Sejak Dian sering
menelepon, kami seolah-olah berada dekat seperti waktu dulu. Saat pertama aku
menikah dengan Bang Ipul, Dian sering berkunjung pada waktu akhir pekan. Sampai
aku melahirkan Aisyah dan tak lama kemudian Dian pun menikah dengan Anto, teman
kuliahnya dulu dan pindah ke Surabaya. Karena memang Anto bertugas di sana dan
Dian mengundurkan diri dari tempat kerja. Sejak saat itu, hanya sesekali saja
kita bertukar kabar, sampai kemudian Dian melahirkan Dimas. Setelah itu Dian
tak pernah ada kabar beritanya lagi dan kini menghubungiku. Seminggu kemudian, Dian menelepon
kembali.
“Assalaamu’alaikum,
Mbak Dewi,”
“Wa’alaikumussalaam, ya
Dian,” ucapku setelah menjawab salam.
“Bolehkah jika suatu
hari Saya main ke rumah Mbak sambil membawa anak-anak?” tanyanya
“Silakan, Dian! Mbak
senang jika kamu main ke sini seperti dulu, waktu kamu sering mengisi akhir
pekan bersama,” jawabku penuh antusias
“Nanti kita bisa masak
dan bikin kue bareng lagi, sambil tentunya anak-anak juga akan saling
mengenal.” Sambungku lagi masih dengan nada antusias.
“Ya sudah, nanti jika
ada waktu saya main ke sana, kirimkan alamatnya nanti ya, Mbak? Assalaamu’alaikum,”
ucapnya sekalian mengakhiri percakapan kami.
“Wa’alaikumussalaam,”
jawabku sambil menaruh handphone.
***
Hingga suatu hari ...
Tok! Tok! Tok!
“Ma! Ma!” Aisyah setengah
berlari menuju ke dapur, sambil menarik tanganku mengajak ke depan.
“Assalaamu’alaikum!”
Rupanya ada seseorang, pantas Aisyah menarik
lenganku menuju ke depan, batinku.
“Wa’alaikumussalaam!
Sebentar,” jawabku sambil mengenakan hijab.
Setelah pintu terbuka
...
“Dian?”
“Ya, Mbak! Surprise!”
katanya sambil tersenyum dan kami saling berpelukan melepas rindu.
Kemudian kami masuk,
lalu segera aku menggelar tikar dan membuatkan minuman untuknya.
Sambil duduk dan minum
kami berbincang-bincang, sedangkan Aisyah dan Friska bermain boneka bersama.
“Kapan Kamu datang dari
Surabaya? Dimas tidak diajak?” tanyaku membuka obrolan.
“Sudah lama Mbak dan
Dimas bersama neneknya,” Dian menjawab sambil pandangannya menuju kepada
Friska.
“Friska cantik sekali, wajahnya
mirip dengan dirimu. Bagaimana kabar Mas Anto? Dia ikut bersamamu ke sini?”
tanyaku kembali sambil memandang ke arah Friska dan Aisyah yang sedang asyik
bermain boneka.
Dian memandang ke
arahku, kemudian menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Tidak menjawab
namun menghela napas kembali. Kucoba membaca raut wajahnya, sepertinya ada
sesuatu yang tidak ingin dibicarakan mengenai Anto.
“Silakan diminum,
Dian,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana
kabar Bang Ipul, Mbak?” Dian bertanya, sejurus kemudian.
“Bang
Ipul sekarang lebih sering tugas luar kota, terlebih lagi setelah kami pindah
ke sini,” ucapku sambil memandang wajahnya.
“Sekarang
kegiatan Mbak di rumah saja?” Dian bertanya sambil berusaha mengalihkan
perhatian, karena aku masih menatap wajahnya, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Aku
mengisi waktu dengan menulis sekarang. Bagaimana denganmu?” tanyaku masih dengan
memandangi wajahnya.
“Eh!
Saya hanya mengurus anak-anak saja di rumah, Mbak. Sudah azan, kita salat
dulu,” jawabnya gugup sambil mengalihkan pembicaraan.
Setelah
salat lalu kami makan bersama. Selepas itu tak ada percakapan pribadi lagi,
karena kami sibuk dengan kenangan dahulu sewaktu sering membuat kue bersama.
Cukup lama kami
berbincang, menjelang sore Dian berpamitan.
“Mbak, Saya pamit dulu
sudah sore,”
“Kenapa tidak menginap
saja, Dian? Bang Ipul juga sedang tugas keluar kota” kataku menawarkan padanya
untuk menginap.
“Lain waktu nanti Saya
kembali lagi ya, Mbak? Mungkin akan menginap,” jawabnya sambil tersenyum
padaku.
Ah! Senyum itu ... Seperti menyimpan sesuatu, batinku sambil membalas senyumnya.
“Baiklah, hati-hati di
jalan ya? Ini untuk membeli minum di jalan,” kataku sembari menyelipkan sedikit
uang di saku baju Friska.
Setelah merapikan tas dan
bawaannya, kemudian Dian menggendong Friska.
“Papah! Papah!” tiba-tiba
Friska menangis sambil memanggil papahnya. Dian mencoba menenangkan Friska yang
masih menangis dan meronta sambil memanggil papahnya, sementara tangannya sibuk
menunjuk ke arah tembok. Di sana terpasang foto aku dan Bang Ipul serta Aisyah.
“Maaf, Mbak! Friska rewel,
mungkin sedang ingat dengan Papahnya,” kata Dian sambil berjalan keluar
“Assalaamu;alaikum.” Sambil
berjalan, Dian menutup pintu pagar bambu.
“Wa’alaikumussalaam!” jawabku
sambil mengunci pintu kembali. Sementara masih kudengar Friska menangis memanggil
papahnya.
DR.
Bekasi, 11 April 2018
14:14
Posting Komentar untuk "CINTA YANG DIDUSTAKAN (5) Oleh Dewy Rose."