Yogyakarta - Apa lagi selain nama beken, uang, dan kepuasan berkarya, yang menjadikan seseorang ingin jadi penulis?
"Banyak. Bos." Tentu saja dalam kepala kita (yang bermimpi jadi penulis) akan memikirkan hal yang berbeda jika merenungkan pertanyaan di atas. Kalau diminta mengungkapkan, barangkali sebagian besar akan menjawab, "Untuk kepuasan dalam berkarya." Atau malah terang-terangan mengatakan, "Saya menulis demi uang."
Pada prinsipnya apapun jawaban kita sah-sah saja. Tidak ada larangan, pun tak ada istilah baik dan buruk.
Kita menulis demi uang akan lebih baik jika bisa membuat kita tampil nyata melahirkan banyak karya. Daripada menulis demi kepuasan batin, tapi tak pernah sekalipun melahirkan karya.
Kita menulis demi nama beken akan lebih baik jika mampu membuat kita berkali-kali menerbitkan karya. Ketimbang menulis demi kemanusiaan, tapi malas menggerakkan jari untuk menghasilkan karya.
Nah, sekarang masalahnya sudah sangat banyak orang yang bermimpi ingin jadi penulis. Dengan berbagai visi dan tujuan dalam kepala mereka. Berbagai ragam latar belakang dan pengalaman, tapi tetap optimis ingin mengejar mimpi jadi penulis. Kondisi seperti ini kadang membuat beberapa orang di antara mereka terjebak pada keinginan ingin menjadi penulis instan. Maunya dalam waktu singkat bisa langsung terbit karyanya, langsung terkenal, dan langsung kaya.
Mereka lupa kalau senior-senior mereka seperti Eka Kurniawan, Tere Liye, Endik Koeswoyo, telah melewati beberapa tahun untuk sampai di posisi seperti sekarang ini. Bagi orang-orang yang hanya melihat kesuksesan mereka tanpa melihat perjuangannya, tentu akan terjebak dalam mindset penulis instan.
Lalu, apakah setiap orang yang ingin jadi penulis harus menghabiskan waktu bertahun-tahun terlebih dahulu untuk bisa meraih mimpi?
Barangkali tidak. Karena kondisi saat ini beda dengan kondisi zaman dulu. Zaman now banyak media bagi penulis untuk menyalurkan karyanya, sedangkan zaman dulu terbatas di media cetak. Zaman sekarang kita dimudahkan dengan alat ketik digital, sedangkan zaman dulu adanya alat tulis dan mesin ketik manual. Zaman now banyak kemudahan untuk bergabung dalam komunitas literasi online dan offline, sedangkan zaman dulu paling cuma kopdar aja.
Jelas sekali bahwa ada kesempatan yang lebih besar bagi calon penulis untuk mewujudkan mimpinya. Terbukti banyak penulis pendatang baru bermunculan dan usia mereka masih belia. Punya nama beken, uang banyak, dan karya-karya mereka bertebaran di media.
Namun, kita jangan terkecoh dengan hal itu. Melihat teman sukses, kita buru-buru pengin ikutan sukses. Menyaksikan teman tenar di suatu komunitas, kita ikutan berbondong-bondong ikut komunitas.
Kita harus pahami bersama bahwa kesuksesan kita meraih mimpi sebagai penulis bukan karena banyaknya komunitas yang kita ikuti, atau seberapa mewah fasilitas yang kita pakai. Tetapi seberapa keras usaha dan doa kita mewujudkan mimpi menjadi penulis.
Bukankah untuk menjadi penulis itu harus banyak-banyak membaca dan praktik menulis?
"Banyak. Bos." Tentu saja dalam kepala kita (yang bermimpi jadi penulis) akan memikirkan hal yang berbeda jika merenungkan pertanyaan di atas. Kalau diminta mengungkapkan, barangkali sebagian besar akan menjawab, "Untuk kepuasan dalam berkarya." Atau malah terang-terangan mengatakan, "Saya menulis demi uang."
Pada prinsipnya apapun jawaban kita sah-sah saja. Tidak ada larangan, pun tak ada istilah baik dan buruk.
Kita menulis demi uang akan lebih baik jika bisa membuat kita tampil nyata melahirkan banyak karya. Daripada menulis demi kepuasan batin, tapi tak pernah sekalipun melahirkan karya.
Kita menulis demi nama beken akan lebih baik jika mampu membuat kita berkali-kali menerbitkan karya. Ketimbang menulis demi kemanusiaan, tapi malas menggerakkan jari untuk menghasilkan karya.
Nah, sekarang masalahnya sudah sangat banyak orang yang bermimpi ingin jadi penulis. Dengan berbagai visi dan tujuan dalam kepala mereka. Berbagai ragam latar belakang dan pengalaman, tapi tetap optimis ingin mengejar mimpi jadi penulis. Kondisi seperti ini kadang membuat beberapa orang di antara mereka terjebak pada keinginan ingin menjadi penulis instan. Maunya dalam waktu singkat bisa langsung terbit karyanya, langsung terkenal, dan langsung kaya.
Mereka lupa kalau senior-senior mereka seperti Eka Kurniawan, Tere Liye, Endik Koeswoyo, telah melewati beberapa tahun untuk sampai di posisi seperti sekarang ini. Bagi orang-orang yang hanya melihat kesuksesan mereka tanpa melihat perjuangannya, tentu akan terjebak dalam mindset penulis instan.
Lalu, apakah setiap orang yang ingin jadi penulis harus menghabiskan waktu bertahun-tahun terlebih dahulu untuk bisa meraih mimpi?
Barangkali tidak. Karena kondisi saat ini beda dengan kondisi zaman dulu. Zaman now banyak media bagi penulis untuk menyalurkan karyanya, sedangkan zaman dulu terbatas di media cetak. Zaman sekarang kita dimudahkan dengan alat ketik digital, sedangkan zaman dulu adanya alat tulis dan mesin ketik manual. Zaman now banyak kemudahan untuk bergabung dalam komunitas literasi online dan offline, sedangkan zaman dulu paling cuma kopdar aja.
Jelas sekali bahwa ada kesempatan yang lebih besar bagi calon penulis untuk mewujudkan mimpinya. Terbukti banyak penulis pendatang baru bermunculan dan usia mereka masih belia. Punya nama beken, uang banyak, dan karya-karya mereka bertebaran di media.
Namun, kita jangan terkecoh dengan hal itu. Melihat teman sukses, kita buru-buru pengin ikutan sukses. Menyaksikan teman tenar di suatu komunitas, kita ikutan berbondong-bondong ikut komunitas.
Kita harus pahami bersama bahwa kesuksesan kita meraih mimpi sebagai penulis bukan karena banyaknya komunitas yang kita ikuti, atau seberapa mewah fasilitas yang kita pakai. Tetapi seberapa keras usaha dan doa kita mewujudkan mimpi menjadi penulis.
Bukankah untuk menjadi penulis itu harus banyak-banyak membaca dan praktik menulis?
Posting Komentar untuk "Tren Zaman Now: Jadi Penulis Instan"