Mimpi Kecil Mentari (Bagian 3)
Penulis : Asih Rehey
Gadis
bernama matahari itu berjalan dengan ember kecil di tangannya. Sudah banyak
sekali air yang di ambil dari penampungan sejak bakda subuh tadi. Walaupun tubuhnya mungil tak menyurutkan nyalinya untuk membantu neneknya menyiapkan air bersih di rumah.
Neneknya masih tertidur kala Mentari masuk ke dalam rumah untuk ke sekian
kalinya. Membawa seember air dan memasukkannya ke dalam wadah air berbahan
plastik.
Tangis
adiknya membuat Mentari berhenti, dia segera menyambut adiknya yang menangis
dan menggendongnya dengan selendang batik yang tergeletak di samping neneknya
yang masih tidur. Mentari mencoba menghibur adiknya agar tak menangis lagi. Sesekali
dia menunjuk sorot cahaya keemasan yang menghiasi langit pagi itu.
“Surya…
itu lihat! Awannya bagus,” kata Mentari menunjuk ke atas.
Surya
pun terdiam dan memperhatikan sekeliling. Mentari agak bernafas lega, dengan
menggendong adiknya. Dia tak khawatir adiknya menangis lagi. Neneknya juga bisa
beristirahat dengan baik.
“Mentari!”
panggil Pak Ustad.
“Ya,
Mbah!” sahut Mentari.
“Kamu
mau ke mana pagi – pagi sudah menggendong adikmu?” tanya Pak Ustad.
“Mau
mengambil air,” jawab pelan Mentari.
“Yu
Sumi sakit?” tanya Pak Ustad.
Mentari
pun mengangguk perlahan mengiyakan apa yang ditanyakan Pak Ustad. Wajah Pak
Ustad pun nampak sayu. Dia adalah orang yang paling mengerti kehidupan keluarga
Mentari.
“Nanti
kamu tunggu di sini dulu, Mbah Ustad mau pulang dulu mengambil sesuatu,” kata
Pak Ustad meninggalkan Mentari bersama adiknya.
Mentari
kemudian berjalan menuju tempat penampungan air. Di tempat itu sudah banyak
sekali ibu – ibu yang mengambil air. Pralon pengairan di desa tersebut sedang
di perbaiki, hal tersebut membuat para warganya harus bersusah payah mengambil
air dari penampungan. Surya mendekap erat leher Mentari. Wajahnya masih kusam
karena belum tersentuh air sedikit pun.
Beberapa
tetangga memperhatikan kedatangan Mentari. Banyak yang miris tetapi tak sedikit
yang mengejeknya.
“Anak
sekecil itu kok teganya disuruh ambil air!” kata Bu Wahyu istri Pak Kusman
mengawali obrolan dengan salah satu tetangganya.
“Tari,
Mbah Sumi kemana to?” tanya seorang lagi.
Mentari
mendongak memperhatikan siapa yang bertanya kepadanya.
“Sakit…”
ucap lirih Mentari.
Mereka
pun hanya diam tak mengucapkan sepatah kata apapun. Mentari segera bergegas
mengambil air dan pergi dari kerumunan tetangga yang selalu mengunjing
keluarganya. Sesekali Mentari membenarkan ikatan selendang batik yang melilit
adiknya. Surya nampak anteng di gendongan Mentari.
Setelah
sampai di tempatnya bertemu Pak Ustad. Wajah sumpringah Pak Ustad menyambutnya
dengan plastik hitam di tangannya.
“Tari…,
ini buat kamu,” kata Pak Ustad sambil menjulurkan plastik itu.
Tari
bingung bagaimana membawanya. Pak Ustad pun berinisiatif untuk mengikatkan
plastik itu di selendang Mentari.
“Terima
kasih, Mbah, semoga dapat ganti yang lebih banyak,” kata Mentari sopan.
“Aamiin,
sama – sama, Ri,” kata Pak Ustad sambil berjalan menuju sawahnya.
Mentari
tersenyum memandangi langkah lelaki tua yang sangat baik pada keluarganya. Pak Ustad
walaupun orang kaya hidup seperti orang biasa saja. Tidak mengedepankan
kemewahan dalam kesehariannya.
Setelah
capek menggendong Surya, Mentari mengajak Surya untuk duduk di sebuah kursi di
dapur. Dapur yang jauh dari kata layak, tetapi dari situlah Mentari banyak
belajar menyiapkan makanan untuk keluarga mereka. Di saat teman sebayanya
sedang asik sarapan, dia harus bekerja keras menyiapkan makanan untuk
keluarganya.
“Buuuufttt…..
Buuufttt…….” suara dari semprong bambu yang dipegang Mentari. Api menyala perlahan.
Dengan telaten dia memasukkan ranting – ranting kayu kecil ke dalam tungku
tanah liat. Sesekali Mentari melihat adiknya yang bermain di kursi. Dia tersenyum
melihat adiknya nampak tidak rewel.
Beberapa
hari Mentari tak masuk sekolah. Hal tersebut membuat Bu Agatha bertanya – tanya
kenapa muridnya yang sangat istimewa itu tak menampakkan batang hidungnya. Dari
beberapa teman Mentari hanya Laila yang menjawab pertanyaan Bu Agatha.
“Bu
Sumi sedang sakit, Bu,” kata Laila.
“Sakit?”
“Iya,
kemarin saya lihat si Tari sedang mengambil air bersih di penampungan air
bersih,” jawab Laila.
Bu
Agatha pun mengajak Laila untuk menemaninya berkunjung ke rumah Mentari nanti
sepulang sekolah. Guru muda itu membayangkan betapa berat kehidupan Mentari
ketika neneknya sakit. Setelah pelajaran berakhir, Laila segera membonceng Bu
Agatha. Mereka berdua mampir di sebuah warung sembako.
“Kok
ke warung? Bukannya kita mau ke rumah Tari, Bu?” tanya Laila penasaran.
“Ibu
dengar kalau Bu Sumi tulang punggung keluarga Tari. Kalau Bu Sumi sakit, lalu
mereka mau makan apa? Ibu mau membelikan beberapa barang untuk keperluan mereka
sehari – hari,” jawab Bu Agatha sembari turun dari sepeda motornya.
Setelah
selesai membayar barang yang dibeli. Bu Agatha dan Laila segera meninggalkan
warung tersebut. Banyak penduduk desa menyapa Bu Agatha dengan ramah. Memang kehadiran
gadis yang mengabdi di sekolah tersebut sangat membantu desa mereka. Jadi, Bu
Agatha memang sangat dihormati di desa tersebut.
Guru
muda itu turun dari sepeda motornya. Laila mengikuti dari belakang, nampak
wajah Bu Agatha nampak terenyuh melihat kakek dan ibu Mentari yang duduk dengan
pandangan kosong di teras depan.
Ucapan
salam pun terucap dari bibir manis wanita berjilbab itu. Sesosok wanita tua
keluar dengan terbatuk – batuk.
“Waalaikumsalam,
Uhukk… uhukk…” jawab wanita tua yang tak lain adalah Bu Sumi.
“Nenek,
saya Agatha. Saya gurunya Mentari. Boleh saya masuk?” tanya Bu Agatha sopan.
“Silahkan,
Bu. Uhukk… uhukk…” jawab Bu Sumi.
Bu Agatha dan Laila masuk ke dalam rumah yang
sangat sederhana itu. Nampak gadis kecil sedang menggendong adiknya keluar dari
dapur sambil membawa sepiring nasi dan tempe goreng. Hati Bu Agatha teriris
melihat pemandangan di depannya. Bagaimana bisa gadis sekecil Mentari hidup
seperti itu. Bu Agatha menata hatinya agar tak terbawa suasana.
“Oh
ya, kedatangan saya ke sini karena saya tak melihat Mentari datang ke sekolah
beberapa hari ini, Mbah.” kata Bu Agatha mengawali obrolannya.
“Maaf,
Bu. Tari tidak bisa berangkat karena saya sedang sakit. Uhukk… uhukk…” jawab Bu
Sumi.
Mentari
masih menyuapi adiknya. Laila pun duduk di samping Mentari sambil sesekali
bercengkrama dengan Surya.
“Oh
iya, Mbah. Besok kalau sudah sehat. Biar Mentari masuk lagi.”
“Iya,
Bu. Saya sudah minum obat dari bidan di posyandu kemarin. Semoga besok sudah
mendingan.” kata Bu Sumi.
“Mentari!
Sini, Nak!” panggil Bu Agatha.
Mentari
pun berjalan ke tempat Bu Agatha duduk.
“Ini
ada buku – buku yang Ibu bawa dari rumah. Kamu baca – baca, ya.” Kata Bu Agatha
sambil menyodorkan plastik berwarna putih berisi beberapa buku.
“Terima
kasih, Bu.”
“Jangan
lupa belajar, ya.” kata wanita berjilbab itu.
Bu
Sumi tersenyum melihat guru Mentari sangat perhatian pada cucu perempuannya. Dia
merasakan ada yang peduli dengan Mentari selain Pak Ustad.
Bu
Agatha dan Laila segera berpamitan. Sembari keluar dari rumah Laila berkata bahwa
akan main ke rumah Mentari setelah berganti pakaian. Mentari hanya tersenyum
melihat Laila berlari. Sepeda motor Bu Agatha berderu dan tarikan gas
membuatnya meninggalkan kediaman keluarga Mentari.
Tak
selang beberapa lama, Laila datang dengan baju pink kesukaannya. Badan Bu Sumi
sudah mendingan, jadi Surya siang itu tidak ikut Mentari.
Derai
tawa keluar dari mulut kedua gadis kecil itu. Laila sampai lupa waktu, waktu
Ashar telah tiba tetapi dia belum pulang juga. Hal tersebut membuat ibunya
sangat khawatir.
“Nih
anak ke mana sih?” gerutu Bu Dewi.
Sesekali
dia menghampiri teman – teman Laila yang bermain di rumah tetangganya. Salah satu
orang anak memberitahu bahwa Laila sedang bermain di rumah Mentari. Hal tersebut
membuat Bu Dewi segera berlari. Dia sebenarnya tidak suka kalau Laila terlalu
dekat dengan Mentari.
“Laila!”
teriak Bu Dewi di halaman rumah Mentari.
“Ya,
Mak! Mentari, aku pulang dulu, ya. Besok kita main lagi,” sahut Laila sambil
berlari meninggalkan Mentari. Mentari hanya mengangguk dan melihat raut wajah
Bu Dewi yang terlihat kesal. Laila berjalan bersama Bu Dewi meninggalkan rumah
Mentari. Sepanjang perjalanan Bu Dewi ngomel karena Laila bermain di tempat
Mentari. Laila pun sedikit jengkel dengan ibunya. Sore itu, Laila mogok mengaji
karena mendengar Bu Dewi selalu mengulang – ulang agar Laila tidak dekat –
dekat dengan keluarga Mentari.
“Aku
gak mau jadi orang jahat, Mak! Bagiku Mentari sama kayak yang lain. Titik!”
teriak Laila sambil mengunci pintu kamarnya.
Bu Dewi benar – benar geram dengan kelakuan anak
gadisnya. Sudah berulang kali Bu Dewi mengingatkan tetapi selalu saja tak
pernah dihiraukannya.
Posting Komentar untuk "Mimpi Kecil Mentari (Bagian 3) oleh Asih Rehey"