Oleh: Puput Yuhara dan Rendi Fetra
Beberapa kali Cetha melirik arloji yang terikat elok di pergelangan tangan mungilnya. Jarum jam menujuk pukul 16.45. Selang sepuluh menit, kedua bola matanya tenggelam pada pemandangan memukau, ia masih tertarik pada tanah dan rerumputan basah. Pada bulir-bulir air yang merosot lembut dari ujung bibir daun talas, kemudian lumat begitu saja. Ia suka pada situasi ini. Ia teramat cinta pada aroma yang sedari tadi coba dihirupnya berulang kali. Petrichor, aroma lepas hujan.
"Cetha." suara itu membuyarkan pandangannya, meredupkan suara alunan musik dari lagu Michael Buble yang tengah dinikmatinya.
Seseorang mendekat, menepis lamunan. Perlahan ia rasakan dekapan hangat yang sudah terlalu mudah untuk ia tebak. Seseorang itu memeluknya lembut dari belakang. Mengelus-elus rambutnya yang tergerai indah seraya berbisik lirih, "Maafkan Mama, ya."
Tak perlu menoleh, ia juga tahu siapa orang itu. Bahkan jika harus tanpa mendengar suaranya sebelumnya, ia juga akan tahu kalau Helena hadir di belakangnya. Aura itu tidak mungkin keliru, tidak mungkin berpindah ke lain orang.
Cetha senyum simpul, "Tidak seharusnya seorang ibu meminta maaf kepada anaknya. Sepantasnya anaklah yang meminta maaf pada ibunya."
"Mama benar-benar minta maaf. Mama janji nggak akan ulangi lagi."
"Sudahlah, Ma. Lupakan soal itu. Cetha baik-baik saja, Cetha juga coba untuk melupakan perkara itu. Untuk sekarang dan seterusnya, Cetha cuma mau Mama selalu ada buat Cetha. Cetha cuma butuh Mama untuk terus ada di samping Cetha, bukan dia atau siapa pun orang yang mungkin akan Mama kenalkan ke aku di lain waktu."
Helena memegang lembut kedua pipi Cetha, "No no no, sudah nggak ada waktu buat lakuin hal konyol seperti itu lagi. Sayang, dengar. Mama nggak akan ulangi hal bodoh itu lagi. Mulai saat ini, Mama janji akan jagain kamu sepenuhnya, okey. Kamu dengar?"
Helena memeluknya erat. Ia berharap, semoga saja Cetha benar-benar memaafkannya. Dan yang terpenting, ia dapat memastikan bahwa putrinya itu dapat cepat-cepat melupakan masalah ini. Karena ia cemas kalau akan terjadi sesuatu lagi padanya.
Helena melepas pelukan mereka perlahan. Ia baru ingat kalau beberpa menit yang lalu Gita datang kemari. “Oh ya, Gita nungguin di ruang tamu tuh.”
"Gita? Mager banget mau ke sana. Oh God, so lazy,” ia mengode.
Helena menatapnya lembut, "Hmm. Ya sudah, Mama panggil ke sini."
Cetha melempar senyum manja, "Terima kasih, Ma."
Helena mengecup kening putrinya, lekas bergegas memanggil Gita. Beberapa menit kemudian Gita muncul, kemudian masuk ke dalam kamar. "Hai. Aduh, maaf banget, ya. Sup ayammu jadi begini."
Gita menyodorkan semangkuk sup buatannya yang nyaris dingin lantaran beberapa menit yang lalu ia dibiarkan berlarut-larut menunggu di ruang tamu.
"Buatanmu pasti tak kalah enak dari Alessandro," puji Cetha.
“Duh. Jangan bandingkan dengan buatan Alessandro dong. Aku gak akan kuat,” ujar Gita tertawa menanggapi pujian Cetha.
Mereka menikmati sisa-sisa waktu sore hari. Sore ini udara dingin sekali, suasana sejuk lepas hujan masih lekat memeluk kota. Beberapa kali Cetha mengelus bahunya di balik balutan sweater abu-abu bertuliskan Italiano pemberian papanya beberapa bulan lalu.
"Cetha," setelah sekian menit bungkam, Gita coba memecah keheningan. Kali ini Cetha merespons cepat, menoleh ke arahnya.
"Kamu mau lihat sesuatu nggak?" ucap Gita pelan. Salah satu tangannya meraih smartphone miliknya dari atas nakas.
"Apa, Git?"
"Lihat, Chet!" Setelah satu menit sibuk mengutak-atik, Gita antusias menyodorkan smartphone ke arah Cetha.
"Aku lagi naksir sama orang itu," imbuhnya.
Melihat potret seseorang di dalam smartphone yang ia tunjukkan, Cetha tercengang. Ia sama sekali tak asing dengan orang itu. Pria dengan baju hitam berlogokan Komunitas Fotografer Malang di dada kirinya. Itu Aditya.
Cetha menelan ludah. Menatapnya dengan tatapan kosong. "Oh jadi, kamu lagi suka sama dia? Sejak kapan?" ia coba mencairkan suasana. Coba berpihak padanya.
Gita tertawa kecil, "Hahaha, aku juga tidak tahu sejak kapan mulai tertarik denganya.”
“Ah, sudahlah, lupakan soal itu. Ya sudah, aku tidak bisa berlama-lama. Aku mau pamit pulang saja. Tadi sudah janji sama Abi mau mampir ke toko hewan beli makanan kucingnya. See you tomorrow, Ceth!" Gita berpaling, meninggalkan pelukan lembut untuknya.
Cetha ingin tidur nyenyak malam ini. Tapi boleh jadi, semua hanya wacana belaka. Mustahil rasanya ia tidak akan memikirkan apa yang baru saja sahabatnya ucapkan. Sepertinya keputusan yang ia ambil cukup tepat. Diam, dan coba berpihak padanya. Mungkin itu cukup membantu untuk menjaga perasaan sahabatnya.
Jam digital di atas nakas menunjuk pukul 21.30. Tetapi Cetha sudah terlelap beberapa saat yang lalu. Apa ia tidak mau ambil pusing soal cerita Gita tadi sore? Entahlah.
Hari ini tak ada terdengar decit anak burung yang membuka pagi seperti biasanya. Bahkan secercah sinar mentari tidak menembus kaca jendela kamarnya untuk sekadar menyapa. Atau boleh jadi, mereka sepakat melewati rutinitas tersebut untuk hari ini? Atau mereka sama-sama sudah enggan?
Tujuh lewat sepuluh menit, pagi hari kota Malang.
Sisa letih tadi malam masih terasa. Ia merasa sedikit tidak nyaman dengan salah satu lengannya. Pegal. Wajar saja kalau sejak tadi kicauan anak burung tak ia dengar, atau sinar mentari yang tak sempat ia jamah, ternyata pagi ini hujan turun lagi.
Tepat tatkala kedua bola matanya terbuka, anak-anak hujan luruh membungkus buana. Kalau saja rumput hijau di halaman rumahnya dapat menjerit, mungkin saja mereka akan menjerit meminta ampun. Lantaran, jutaan anak hujan menghantam bumi semalaman tanpa jeda.
Cetha menggenggam setang kemudi. Pagi ini ia harus sedikit lebih cepat dari biasanya untuk sampai di Roseo Caffe, ada beberapa hal yang harus ia bicarakan dengan Alessandro. Cetha lekas menginjak pedal gas, Honda City emas membelah jalan basah menuju Roseo Caffe.
Beberapa menit perjalanan, akhirnya ia sampai. Boleh jadi plang Roseo Caffe yang berwarna cokelat itu tidak akan pernah bosan menyambutnya setiap kali ia tiba di sana. Setelah memarkir mobil, Cetha berlari cepat di bawah sergapan hujan menuju pintu masuk.
"Selamat pagi, Sepupuku," sapa Alessandro.
"Selamat pagi juga, Alessandro," jawab Cetha buru-buru. Tubuhnya separoh basah. "Pagi ini aku ingin secangkir capuccino panas dan seporsi roti brioche untuk sarapan. Kurasa kau sama sekali tak keberatan menyajikannya untukku, Alessandro."
"Roti brioche?" Alessandro menaikkan sebelah alisnya, "Tapi kurasa ini tidak sinkron, Cetha. Roti brioche berdamping capuccino panas pagi hari, itu bukan kebiasanmu yang kutahu selama ini. Apa karena kau sudah terlalu rindu dengan makanan tradisional itu, hah?"
"Astaga, kau ingin bercanda denganku, Sandro? Yang benar saja?! Apa aku harus memesan seporsi roti brioche dengan segelas granita? Atau segelas frappe lemon dengan delapan kali pencet botol krim dan susu? Cuaca sejuk seperti ini tenggorokanku akan terasa beku seketika karena ulah konyol seperti itu, bocah sialan!"
Alessandro tertawa lepas. Menggeleng-gelengkan kepala, "Kurasa kau sama sekali tak mewarisi sifat ibumu, Cetha. Menurutku kalian sangat bertolak belakang."
"Memangnya kenapa, hah? Sudah! Tidak usah menciptakan suasana lain, aku tak butuh opinimu itu. Bilang saja kau mengelak agar tak menyiapkan roti brioche untukku, 'kan? Yeah, karena kau akan kembali mengingat Alice si mantan kekasihmu itu, 'kan?" Cetha membalas tak mau kalah.
"Ehem, oh jadi Alice itu—" sebuah suara ikut ambil bagian.
"Heh, tutup mulutmu, Upik!" Tunjuk Alessandro pada seorang di meja belakang. Seorang dengan seragam pramusaji Roseo itu refleks bungkam.
"Opik, Ndro!" selang beberapa detik Taufik menyahut, membenarkan. Protes lantaran namanya disebut keliru.
"Terserah, tutup mulutmu atau kupotong habis jari-jarimu!"
"Astaga, ternyata kau masih saja mengharapkan gadis mungil itu, Alessandro?" Cheta menyeka bulir air di pelipis kanannya, ia terkekeh. Membenamkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
Alessandro diam tak berucap, wajahnya merah semu, malu. Kedua tangannya gesit, segera menyiapkan apa yang sebelumnya diminta oleh Cetha, segelas capuccino panas dan seporsi roti brioche. Menghiraukannya mungkin sedikit lebih baik, daripada mesti melayannya bicara, tidak akan ada habisnya. Boleh jadi Cetha akan terus-menerus menggodanya tanpa henti.
"Ya sudah, lanjutkan tugasmu. Emm, Alessandro, nanti aku akan kembali. Ada beberapa hal yang harus kubicarakan denganmu."
Cetha beranjak menuju bagian pojok Roseo, ia mengambil posisi duduk ternyamannya. Di tepian, dempet dengan kaca yang langsung terlempar pada kesibukan jalanan. Belakangan ini ia selalu saja dihadirkan pemandangan bulir hujan. Kota ini sedang dilanda musim hujan. But it's okey, ia suka dengan suasana ini. Lambat laun tempias air hujan memenuhi kaca transparan Roseo Caffe.
Haikal mendekat, membawa sesuatu di atas nampan cokelat bermotif ukiran klasik khas Italia.
"Pesananmu sampai, cappucino dengan seporsi roti brioche. Silakan dinikmati, Nona."
"Eh, sebentar. Boleh, dong. Aku memesan menu yang sama." Seseorang menyahut, bicara pada pramusaji itu. Tak banyak komentar, ia mengindahkan permintaannya.
"Hai, Cetha. Selamat pagi," Aditya menyapa lembut. Menarik kursi hitam, lantas duduk. Berhadapan langsung dengannya.
Cetha menatapnya setengah kaget, "Eh—"
"Eh, kenapa? Kamu selalu saja heran melihatku. Memangnya ada apa? Apa dari kemarin aku masih saja terlihat sangat tampan bagimu?" Aditya tertawa lepas, asyik membuka percakapan pagi dengan mengolok-oloknya.
"Astaga, tidak."
Taraaaaa! Aditya menyodorkan seikat bunga dengan seporsi brownies di atas meja. Cetha menelan ludah. Jantungnya mendadak berdebar-debar. Perasaannya campur aduk. Ia melempar tatapan heran, semua ini untuk apa? Hatinya bolak-balik bertanya.
"Apa kamu baik-baik saja hari ini? Yeah, semoga kamu baik-baik saja. Tadi aku buru-buru, jadi nggak bisa singgah sana-sini. Sialnya tadi malah kalah cepat dengan hujan."
Dua puluh menit lenyap. Mereka hanyut pada percakapan-percakapan, membahas apa saja yang ingin mereka bahas. Soal kuliner, soal komunitas di kota ini, fashion, sesuatu yang sedang booming, bahkan membahas macam-macam celana dalam pria yang sedang ngetren. Semakin lama percakapan mereka semakin akrab.
"Em, maaf. Coba kusingkirkan si cokelat manis ini," Aditya menyeka krim brownies di sudut bibir Cetha. Manis sekali perlakuannya. Semanis brownies cokelat bawaannya.
Beberapa kali Cetha melirik arloji yang terikat elok di pergelangan tangan mungilnya. Jarum jam menujuk pukul 16.45. Selang sepuluh menit, kedua bola matanya tenggelam pada pemandangan memukau, ia masih tertarik pada tanah dan rerumputan basah. Pada bulir-bulir air yang merosot lembut dari ujung bibir daun talas, kemudian lumat begitu saja. Ia suka pada situasi ini. Ia teramat cinta pada aroma yang sedari tadi coba dihirupnya berulang kali. Petrichor, aroma lepas hujan.
"Cetha." suara itu membuyarkan pandangannya, meredupkan suara alunan musik dari lagu Michael Buble yang tengah dinikmatinya.
Seseorang mendekat, menepis lamunan. Perlahan ia rasakan dekapan hangat yang sudah terlalu mudah untuk ia tebak. Seseorang itu memeluknya lembut dari belakang. Mengelus-elus rambutnya yang tergerai indah seraya berbisik lirih, "Maafkan Mama, ya."
Tak perlu menoleh, ia juga tahu siapa orang itu. Bahkan jika harus tanpa mendengar suaranya sebelumnya, ia juga akan tahu kalau Helena hadir di belakangnya. Aura itu tidak mungkin keliru, tidak mungkin berpindah ke lain orang.
Cetha senyum simpul, "Tidak seharusnya seorang ibu meminta maaf kepada anaknya. Sepantasnya anaklah yang meminta maaf pada ibunya."
"Mama benar-benar minta maaf. Mama janji nggak akan ulangi lagi."
"Sudahlah, Ma. Lupakan soal itu. Cetha baik-baik saja, Cetha juga coba untuk melupakan perkara itu. Untuk sekarang dan seterusnya, Cetha cuma mau Mama selalu ada buat Cetha. Cetha cuma butuh Mama untuk terus ada di samping Cetha, bukan dia atau siapa pun orang yang mungkin akan Mama kenalkan ke aku di lain waktu."
Helena memegang lembut kedua pipi Cetha, "No no no, sudah nggak ada waktu buat lakuin hal konyol seperti itu lagi. Sayang, dengar. Mama nggak akan ulangi hal bodoh itu lagi. Mulai saat ini, Mama janji akan jagain kamu sepenuhnya, okey. Kamu dengar?"
Helena memeluknya erat. Ia berharap, semoga saja Cetha benar-benar memaafkannya. Dan yang terpenting, ia dapat memastikan bahwa putrinya itu dapat cepat-cepat melupakan masalah ini. Karena ia cemas kalau akan terjadi sesuatu lagi padanya.
Helena melepas pelukan mereka perlahan. Ia baru ingat kalau beberpa menit yang lalu Gita datang kemari. “Oh ya, Gita nungguin di ruang tamu tuh.”
"Gita? Mager banget mau ke sana. Oh God, so lazy,” ia mengode.
Helena menatapnya lembut, "Hmm. Ya sudah, Mama panggil ke sini."
Cetha melempar senyum manja, "Terima kasih, Ma."
Helena mengecup kening putrinya, lekas bergegas memanggil Gita. Beberapa menit kemudian Gita muncul, kemudian masuk ke dalam kamar. "Hai. Aduh, maaf banget, ya. Sup ayammu jadi begini."
Gita menyodorkan semangkuk sup buatannya yang nyaris dingin lantaran beberapa menit yang lalu ia dibiarkan berlarut-larut menunggu di ruang tamu.
"Buatanmu pasti tak kalah enak dari Alessandro," puji Cetha.
“Duh. Jangan bandingkan dengan buatan Alessandro dong. Aku gak akan kuat,” ujar Gita tertawa menanggapi pujian Cetha.
Mereka menikmati sisa-sisa waktu sore hari. Sore ini udara dingin sekali, suasana sejuk lepas hujan masih lekat memeluk kota. Beberapa kali Cetha mengelus bahunya di balik balutan sweater abu-abu bertuliskan Italiano pemberian papanya beberapa bulan lalu.
"Cetha," setelah sekian menit bungkam, Gita coba memecah keheningan. Kali ini Cetha merespons cepat, menoleh ke arahnya.
"Kamu mau lihat sesuatu nggak?" ucap Gita pelan. Salah satu tangannya meraih smartphone miliknya dari atas nakas.
"Apa, Git?"
"Lihat, Chet!" Setelah satu menit sibuk mengutak-atik, Gita antusias menyodorkan smartphone ke arah Cetha.
"Aku lagi naksir sama orang itu," imbuhnya.
Melihat potret seseorang di dalam smartphone yang ia tunjukkan, Cetha tercengang. Ia sama sekali tak asing dengan orang itu. Pria dengan baju hitam berlogokan Komunitas Fotografer Malang di dada kirinya. Itu Aditya.
Cetha menelan ludah. Menatapnya dengan tatapan kosong. "Oh jadi, kamu lagi suka sama dia? Sejak kapan?" ia coba mencairkan suasana. Coba berpihak padanya.
Gita tertawa kecil, "Hahaha, aku juga tidak tahu sejak kapan mulai tertarik denganya.”
“Ah, sudahlah, lupakan soal itu. Ya sudah, aku tidak bisa berlama-lama. Aku mau pamit pulang saja. Tadi sudah janji sama Abi mau mampir ke toko hewan beli makanan kucingnya. See you tomorrow, Ceth!" Gita berpaling, meninggalkan pelukan lembut untuknya.
Cetha ingin tidur nyenyak malam ini. Tapi boleh jadi, semua hanya wacana belaka. Mustahil rasanya ia tidak akan memikirkan apa yang baru saja sahabatnya ucapkan. Sepertinya keputusan yang ia ambil cukup tepat. Diam, dan coba berpihak padanya. Mungkin itu cukup membantu untuk menjaga perasaan sahabatnya.
Jam digital di atas nakas menunjuk pukul 21.30. Tetapi Cetha sudah terlelap beberapa saat yang lalu. Apa ia tidak mau ambil pusing soal cerita Gita tadi sore? Entahlah.
Hari ini tak ada terdengar decit anak burung yang membuka pagi seperti biasanya. Bahkan secercah sinar mentari tidak menembus kaca jendela kamarnya untuk sekadar menyapa. Atau boleh jadi, mereka sepakat melewati rutinitas tersebut untuk hari ini? Atau mereka sama-sama sudah enggan?
Tujuh lewat sepuluh menit, pagi hari kota Malang.
Sisa letih tadi malam masih terasa. Ia merasa sedikit tidak nyaman dengan salah satu lengannya. Pegal. Wajar saja kalau sejak tadi kicauan anak burung tak ia dengar, atau sinar mentari yang tak sempat ia jamah, ternyata pagi ini hujan turun lagi.
Tepat tatkala kedua bola matanya terbuka, anak-anak hujan luruh membungkus buana. Kalau saja rumput hijau di halaman rumahnya dapat menjerit, mungkin saja mereka akan menjerit meminta ampun. Lantaran, jutaan anak hujan menghantam bumi semalaman tanpa jeda.
Cetha menggenggam setang kemudi. Pagi ini ia harus sedikit lebih cepat dari biasanya untuk sampai di Roseo Caffe, ada beberapa hal yang harus ia bicarakan dengan Alessandro. Cetha lekas menginjak pedal gas, Honda City emas membelah jalan basah menuju Roseo Caffe.
Beberapa menit perjalanan, akhirnya ia sampai. Boleh jadi plang Roseo Caffe yang berwarna cokelat itu tidak akan pernah bosan menyambutnya setiap kali ia tiba di sana. Setelah memarkir mobil, Cetha berlari cepat di bawah sergapan hujan menuju pintu masuk.
"Selamat pagi, Sepupuku," sapa Alessandro.
"Selamat pagi juga, Alessandro," jawab Cetha buru-buru. Tubuhnya separoh basah. "Pagi ini aku ingin secangkir capuccino panas dan seporsi roti brioche untuk sarapan. Kurasa kau sama sekali tak keberatan menyajikannya untukku, Alessandro."
"Roti brioche?" Alessandro menaikkan sebelah alisnya, "Tapi kurasa ini tidak sinkron, Cetha. Roti brioche berdamping capuccino panas pagi hari, itu bukan kebiasanmu yang kutahu selama ini. Apa karena kau sudah terlalu rindu dengan makanan tradisional itu, hah?"
"Astaga, kau ingin bercanda denganku, Sandro? Yang benar saja?! Apa aku harus memesan seporsi roti brioche dengan segelas granita? Atau segelas frappe lemon dengan delapan kali pencet botol krim dan susu? Cuaca sejuk seperti ini tenggorokanku akan terasa beku seketika karena ulah konyol seperti itu, bocah sialan!"
Alessandro tertawa lepas. Menggeleng-gelengkan kepala, "Kurasa kau sama sekali tak mewarisi sifat ibumu, Cetha. Menurutku kalian sangat bertolak belakang."
"Memangnya kenapa, hah? Sudah! Tidak usah menciptakan suasana lain, aku tak butuh opinimu itu. Bilang saja kau mengelak agar tak menyiapkan roti brioche untukku, 'kan? Yeah, karena kau akan kembali mengingat Alice si mantan kekasihmu itu, 'kan?" Cetha membalas tak mau kalah.
"Ehem, oh jadi Alice itu—" sebuah suara ikut ambil bagian.
"Heh, tutup mulutmu, Upik!" Tunjuk Alessandro pada seorang di meja belakang. Seorang dengan seragam pramusaji Roseo itu refleks bungkam.
"Opik, Ndro!" selang beberapa detik Taufik menyahut, membenarkan. Protes lantaran namanya disebut keliru.
"Terserah, tutup mulutmu atau kupotong habis jari-jarimu!"
"Astaga, ternyata kau masih saja mengharapkan gadis mungil itu, Alessandro?" Cheta menyeka bulir air di pelipis kanannya, ia terkekeh. Membenamkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
Alessandro diam tak berucap, wajahnya merah semu, malu. Kedua tangannya gesit, segera menyiapkan apa yang sebelumnya diminta oleh Cetha, segelas capuccino panas dan seporsi roti brioche. Menghiraukannya mungkin sedikit lebih baik, daripada mesti melayannya bicara, tidak akan ada habisnya. Boleh jadi Cetha akan terus-menerus menggodanya tanpa henti.
"Ya sudah, lanjutkan tugasmu. Emm, Alessandro, nanti aku akan kembali. Ada beberapa hal yang harus kubicarakan denganmu."
Cetha beranjak menuju bagian pojok Roseo, ia mengambil posisi duduk ternyamannya. Di tepian, dempet dengan kaca yang langsung terlempar pada kesibukan jalanan. Belakangan ini ia selalu saja dihadirkan pemandangan bulir hujan. Kota ini sedang dilanda musim hujan. But it's okey, ia suka dengan suasana ini. Lambat laun tempias air hujan memenuhi kaca transparan Roseo Caffe.
Haikal mendekat, membawa sesuatu di atas nampan cokelat bermotif ukiran klasik khas Italia.
"Pesananmu sampai, cappucino dengan seporsi roti brioche. Silakan dinikmati, Nona."
"Eh, sebentar. Boleh, dong. Aku memesan menu yang sama." Seseorang menyahut, bicara pada pramusaji itu. Tak banyak komentar, ia mengindahkan permintaannya.
"Hai, Cetha. Selamat pagi," Aditya menyapa lembut. Menarik kursi hitam, lantas duduk. Berhadapan langsung dengannya.
Cetha menatapnya setengah kaget, "Eh—"
"Eh, kenapa? Kamu selalu saja heran melihatku. Memangnya ada apa? Apa dari kemarin aku masih saja terlihat sangat tampan bagimu?" Aditya tertawa lepas, asyik membuka percakapan pagi dengan mengolok-oloknya.
"Astaga, tidak."
Taraaaaa! Aditya menyodorkan seikat bunga dengan seporsi brownies di atas meja. Cetha menelan ludah. Jantungnya mendadak berdebar-debar. Perasaannya campur aduk. Ia melempar tatapan heran, semua ini untuk apa? Hatinya bolak-balik bertanya.
"Apa kamu baik-baik saja hari ini? Yeah, semoga kamu baik-baik saja. Tadi aku buru-buru, jadi nggak bisa singgah sana-sini. Sialnya tadi malah kalah cepat dengan hujan."
Dua puluh menit lenyap. Mereka hanyut pada percakapan-percakapan, membahas apa saja yang ingin mereka bahas. Soal kuliner, soal komunitas di kota ini, fashion, sesuatu yang sedang booming, bahkan membahas macam-macam celana dalam pria yang sedang ngetren. Semakin lama percakapan mereka semakin akrab.
"Em, maaf. Coba kusingkirkan si cokelat manis ini," Aditya menyeka krim brownies di sudut bibir Cetha. Manis sekali perlakuannya. Semanis brownies cokelat bawaannya.
Di saat bersamaan, suara nyaring terdengar dari meja seberang. Benda berbahan dasar alumunium jatuh. Mereka berdua sontak melihat ke arah sumber suara itu. Gita berdiri di samping meja nomor dua belas. Beberapa detik ia menatap mereka berdua, ia buru-buru menjatuhkan pandangan ke lantai pualam, memungut kaleng susu, kemudian cepat-cepat beranjak dari sana. (Bersambung)
Posting Komentar untuk "Roseo (4)"