Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerjemah : Yulita Dewi
Pusparanny
Penerbit : Haru
Tahun Terbit : Desember, 2017
Jumlah Halaman : 332
Penerbit : Haru
Tahun Terbit : Desember, 2017
Jumlah Halaman : 332
Kenapa aku tidak bisa keluar dari pulau ini?
Miyuki dibesarkan di Yuki-no-Shima, sebuah pulau terpencil yang
konon dilindungi oleh Simatama-san, dewa penjaga pulau. Miyuki yang
bermimpi menjadi artis akhirnya keluar dari pulau itu dan tinggal di Tokyo
meskipun ditentang oleh kedua orangtuanya.
Setelah lama tidak pulang, akhirnya tahun ini Miyuki akan pulang
bersama dengan Toshiaki, kekasihnya. Meski awalnya Miyuki tidak menyadarinya,
tapi sepertinya Simatama-san tahu ada yang tidak beres dengan Toshiaki.
Apa pun yang terjadi, Shimatama-san pasti melindunginya,
kan?
-000-
Sesuai blurb di atas, konflik
memang baru terjadi ketika Miyuki pulang ke tempat kelahirannya. Sebelumnya,
digambarkan bagaimana kehidupan gadis itu di Tokyo. Di bagian ini cukup
membosankan, karena dijelaskan dengan terlalu detail.
Ada cukup banyak tokoh sampingan
seperti teman Miyuki dan sifat-sifat mereka juga dikupas satu persatu, meski
tidak berpengaruh ke cerita. Namun, hal tersebut justru memberikan nyawa untuk
novel ini. Penulis berhasil membuat pembaca memunculkan ekspresi jengkel,
heran, dan sinis.
Sementara itu, tokoh sampingan yang
paling dekat dengan Miyuki adalah Toshiaki dan Kaori. Mereka sama-sama
menyebalkannya, tapi Miyuki tetap tidak bisa lepas dari mereka. Apa lagi kalau
bukan sifat keras kepala gadis itu. Harapan dan impian turut serta mengambil
andil. Sayang, saking besarnya dia sampai tidak bisa berpikir logis dan itu
membuat pembaca gemas padanya.
Ketika latar berpindah ke pulau,
tokoh sampingan bermunculan kembali. Lagi, penulis memfokuskan pada sifat-sifat
mereka. Bedanya, pembaca dibuat lebih bersimpati lantaran terdapat semangat
yang tinggi untuk memberdayakan pulau. Pembahasan-pembahasan tentang budaya
juga menambah daya tarik Silence. Deskripsi matang membuat pembaca seolah-olah
sedang mengikuti perayaan tertentu.
Novel ini lebih cocok untuk
dikategorikan sebagai slice of life. Namun, penulis yang telanjur
dikenal akan genre misteri ini membubuhkan tentang dewa penjaga pulau
sebagai bumbu, sebab sebenarnya tidak ada hal aneh. Pembaca hanya digiring
untuk berpikir ke sana.
Misteri sejati adalah hal-hal yang
tidak terungkap. Miyuki tidak diceritakan mengetahui apa yang sebenarnya dan
menganggap memang seperti itu adanya.
Untuk teknik menulis, Akiyoshi sensei
menggunakan alur yang kurang efektif, meski bertujuan untuk menyuguhkan
informasi secara bertahap. Plot lambat. Pembaca seperti naik roller coaster.
Ketika mulai nge-hype, adegan berubah, dan malah menjelaskan hal-hal
remeh. Kalau melompati bacaan, takut melewatkan semacam petunjuk. Jadi, sensasi
membaca Silence seru dan membosankan pada saat bersamaan.
Kemampuan penulis untuk menjaga
pembaca melanjutkan sampai akhir cerita adalah diksi yang digunakan. Kelam dan
memiliki aura suram nan unik.
Nilai tambah lain untuk novel ini
adalah tema besar yang diangkat. Sederhana, tentang rasa syukur. Menariknya,
penulis berhasil mengemasnya dengan sedemikian rupa, menjadi sebuah cerita
dengan pesan moral tinggi.
Sebaik-baiknya tempat adalah tanah
kelahiran. Merantau hanya untuk mengejar ambisi tanpa tujuan jelas sama saja
membunuh masa depan. Setidaknya, penulis juga berusaha menyampaikan value
ini ke dalam Silence. Tatsuya, pemuda pulau, adalah tokoh yang bertugas dalam
hal tersebut.
Secara keseluruhan, ide yang
diangkat penulis tergolong umum, berbeda dengan novel-novel sebelumnya. Layak
mendapat 3,5 bintang, karena tema, diksi, dan pesan moral tinggi menjadikan
Silence patut dibaca.
Posting Komentar untuk "Silence; Korelasi Sifat-Sifat Manusia dan Rasa Syukur"