Oleh : Fatimah_Astudy
Ira termenung di atas motor kesayangannya.Tak lama,
ia menancapkan gas dan melaju.
“ke rumah Bapak”, gumamnya.
***
Kini ia berada di depan sebuah rumah tipe 36.Pandangannya
menyapu halaman seperti mencari sesuatu,hingga tatapannya terpaku pada sebuah
jemuran stainless usang .Terdapat beberapa helai kemeja , daster, kaos dan
pakaian bayi menempel di sana.
“Assalamu’alaikum,pak!”
Tak ada jawaban salam.Ira menuju rak sepatu di dekat
jendela. Ia melirik sepasang sepatu laras hitam. Tangannya merogoh isi sepatu sebelah
kanan dan menemukan apa yang dicarinya.
“Bapak masih menaruhnya di sini.Gak takut ada maling
apa? Tapi,siapa juga yang berani”, Omelnya tak menentu sambil menggenggam
sebuah kunci tanpa gantungan.Tak lama, diletakkannya lagi kunci itu. Ia urung
memasuki rumah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan selama 26 tahun dengan berlimpah
kasih sayang.
“Malas ah!” Emosinya kembali membuncah. Ia anak seorang aparat
keamanan.Itulah yang dibanggakan sekaligus disesalinya. Bapaknya yang sering
turut tugas pengamanan di Jalan dengan berbagai istilah operasi seperti
ketupat, pengamanan tahun baru, dan yang paling popular adalah sweeping.
Pemeriksaan SIM dan STNK. Nama Bapaknya yang disegani di Jalan Raya,tak semulus
pengamanan jalan rumah tangganya.
Bapaknya tak berhasil menangkap ibunya yang kabur
meninggalkan suami, seorang anak serta beberapa hutang perhiasan dan uang arisan. Kata Bapak, sedari awal ibunya memang
matre dan mengincar uang Bapaknya saja. Di lain hari, ibu bercerita kalau ia
memergoki Bapaknya selingkuh.Mungkin inilah yang disebut “dilema” tuk
mempercayai salah satu dari manusia yang turut bertanggung jawab atas
kemunculannya di dunia. Tak ingin berlama-lama dalam kebingungan, Ia yang saat
itu baru beberapa bulan menjadi perawat di
sebuah rumah sakit swasta memilih
mengontrak. Saat tak ada shift, Ia masih menyempatkan diri mengajar les
matematika , atas rekomendasi dari beberapa kenalannya yang tahu reputasinya
sebagai bintang semasa sekolah. Bintang yang cahayanya kian memudar tertutup
kesedihan dan dendamnya pada langit malam tempatnya menggantung.Keluarganya!
“Arghhh, sudah 2 tahun”
Dia berteriak reflex ,melenggang ke sepeda motornya.
Untung saja tetangga sebelah tidak mendengar ataupun menyadari
kehadirannya.Mungkin mereka masih asyik bercengkrama dengan keluarga di moment
hari libur begini sehingga enggan membuka pintu. Yang terdengar hanya suara TV
dan tangisan rewel anak kecil.
Sejurus kemudian,ia menancapkan gas Honda Beatnya lagi,hendak
meninggalkan rumah dengan halaman tak
begitu luas itu.
“Ira!”. Ada suara lelaki yang tak asing menggelitik
telinganya,
“Yah, faisal? Ada Apa?”.Balasnya grogi.
“Kebetulan saya lewat
dan liat kamu. Kok tumben datang pagi-pagi begini?Gak ada shift?”
“Iyya .” Ira mencoba
tersenyum semanis mungkin di hadapan cowok berpostur tegap dengan wajah oval menawan
di hadapannya ini. Tetangga sekaligus teman sepermainannya sedari kecil, yang
diam-diam ditaksirnya.
“Kamu tahu, Bapakmu
masuk rumah sakit pagi tadi? Yang sabar yah…” Suara lembut lelaki itu menenangkan sekaligus menghunjam dengan
berita terkini nya.
“Apa? Tidak . saya belum…”Ira melongo.
“Kejadiannya tadi
subuh, di depan mesjid. Mungkin Bapamu ataupun bu Lidya belum sempat
ngabarin”.Aku juga nanti mau ke sana kok, cuman si kecil ini minta ditemani jalan pagi dulu”.Ada getir dalam senyuman faisal sambil
mempermainkan kaki balitanya.
“Iya,fay.Makasih!.Saya pamit.Salam tuk Cindy!”
“ Take care, Ra!ntar ketemu di sana yah. Kiss bye ,
Tante!”
“Bye,Rafa!”
Ira masih berusaha tersenyum serta menatap sekilas
sosok mungil yang belum genap setahun di
gendongan faisal. Anak yang dulu dibayangkannya kelak terlahir dari rahimnya.
Impian masa kecilnya yang seketika berantakan saat faisal mengabarkan bahwa ia jatuh cinta kepada
Cindy, sahabat SMA Ira yang sering mampir ke rumahnya.Dengan tegar, Ira menjadi
match maker faisal dan cindy hingga 2 tahun lalu, kedua sahabatnya itu resmi
menikah.
Ira patah hati tapi merasa cukup beruntung. Setidaknya, saat itu tak
banyak yang menggodanya dengan kalimat yang tak ingin di dengarnya : “kapan
nikah?” Mungkin ibu-ibu tukang gossip di
sekitar rumahnya segan pada seragam cokelat Bapaknya atau karena Ira yang
enggan tersenyum lagi.
***
Ira sudah sampai di depan gerbang rumah sakit
tempatnya bertugas. Sehari-hari, ia mendatangi tempat ini dalam balutan seragam
putih dan sesekali biru. Ia berangkat sepenuh hati dalam melakukan tugas
pengabdian sekaligus mencari rejeki tuk
memenuhi kebutuhan perutnya.
Ira membuka dompet dan menatap lama pada dua lembar uang lusuh.Selembar uang dua ribu sebentar lagi mengucapkan salam perpisahan kepada selembar kembarannya, dan berpindah ke kantong petugas parkir rumah
sakit.Penghuni terakhir dompetnya itulah alasan terkuatnya mengunjungi rumah
Pak Habibi, Bapaknya. Lalu, berjalan-jalan lagi ke masa lalunya.
Berdiri di depan Rumah Sakit swasta terbesar di Kabupatennya. Perasaan campur aduk
berkecamuk di benak Ira seperti iklan permen dengan jargon "manis,asem,asin dan rame rasanya". Kaget,sedih,haru, dan…lucu!
“Pagi yang seru , akhir sebuah Karma!”Pekiknya dalam
hati.
Satpam dan beberapa teman kerjanya ada yang menatapnya heran.Beberapa
ada yang menyapanya basa-basi. Ira berjalan mantap menyusuri lorong-lorong
rumah sakit yang tak pernah lagi dipijakinya sejak ia resign sebulan lalu
akibat perdebatan panjang dengan Direkturnya!
Wajah Bapaknya yang terakhir ia pandangi tahun lalu, membayang di pelupuknya. Menyusul
wajah bu lidya dan Andri. Ibu dan adik tiri yang tak pernah ingin disapa bahkan
dipandanginya. Nun di pulau kalimantan sana, terbayang wajah ibunya yang hidup
sendiri sedang berlinang air mata karena panggilan telpon yang beberapa kali
sengaja dia tolak. Ira malah jarang
mengaktifkan hp nya. Ia enggan direpotkan dengan beberapa nomer misterius yang
katanya ingin menjalin hubungan dengannya.
Juga karena ia tak perlu lagi mendengar kabar tentang keluarganya yang
menorehkan trauma di bilik hatinya yang sepi. Malam nanti, Ia berniat
menjual alat canggih itu demi membayar
tunggakan kontrakan rumahnya.
Posting Komentar untuk "Penghuni Terakhir"