Lia Widya
Suryawinata. Wanita bertubuh mungil dan selalu ceria ini ternyata menyimpan
banyak cerita dalam kehidupannya. Kisah hidupnya boleh dibilang dramatis, mulai dari tidak mendapat restu
orang tua ketika mulai mengenal dunia skenario, perjuangannya melawan salah satu
penyakit mematikan di dunia selama 4 tahun, hingga perginya seseorang yang dicinta ketika sakit merenggutnya setelah hampir menjadi pelabuhan terakhirnya.
Lia, sapaan akrabnya. Ia pertama kali mengenal dunia literasi sejak duduk di bangku SD, terus berlanjut ketika SMP, hingga SMA. Beberapa jenis tulisan ia tuangkan ke dalam bentuk puisi, majalah dinding (mading), dan karya tulis ilmiah. Lahir dari orang tua yang diktator dan agamais, membuat Lia tidak bisa memilih jurusan Ilmu Kedokteran yang telah menjadi cita-citanya sedari kecil. Orang tuanya sangat menginginkan Lia menjadi seorang analis komputer, dan berharap kelak bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil yang mengolah koding keamanan data negara. Itulah cerita Lia kepada tim JPI.
Sedari SMA, Lia pernah memiliki tim komik dengan nama Ayame. Dalam tim itu, Lia mengambil peran sebagai gensakusha-nya, sementara sahabatnya sedari SMP, Rio, menjadi manga-ka nya. Hingga memasuki kuliah, Ayame masih terus berkarya, dan karya mereka selalu ikut dipajang di Festival Budaya Sastra Jepang UI dan kegiatan-kegiatan lainnya yang diadakan oleh Japan Foundation. Ayame aktif membuat komik, yonkoma hingga doujinshi.
Kekompakan timnya sukses menghadirkan karya-karya yang luar biasa banyaknya. Karya-karya komiknya lahir dengan judul Cassandra, World Deep Glasses, Triangle Sliders, dan Twin chicks. Sementara itu, karya-karya yonkoma Ayame adalah Angel or Devil, Bad luck Nickolas, Cinta Sang Seribu Wajah, Ketika Malam Hari, Ketika Pukul 4 Sore, Red Love, Salah Sangka, The Target, Zombie, Ramalan.
Ketika salah satu personil Ayame, Rio meninggal dunia di tngkat dua perkuliahan, Ayame pun harus mengubah formasi keanggotaannya. Berganti-ganti personel manga-ka sempat mewarnai perjalanan Ayame semenjak Rio tiada. Karya-karya Ayame yang mulai banyak akhirnya dikirimkan ke penerbit ternama Elex Media Komputindo. Tak disangka beberapa saat setelah naskah dikirim, respon positif penerbit dengan stastus “layak untuk diterbitkan” pun diterima. Bangga tentu dirasa oleh Lia dan timnya, Ayame.
Namun sayang, impian Lia menjadi penulis harus kandas akibat orang tuanya yang tak suka Lia menulis komik. Papa Lia melarangnya menulis komik dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agama. Semangat Lia yang besar untuk mewujudkan impianya menjadi penulis perlahan membuat larangan-larangan itu tak berlaku baginya. Perempuan berkerudung ini justru makin mantap mengembangkan dirinya untuk menulis skenario. “Cita-cita aku jadi sutradara yang menulis naskah skenarionya sendiri,” ucap wanita yang semasa kuliah pernah membuat film dokumenter berjudul Rel Kereta di Belakang Sekolah. Kepada tim JPI, Lia bercerita tentang pengalaman pertamanya belajar dengan penulis skenario Film AADC, Jujur Prananto di seminar dan workshop kampus. Pengalaman itu memacu Lia untuk fokus dan memperdalam kemampuan menulis skenarionya. Terbukti, hingga sekarang Lia terus berdiskusi dengan para penulis skenario senior yang dikenalnya.
Perempuan mungil kelahiran Bogor 36 tahun yang lalu ini pernah divonis mengidap kanker rahim. “Aku sakit 4 tahun. Setiap harinya harus disuntik obat maksimal 5 kali.” Penyakit yang datang tiba-tiba itu sempat membebani pikirannya bahwa waktunya hidup di dunia tak akan lama lagi. Rasa bersalah menghampirinya, ketika Lia merasa belum maksimal menyenangkan orang tuanya. Pernah terbesit rasa benci pada tuisan-tulisan yang pernah ia buat. Lia jadi benci dengan dunia yang pernah disenanginya dulu, karena ia beranggapan bahwa menulis telah menghabiskan waktu masa remajanya hingga akhirnya tak menjadi seperti yang diharapkan orangtuanya dulu sebagai PNS. Walau bagaimanapun, Tuhan adalah sebagik-baiknya pengatur. Orang tua Lia yang dulunya tak merestui Lia menulis, kini justru mendukung Lia untuk menuliskan apa saja yang Lia suka. Demi waktu, restu dari kedua orang tua Lia pun akhirnya tiba pada saat yang tidak disangka-sangka.
Lia, sapaan akrabnya. Ia pertama kali mengenal dunia literasi sejak duduk di bangku SD, terus berlanjut ketika SMP, hingga SMA. Beberapa jenis tulisan ia tuangkan ke dalam bentuk puisi, majalah dinding (mading), dan karya tulis ilmiah. Lahir dari orang tua yang diktator dan agamais, membuat Lia tidak bisa memilih jurusan Ilmu Kedokteran yang telah menjadi cita-citanya sedari kecil. Orang tuanya sangat menginginkan Lia menjadi seorang analis komputer, dan berharap kelak bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil yang mengolah koding keamanan data negara. Itulah cerita Lia kepada tim JPI.
Sedari SMA, Lia pernah memiliki tim komik dengan nama Ayame. Dalam tim itu, Lia mengambil peran sebagai gensakusha-nya, sementara sahabatnya sedari SMP, Rio, menjadi manga-ka nya. Hingga memasuki kuliah, Ayame masih terus berkarya, dan karya mereka selalu ikut dipajang di Festival Budaya Sastra Jepang UI dan kegiatan-kegiatan lainnya yang diadakan oleh Japan Foundation. Ayame aktif membuat komik, yonkoma hingga doujinshi.
Kekompakan timnya sukses menghadirkan karya-karya yang luar biasa banyaknya. Karya-karya komiknya lahir dengan judul Cassandra, World Deep Glasses, Triangle Sliders, dan Twin chicks. Sementara itu, karya-karya yonkoma Ayame adalah Angel or Devil, Bad luck Nickolas, Cinta Sang Seribu Wajah, Ketika Malam Hari, Ketika Pukul 4 Sore, Red Love, Salah Sangka, The Target, Zombie, Ramalan.
Ketika salah satu personil Ayame, Rio meninggal dunia di tngkat dua perkuliahan, Ayame pun harus mengubah formasi keanggotaannya. Berganti-ganti personel manga-ka sempat mewarnai perjalanan Ayame semenjak Rio tiada. Karya-karya Ayame yang mulai banyak akhirnya dikirimkan ke penerbit ternama Elex Media Komputindo. Tak disangka beberapa saat setelah naskah dikirim, respon positif penerbit dengan stastus “layak untuk diterbitkan” pun diterima. Bangga tentu dirasa oleh Lia dan timnya, Ayame.
Namun sayang, impian Lia menjadi penulis harus kandas akibat orang tuanya yang tak suka Lia menulis komik. Papa Lia melarangnya menulis komik dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agama. Semangat Lia yang besar untuk mewujudkan impianya menjadi penulis perlahan membuat larangan-larangan itu tak berlaku baginya. Perempuan berkerudung ini justru makin mantap mengembangkan dirinya untuk menulis skenario. “Cita-cita aku jadi sutradara yang menulis naskah skenarionya sendiri,” ucap wanita yang semasa kuliah pernah membuat film dokumenter berjudul Rel Kereta di Belakang Sekolah. Kepada tim JPI, Lia bercerita tentang pengalaman pertamanya belajar dengan penulis skenario Film AADC, Jujur Prananto di seminar dan workshop kampus. Pengalaman itu memacu Lia untuk fokus dan memperdalam kemampuan menulis skenarionya. Terbukti, hingga sekarang Lia terus berdiskusi dengan para penulis skenario senior yang dikenalnya.
Perempuan mungil kelahiran Bogor 36 tahun yang lalu ini pernah divonis mengidap kanker rahim. “Aku sakit 4 tahun. Setiap harinya harus disuntik obat maksimal 5 kali.” Penyakit yang datang tiba-tiba itu sempat membebani pikirannya bahwa waktunya hidup di dunia tak akan lama lagi. Rasa bersalah menghampirinya, ketika Lia merasa belum maksimal menyenangkan orang tuanya. Pernah terbesit rasa benci pada tuisan-tulisan yang pernah ia buat. Lia jadi benci dengan dunia yang pernah disenanginya dulu, karena ia beranggapan bahwa menulis telah menghabiskan waktu masa remajanya hingga akhirnya tak menjadi seperti yang diharapkan orangtuanya dulu sebagai PNS. Walau bagaimanapun, Tuhan adalah sebagik-baiknya pengatur. Orang tua Lia yang dulunya tak merestui Lia menulis, kini justru mendukung Lia untuk menuliskan apa saja yang Lia suka. Demi waktu, restu dari kedua orang tua Lia pun akhirnya tiba pada saat yang tidak disangka-sangka.
Pengobatan rutin untuk memperoleh kesembuhan Lia ikuti dengan teratur. Alhamdulillah, Lia dinyatakan sembuh oleh dokter. Setelah
sembuh dari sakitnya, Lia mencoba untuk fokus lagi pada dunia tulis-meulis. Tapi, di saat Lia mulai menulis, Lia sempat merasa gagap teknologi dengan perkembangan dunia komputer yang begitu melaju dengan pesatnya. Lia sempat merasa banyak ketinggalan informasi.
Dukungan orang tua menjadi penyemangat Lia untuk berkarya dan memulai usahanya. Lia pun akhirnya memilih untuk menjadi wiraswata dengan modal yang didapat dari orang tua. Lia memulai bisnisnya dengan berdagang hijab hingga sandal dan sepatu. Lia adalah tipikal wanita pembelajar dan pejuang. Segala keterbatasan biaya yang dia hadapi pasca sakit kanker tak menghalangi semangatnya untuk tetap belajar. Tuntutan zaman yang semakin canggih membuat Lia harus mengembangkan bisnisnya dengan berjualan online. Lia pun mulai membuat portal web dengan nama domain sendiri. Tantangan di dunia bisnis membuat Lia semakin bergairah dalam menjalani kehidupan pasca sakit yang menimpanya. Lia merasa hidup kembali setelah bangkit dari sakitnya selama empat tahun.
Dukungan orang tua menjadi penyemangat Lia untuk berkarya dan memulai usahanya. Lia pun akhirnya memilih untuk menjadi wiraswata dengan modal yang didapat dari orang tua. Lia memulai bisnisnya dengan berdagang hijab hingga sandal dan sepatu. Lia adalah tipikal wanita pembelajar dan pejuang. Segala keterbatasan biaya yang dia hadapi pasca sakit kanker tak menghalangi semangatnya untuk tetap belajar. Tuntutan zaman yang semakin canggih membuat Lia harus mengembangkan bisnisnya dengan berjualan online. Lia pun mulai membuat portal web dengan nama domain sendiri. Tantangan di dunia bisnis membuat Lia semakin bergairah dalam menjalani kehidupan pasca sakit yang menimpanya. Lia merasa hidup kembali setelah bangkit dari sakitnya selama empat tahun.
Aktivitasnya yang selalu berkaitan dengan komputer menarik Lia untuk kembali ke dunia literasi. Tanpa sengaja, Lia bertemu
dengan teman-teman penulis skenario yang telah sukses lebih dulu dengan karya mereka
sudah wara-wiri di muncul di televisi. Beberapa minggu kemudian Lia kembali bertemu dengan Jujur
Prananto yang selalu mengucapkan “met lebaran” di WA, dengan
ujung obrolan membahas film yang sedang digarap. Pertemuannya dengan Jujur Pararnto dan teman-temannya membangkitkan semangat Lia untuk kembali membuat skenario. Lia mulai menulis. Berkat dukungan dari orang tua, Lia akhirnya berhasil menerbitkan novel pertamanya berjudul Dua Cinta Rosalinda.
Lia mulai belajar
skenario dari nol lagi karena lupa bagaimana meramu ide ke dalam premise treatment dan dialog dalam bahasa skenario. Lia
kembali aktif lagi di dunia media sosial, ikut berbagai komunitas menulis,
salah satunya adalah Jaringan Penulis Indonesia (JPI). Disinilah dia menemukan
jati diri yang sesungguhnya. Lia mulai kenal dengan penulis skenario film dan FTV, Endik Koeswoyo. ”Mas endik
adalah salah satu orang yang mengulurkan tangan dan memberi semangat ketika aku
kembali ke dunia penulisan khususnya skenario. Mba Dita, tim empat sekawan dan sahabat JPI adalah
teman-teman sejatiku, teman-teman baikku. Kami saling mendukung dan memberi
semangat dalam apapun keadaannya. Aku bersyukur pada Allah bisa berada di
lingkaran pertemanan ini,” Ucapnya mengakhiri sesi wawancara ini.
Lia Widia (ketiga dari kanan) bersama Pong harjatmo (kemeja hijau), Gemi Mohawk (kemeja hitam) |
Saat ini Lia adalah tim penulis Endik Koeswoyo bersama 4 Sekawan. Harapan terbesarnya adalah bisa kembali menulis skenario, novel, content web, esai, puisi, cerpen dan cerbung dengan lebih baik lagi. Targetnya adalah menulis untuk media elektronik dan layar lebar. Lia ingin karyanya bisa ditonton pecinta film, menghibur lewat bacaan untuk pencinta buku. Lia ingin dirinya bermanfaat bagi banyak orang, berbagi pengetahuan lewat content web untuk siapa pun.
Kini Lia telah sembuh. Beberapa karya terkininya pun sudah dimuat di situs-situs komunitas menulis salah satunya di web JPI. Semangat terus Lia! Tunjukkan pada dunia kalau kamu BISA! (FY)
Profil:
Nama: Lia Widya Suryawinata
TTL: Tasikmalaya, 20 November 1982
Jenis kelamin: Perempuan
Email: asusputihliawidya@gmail.com
Pendidikan:
- TK Islam Keluarga (1987-1988)
- SDN Mekarsari Bekasi (1988-1993)
- SMPN 246 Jakarta Timur (1993-1997)
- SMAN 113 Jakarta Timur (1997-2000)
- Universitas Gunadarma Depok (2000-2005)
- Universitas Negeri Jakarta Akta 4 (2007)
Karya:
- Novel : "Dua Cinta Rosalinda", diterbitkan indie. (2015)
- Film dokumenter : "Rel kereta di belakang sekolah". (2004)
- Penulis cerita, komik Ayame, "Cassandra".
- Penulis cerita, komik Ayame, "World deep glasses".
- Penulis cerita, komik Ayame, "Triangle Sliders".
- Penulis cerita, komik Ayame, "Twin, chicks".
- Penulis Yonkoma Ayame: Angel or devil, Bad luck Nickolas, Cinta sang seribu wajah,
Ketika malam hari, Ketika pukul 4 sore, Red love, Salah sangka, The target, Zombie, Ramalan.
Kelas Menulis, Workshop, Masterclass:
- Salman Aristo (2018)
- Hanung Bramantyo (2018)
- Angie Halim (2018)
- Titin Wattimena (2018)
- Endik Koeswoyo (2017)
- Boim Lebon (2016 & 2017)
- Jujur Prananto semasa kuliah dari kampus ke kampus.
Posting Komentar untuk "Lia Widya, Kembali ke Dunia Literasi Berkat Semangat Sahabat JPI"