Setelah kutitipkan sekerat rindu di
matamu, di telingamu
Lalu kau rawat ia sebagai nyalang
rasa yang aromanya terus
menyiksa sekaligus rerindang bagi
segala terik siang hariku;
sebagai peneroka menuju pelukku,
muara seluruh jalan pulangmu
atau sebagai puisi yang senantiasa
berdenyut nadi di langit-langit
kepalamu sebab waktu dalam peta
kecil kita adalah ibu bertangan
Dingin
Tapi, Na, waktulah sejatinya yang
merawat kita dalam
ingatan dan nyengat rasa yang akan
terus sama belaka
seperti beberapa tahun silam saat berdua
sama-sama kita mabuk
setelah menenggak soneta soneta
agung Pablo Neruda
lalu wajahmu dan suaramu dan tawamu
dan tatap matamu
tertitipkan di tiap larik-larik
sajaknya – semacam gramofon
dengan namamu sebagai piringan
hitamnya:
rerindang bagi segala terik siang
hariku
namun, belum rubuh rumah yang kau
bangun di dadaku, Na
dari dalam sana, kerap terdengar
gema suara yang
menyiksa sampai ke langit-langit
kepala menjelang kita
berdenyut nadi sebagai sepasang merpati
yang saling menziarahi
meski berkali-kali dimuntahkan oleh
angkuh waktu
biar kurumahkan seluruh ruang ke
dalam pusara
wajahmu dan kutitip barang
sekerat rindu di matamu, di
telingamu, Na.
Syakki
Bogor-Pandeglang 2018
Posting Komentar untuk "Na, Harus Kujuduli Apa Racau Ini "