Anganku melayang pada perhelatan piala Citra yang entah kapan terakhir aku saksikan di layar kaca, sementara mata masih fokus ke sebuah gedung didepan. "Selamat siang" ucap seorang petugas parkir yang berdiri menghampiri, saya menjawab:"Siang, ma'af saya numpang nanya dulu, apa benar sinematech di gedung ini?". Petugas itu menjawab:"Oh bapak langsung masuk aja, terus naik lift ke lantai 4, nanti bisa tanya lagi di dalam". Di depan lift seorang security menyambut ramah dan langsung mengenal nama orang yang saya sebut.
"Assalamualaikum, ayo kita ke kantor saya dulu, nanti kita keliling", sambut Om Budi yang sepertinya langsung mengenali saya, "Wa'alaikumussalam, Rahmat, Om!", kami berjabat tangan singkat dan saya mengiringi Om budi dengan melirik sisi kanan dan kiri sepanjang koridor menuju kantor yang dimaksud.
Anganku masih belum selesai dengan bayang kenangan perihal dunia perfilman yang penuh gemerlap. Samar perbincangan memang terdengar namun semua tidak menjadi fokus, saya duduk di ruang tunggu tamu yang dindingnya penuh dengan foto-foto artis papan atas yang sebagian besar populer sebelum era milenium. Ruang tunggu itu banyak terdapat kotak kaca yang berisi koleksi alat perfilman, kebetulan saya duduk dekat salahsatu koleksi, sebuah proyektor 16 mm kodascope model-I lastman Kodak Co Canada 1933. Mata ini seolah kompak dengan daya khayalku waktu dulu nonton layar tancap di kampung yang kerap memilih duduk di bawah "alat senter film", yah walau hobi nonton di bioskop tapi gak pernah liat langsung proyektornya.
"Mari sini mas rahmat", Om Budi membuyarkan sejenak kenanganku, " ini ruangan untuk nonton bareng dan kita diskas dan mengapresiasi film yang baru ditonton, kapasitasnya 30 tempat duduk, semua fasilitas ini sumbangan dari twentyone", ia sedikit menerangkan tentang sebuah ruangan persis dekat ruang tunggu yang sejajar dengan pintu masuk. Ruang kantor Om budi terlalap habis oleh mata ini, seluruh koleksi alat, gambar dan berbagai plakat seperti nya tidak ada yang terlewatkan.
"Kita turun yuk ke gudang sinematech", ajak dia yang merenggut dahaga kepuasanku harus puas segitu adanya. "Ini Firdaus, dia penanggungjawab di sini", Om Budi mengenalkan saya pada seseorang yang terhenyak bangun dari duduknya mengetahui kami datang. Dari Firdaus saya jadi tahu rupa alat edit roll film. " Oh us, tolong bukain pintu biar mas rahmat liat dalamnya", kata Om Budi sambil memberikan saya sebuah masker ala medis.
Tumpukan kaleng hitam bulat tertata rapih dengan label judul film, tahun dan nomor-nomor yang saya tidak mengerti. Ruangan yang bersuhu dibawah 20°c itu begitu sejuk dan beraroma khas, meski Om Budi mengatakan bahwa yang tidak terbiasa akan berefek mual tapi aku tidak mengalami itu. "Apa ada pembagian tempat khusus untuk film-film yang fenomenal bang?", tanyaku pada Firdaus, dan kami pun menuju lebih ke dalam ruangan sejuk itu, "wow", batinku berjingkrak saat memegang roll film asli tanpa edit, sebuah film paling fenomenal di negri ini. Tidak bisa tidak, "jepretan" harus bertindak.
(Bersambung)
Penulis : Rahmat Setiadi
"Assalamualaikum, ayo kita ke kantor saya dulu, nanti kita keliling", sambut Om Budi yang sepertinya langsung mengenali saya, "Wa'alaikumussalam, Rahmat, Om!", kami berjabat tangan singkat dan saya mengiringi Om budi dengan melirik sisi kanan dan kiri sepanjang koridor menuju kantor yang dimaksud.
Anganku masih belum selesai dengan bayang kenangan perihal dunia perfilman yang penuh gemerlap. Samar perbincangan memang terdengar namun semua tidak menjadi fokus, saya duduk di ruang tunggu tamu yang dindingnya penuh dengan foto-foto artis papan atas yang sebagian besar populer sebelum era milenium. Ruang tunggu itu banyak terdapat kotak kaca yang berisi koleksi alat perfilman, kebetulan saya duduk dekat salahsatu koleksi, sebuah proyektor 16 mm kodascope model-I lastman Kodak Co Canada 1933. Mata ini seolah kompak dengan daya khayalku waktu dulu nonton layar tancap di kampung yang kerap memilih duduk di bawah "alat senter film", yah walau hobi nonton di bioskop tapi gak pernah liat langsung proyektornya.
"Mari sini mas rahmat", Om Budi membuyarkan sejenak kenanganku, " ini ruangan untuk nonton bareng dan kita diskas dan mengapresiasi film yang baru ditonton, kapasitasnya 30 tempat duduk, semua fasilitas ini sumbangan dari twentyone", ia sedikit menerangkan tentang sebuah ruangan persis dekat ruang tunggu yang sejajar dengan pintu masuk. Ruang kantor Om budi terlalap habis oleh mata ini, seluruh koleksi alat, gambar dan berbagai plakat seperti nya tidak ada yang terlewatkan.
"Kita turun yuk ke gudang sinematech", ajak dia yang merenggut dahaga kepuasanku harus puas segitu adanya. "Ini Firdaus, dia penanggungjawab di sini", Om Budi mengenalkan saya pada seseorang yang terhenyak bangun dari duduknya mengetahui kami datang. Dari Firdaus saya jadi tahu rupa alat edit roll film. " Oh us, tolong bukain pintu biar mas rahmat liat dalamnya", kata Om Budi sambil memberikan saya sebuah masker ala medis.
Tumpukan kaleng hitam bulat tertata rapih dengan label judul film, tahun dan nomor-nomor yang saya tidak mengerti. Ruangan yang bersuhu dibawah 20°c itu begitu sejuk dan beraroma khas, meski Om Budi mengatakan bahwa yang tidak terbiasa akan berefek mual tapi aku tidak mengalami itu. "Apa ada pembagian tempat khusus untuk film-film yang fenomenal bang?", tanyaku pada Firdaus, dan kami pun menuju lebih ke dalam ruangan sejuk itu, "wow", batinku berjingkrak saat memegang roll film asli tanpa edit, sebuah film paling fenomenal di negri ini. Tidak bisa tidak, "jepretan" harus bertindak.
(Bersambung)
Penulis : Rahmat Setiadi
Posting Komentar untuk "Senin di cinematech"