu di otak lo? Aiys. Pantas saja nilai lo jelek di mata kuliah Pak
Darmin," kataku dengan senyum lebar.
"Wah!
Ngajak berantem ni anak. Gue baru aja selesai makan, segala lo bahas itu dosen
gila. Wah! Parah lo, Grace," Vina bahkan belum sadar ada garis hitam di
mukanya saat dia membuat banyak orang di Kantin menatapnya sekarang.
Aku
buru-buru menyuruhnya memelankan suara, sebelum dia termakan emosi lebih dalam.
Dia selalu marah setiap kali membicarakan wakil dekan satu itu. Karena jarang
mengisi absen di kelas beliau, Vina kesulitan mendapatkan nilai. Bahkan saat
dia sudah mengerjakan banyak tugas dari beliau, nilainya tetap C. Aku suka
meledeknya, dia lucu saat marah karena orang itu.
"Waktu
mengubah banyak hal, Sis. Termasuk kehidupan sosial dan politik di Negeri ini.
Jika menjadi wartawan, tulisan dan opini gue terhadap apa yang terjadi saat ini
abadi. Tidak akan berubah bahkan jikapun gue mati," aku menengguk kembali
minumanku.
"Dan
gue gak tahu ke mana waktu akan membawa kehidupan sosial dan politik di Negeri
ini. Bahkan bencana alam pun bisa mereka jadikan modal untuk nampang di media.
Jika gue jadi wartawan, bukan tidak mungkin tulisan gue membantu melancarkan
usaha beberapa orang yang memiliki tujuan tidak baik di kemudian hari,"
selesai bicara kutunjukan sebuah cermin ke muka Vina. Mulutnya menganga seketika,
membuatku tertawa kecil.
"Tapi
gue tetep pingin jadi penulis, Vin. Penulis fiksi, seperti J.K. Rowling keren
kan? Jadi lo harus nemenin gue, ya!" aku tidak pandai merayu, tapi kucoba.
Keberanianku belum cukup besar untuk pergi sendiri ke tempat baru.
"Masih
pingin ke tempat di mimpi lo? Dasar orang aneh lo, Grace" ujar Vina masih
dengan tisue basah dan bedaknya.
"Lo
mau kan? Ya? Please!"
Vina
menatapku sejenak, kemudian mengangguk pelan. Aku tertawa lega. Meski hobi
tidur di Kelas dan sering memaksaku berbohong pada dosen, Vina nyaris selalu
bisa kumintai bantuan.
"Gue
mau ajak Fikar. Lo gak boleh nolak. Titik," ujar Vina singkat dan darah
gue melonjak naik.
"Lo
gila, Vin!"
***
Wanita
tua itu mengelus rambutku, kemudian memelukku dengan sangat erat. Dia menangis,
semua orang di Gubug ini menangis. Saat aku datang bersama Pak Tua yang mengaku
bernama Karno itu, mereka semua menatapku seperti melihat hantu. Dan sekarang
mereka menangis.
"Tenanglah,
Sari. Seluruh warga sedang mencari mereka bersama Karno," ujar salah satu
di antara mereka. Ya, mereka selalu memanggilku dengan nama Sari. Entah siapa
itu Sari.
"Makanlah,
kepok dan srundeng kesukaanmu," ujar seorang wanita yang sedari tadi sibuk
di dapur. Jika saja bibirku tak sakit untuk terbuka, aku pasti sudah membuka
mulut lebar-lebar. Dari mana beliau tahu aku suka makanan ini?
***
Aku
terbangun dengan keadaan jantung yang berdetak kencang sekali. Fikar dan Vina
menatapku panik. Beberapa waktu setelah mereka memberiku minum, tubuhku lemas
sekali. Perlahan air mataku keluar, takut.
"Lo
mimpi lagi?" tanya Vina sembari mengelus punggung tanganku. Aku
mengangguk, masih terisak.
"Di
rumah mimpi gue gak sebanyak ini, Vin. Di sini makin banyak dan rumit,".
"Kamu
capek, Grace," Fikar berkata singkat. Aku menatapnya tajam, siap
membantah.
"Kalian
juga capek. Kita semua capek. Belum ada orang yang menemukan kita. Sudah dua
hari kita hanya berputar-putar di sini dan tidak menemukan jalan keluar. Semua
bagian di Hutan ini sama," air mataku semakin banyak saat mengatakan itu.
Vina memelukku erat, Fikar meminta maaf.
"Gue
yang salah. Gue yang ngajak kalian ke sini," tenggorokanku sakit. Berucap
saat menangis selalu terasa seperti dicekik.
"Grace,
apa mungkin mimpi lo bisa jadi petunjuk?" ucap Fikar, lirih.
***
Aku
pernah melihat banyak hal di Desa ini, meski beberapa ada yang berbeda dengan
mimpiku. Barangkali sudah tidak ada, atau direnovasi. Sepertinya sudah sangat
lama kejadian-kejadian dalam mimpiku terjadi di sini.
"Sari,
temanmu sudah sadar," seorang lelaki keluar dari ruangan. Terlalu
bersemangat membuatku lupa, kakiku belum sembuh dari luka. Aku tersungkur saat
mencoba berdiri.
Orang-orang
membantuku berdiri dan berjalan ke tempat Vina terbaring. Sejenak kami saling
tatap, kemudian aku terisak. Vina meneteskan air mata, dia masih sangat lemah.
"Lo
gak apa-apa, Grace?"
Aku
menggeleng cepat, tak bisa menjawab.
"Cuma
kita yang jatuh, Grace. Fikar bakal nemuin bantuan. Tenanglah," ujarnya
sangat pelan. Aku menggenggam jemarinya dan mengangguk.
Vina
ikut terjatuh saat mencoba menarik tubuhku yang menggantung di jurang saat itu.
Karena obsesi bodohku, sahabatku ikut celaka. Aku tidak bisa memaafkan diriku
sendiri. Tidak akan.
***
"Seharusnya
di sini dulu sungai dan di ujung sana air terjun. Desa dalam mimpi gue di
sebrang sungai ini". Aku berlari kecil ke ujung, berharap benar lahan yang
dipenuhi ilalang ini adalah sungai mati.
Sial!
Jantungku
berdetak kenjang saat batu yang kuinjak terlempar ke bawah, terlalu dekat
dengan jurang. Lebih tepatnya air terjun yang mengering.
Tepat
saat aku menoleh ke belakang untuk memanggil Vina dan Fikar, tanah yang kuinjak
runtuh bersama tubuhku. Terasa beku mendengar dentuman kecil dari batu dan
tanah yang sampai ke dasar. Seluruh tubuhku memanas menyadari diriku sedang
tergantung di atas jurang hanya dengan pertolongan sebuah akar pohon.
"Pegang
terus, Grace. Jangan dilepas," Vina berteriak sembari menjulurkan
tangannya.
Perlahan
kuraih tangan Vina, tak lama setelahnya kami sama-sama terjun ke bawah. Tanah
dan pasir di sini terlalu mudah longsor.
Rasa
sakit luar biasa di punggung terasa lebih dulu sebelum mataku terbuka. Tak lama
setelah mataku terbuka, seorang lelaki tua berulang kali memanjatkan syukur.
‘Vina,
Fikar, di mana kalian?’ batinku.
***
"Sari
adalah salah satu warga di Kampung ini. Pergi ke Kota saat seumuran kita, dan
tidak pernah kembali sampai sekarang. Pak Tua bernama Karno adalah kekasihnya.
Mereka berjanji akan menikah, dulu. Sebelum Sari memutuskan merantau". Aku
diam sejenak, menghela napas.
"Apa
yang terjadi pada Sari?"
"Tidak
ada yang tahu, bahkan Pak Karno pun. Dan lo tahu? Pak Karno memutuskan tidak
menikah sebagai wujud kesetiaannya pada Sari".
"Keren.
Eh, tapi, Grace. Kenapa mereka semua manggil lo pake nama Sari?"
Aku
dan Vina saling tatap, lalu sibuk dengan praduga kami masing-masing.
"Menurut
lo?"
Vina
menggeleng pelan.
"Mereka
bilang gue mirip banget sama Sari. Tapi gue sih yakin gue lebih cantik dari
dia".
Vina
menyipratkan air ke mukaku, percakapan serius pagi ini kami akhiri dengan
terbahak bersama di pinggir sungai.
Alam
di Kampung Alas ini masih asri. Aku bisa melihat dasar air sungai dan ikan yang
berenang di sana. Sesekali kepiting hitam juga terlihat menikmati kejernihan
air sungai, membuatku merinding.
Sudah
tiga hari berlalu dan belum ada bantuan yang datang. Aku berharap Fikar
baik-baik saja.
"Satu-satunya
cara sampai ke penginapan kita hanya dengan berjalan kaki. Perwakilan warga
sudah pergi ke sana dari kemarin, seharusnya hari ini mereka sampai. Gue
berharap Fikar sudah ada di penginapan".
Vina
memelukku dan berbisik "gue yakin dia bakal baik-baik saja". Mataku
terasa panas, mengingat dua bulan lalu aku dan Fikar masih sepasang kekasih.
***
"Jadi
benar Sari berenkarnasi jadi Grace, Mah?" Fikar bertanya dengan antusias,
aku tertawa kecil mendengarnya. Kemudian mengangguk.
"Selamat
tidur, Sayang" satu kecupan dan anak kembarku siap memejamkan mata.
"Selamat
tidur, Mah," Vina dan Fikar berucap bersamaan.
Aku
berjalan ke luar kamar, lalu duduk di depan TV dan membuka album kenangan masa
muda. Aku rindu Vina dan Fikar. Lusa kami berencana bertemu.
***
"Gak
sekalian jengukin Ibu kamu, Grace?"
Aku
tak menjawab, sengaja.
"Gue
tahu lo denger pertanyaan gue. Gak usah pura-pura budek deh," sewot Vina.
Aku tertawa kecil.
"Berhenti
menyalahkan Ibu lo dan diri lo sendiri, lo tahu gue yang ngajak Fikar gabung
bareng kita kan?" Vina berucap sembari menebarkan bunga di pusara Fikar.
"Gue
yakin Fikar gak nyalahin lo" tambahnya.
"Gue
gak percaya sama keyakinan lo. Dulu lo juga yakin Fikar bakal baik-baik
aja," ucap gue dengan nada bercanda. Sebuah cubitan mendarat di lenganku.
"Gue
sayang lo, Fik. Damai di surga, Sobat".
Kami
memeluk batu nisan Fikar bersamaan, dengan air mata yang pelan-pelan keluar.
Selalu begini, setiap kali berkunjung. Duka yang sulit dikendalikan.
***
"Pesan
terakhir nyokap adalah jangan pernah mencari tahu siapa bokap gue. Gue juga
ogah nyari, beliau tidur dengan lelaki berbeda setiap malam. Entah sperma siapa
yang jadi gue. Oiya, sampai
sekarang gue masih
sering mikir dari mana datangnya mimpi-mimpi itu, apa mungkin nyokap menitipkan
pesan pada Tuhan, lalu
Tuhan menyampaikan pesan itu melalui mimpi?
Hahaha. Gara-gara mimpi, gue nemuin Kakak dan Adik nyokap
di Desa Alas. Dan ternyata Juwita bukan nama asli nyokap gue," kami tertawa
kecil di depan makam Ibu.
"Gara-gara
mimpi juga, novel pertama lo ludes di pasaran," ledek Vina.
Aku
gak pernah tahu wajah muda Ibu, tapi aku percaya
kami sangat mirip. Bertahun-tahun aku benci punya Ibu seorang PSK, apalagi
setelah bertemu dengan Pak Karno. Andai saja Ibu tidak merantau, tentu saja
beliau bakal hidup bahagia di Desa bersama Pak Karno.
Takdir
menggiringku menjadi penulis. Beberapa waktu setelah mewawancarai tiga orang
PSK untuk novel ke duaku, aku menangis di makam Ibu seharian. Ya, bagi beberapa
wanita tanpa keterampilan
khusus di Kota yang tidak pernah tidur ini, PSK adalah satu-satunya pilihan
untuk bisa hidup. Benar-benar satu-satunya pilihan.
Sumber gambar: google
Posting Komentar untuk "Sebuah Petunjuk"