Guru baru itu bernama Khumaerah Zahara, namun ia lebih akrab dipanggil bu Hera. Penampilannya menawan,berbalut
gamis dan jilbab terurai.Dia juga supel dan ringan tangan kepada siapa saja.
Pagi itu, dia sedang menyeduh kopi di ruang guru. Diapun
menawariku secangkir kopi dengan ramah ,lalu ijin keluar. Aku tahu, dia sebenarnya risih dan
takut fitnah karena hanya kami berdua di ruangan itu. Hari-hari berikutnya, aku
semakin sering memperhatikannya.Kalau sudah begitu, dia akan balik tersenyum,
memamerkan deretan gigi putihnya, berbingkai bibir mungil pink alami.
Aku sendiri tak begitu terbuka dalam pergaulan. Aku ingat hanya pernah 1 kali jatuh cinta , yakni saat aku SMA kelas 2. Waktu itu, si bintang kelas
Irma, mengalihkan duniaku. Kuberanikan diri untuk menulis sepucuk surat cinta.
Di luar dugaanku, ia menangis dan beberapa minggu kemudian memutuskan pindah
sekolah. Sejak saat itu, tak berani lagi aku jatuh cinta seperti saat aku melihat
khumaerah.
Pada suatu kesempatan langka,
kuberanikan diri untuk mengajak gadis pujaan hatiku ini berbicara 4
mata.Senyumnya merekah membuatku semakin bersemangat mendekatinya.
“Bu hera, boleh kita bicara?”
“ Wah pak Hidayat. Ada apa yah? Santai aja pak”
“hmmm sebenarnya…maafkan saya bu. Saya sudah
beberapa bulan ini memperhatikan ibu. Dan sepertinya, saya…” Kuhapus peluh di
pelipisku
“ Bapak suka sama saya?” Katanya benar-benar santai.
Aku semakin kikuk jadinya.
“Iyya bu. Maaf kalau saya lancang”
“ Temui ayahku. Hari minggu jam 09.00 pagi.Terima kasih”
Dia berlalu,masih memamerkan senyumnya. Apa ini
artinya perasaanku
bersambut? Mimpikah aku?
***
Kabar lamaranku ke rumah khumaerah
tersiar di sekolah.
Beberapa guru menyemangatiku.Untungnya siswa-siswi belum tau. Atau mereka mungkin tau tapi segan membahasnya.
Kabar gembiranya adalah lamaranku
diterima dan kabar buruknya, jumlah uang panaik yang disodorkan ayah
Khumaerah, di luar perkiraanku. Sebelumnya, aku tak
menyangka kalau di keluarga khumaerah juga akan menetapkan uang panaik yang
melambung. Secara kami berdua berlatar pendidikan yang sama, juga gelar andi
yang menunjukkan darah kebangsawanan kami. Hanya saja menurut cerita ayahnya,
strata kebangsawanannya lebih tinggi dibanding kami.Kejanggalan lainnya adalah
jarak penetapan pernikahan kami lumayan jauh dari waktu lamaran , yakni 9
bulan. Sebab ayahnya ingin agar pernikahan khumaerah dilaksanakan bersamaan
dengan adiknya . Pada hematku, uang panaiknya dapat keluargaku sediakan. Tidak
perlu menunggu jeda selama itu.
Suatu hari, aku benar-benar
diuji. Ibuku jatuh sakit dan mendesak agar aku menikah. Aku mengutarakan niatku
kepada ayah khumaerah,tapi ia malah menyambut dengan skak mat.Lamaran dan rencana
pernikahanku batal. Tak perlu menunggu waktu lama, khumaerah bahkan
mengundurkan diri dari tempat bekerja kami.
Aku dirundung kebingungan.Aku
malu pada teman-temanku,juga
sedih karena kembali kehilangan cinta serta tak mampu memenuhi keinginan ibu.
Hariku murung meski aku sudah berusaha terlihat seceria mungkin. Meninggalkan
pekerjaanku karena
patah hati sungguh bukan
pilihan bijak . Hal itu bukan
karena aku PNS yang pengurusan pindahnya sulit, tapi lari dari masalah
bukanlah kiblatku.
***
“Pak Hidayat, kenapa murung saja?Mau kopi?” Kali ini
bu Indah menawarkan kopi.
Setahuku,dia guru senior yang
belum menikah. Dia tidak begitu banyak bercanda atau bercengkrama dengan para
guru.Tapi ia sangat vocal dalam rapat. Ia juga perfeksionis dan akan berubah
menjadi lembut bak ibu peri di depan para siswa. Tidak banyak yang dapat
menebak kisah hidupnya. Mendapati dia menawariku kopi seperti hujan di siang
hari.
“begitulah kehidupan pak. Cenderung
mempermainkan.Yah asal kita tidak terbiasa bermain api saja”
Senyuman canggung menggantung di wajahnya.
“iyya,bu” Aku mengangguk sok tahu, padahal aku sama
sekali belum bisa meraba maksud perkataan bu indah”.
“Saya sudah mendengar kisah pak hidayat. Juga
tentang ibu Anda. Saya turut prihatin yah,pak”
Mendadak perempuan yang kupastikan lebih tua
daripada umurku ini menjadi sangat menarik.Inner beautynya menari di hadapanku.
“Terima kasih bu. Kalau tidak merepotkan, adakah
saran ibu ?”
“Jangan pernah menyesal. Penyesalan itu milik orang
yang kecewa.Dan kekecewaan milik orang yang tidak Ikhlas. Itu saja sih,pak!”
wajahnya berseri dan semakin mempesonakanku.
Oh ya, ada lagi pribahasa jepang : fall 7 times, stand
8 times! Paham kan maksudnya? Ia berlalu tanpa menungguku menganggukkan kepala.
***
Sejak percakapanku dengan bu
Indah, aku mulai ceria lagi. Wajahnya malah kerap mondar-mandir di hadapanku.
Terlebih di malam hari, sesaat sebelum aku memejamkan mata. Inikah jatuh cinta
yang ke tiga kalinya?
Mengapa aku jadi semudah ini jatuh cinta? Apa karena
aku benar-benar suka atau karena desakan ibu?
Tak ingin berlama-lama dalam kepenatan,besoknya kuberanikan diri
mendatangi bu Indah, di ruang BK. Ruangannya. Dalam hati, aku merasa lucu.
Apakah saat ini aku serupa siswa yang sedang butuh treatment dan konseling?
Tapi semuanya sudah kepalang basah. Aku bahkan tidak peduli pada beberapa
pasang mata rekan-rekan guru dengan sorot yang berbeda-beda.
“Assalamu ‘alaikum, bu Indah”
“Wa’alaikum salam. Masuk pak Hidayat!”
“Saya ingin mengucapkan terima kasih atas saran bu
Indah kemarin”. Ucapku sambil menyodorkan sekotak coklat.
“Wah, tak perlu repot-repot membawa hadiah pak. Kemarin
itu,Kebetulan
saya ke ruang guru dan saya liat bapak lagi kalut” tawanya
renyah. Ajaib!
“Apapun itu, saya tetap berterima kasih,bu” sahutku
sopan, menyembunyikan kekagumanku yang semakin menggila.
“terima kasih juga sudah mau meminta saran saya
kemarin. Apa Bapak masih butuh saran lagi?’
“Tentu bu, dengan senang hati”
“semoga Bapak juga senang mendengar saran saya
selanjutnya.”
“Baik,bu” Aku semakin penasaran. Percakapan kami
semakin hangat. Rentetan dialog yang tak kupikirkan sebelumnya terbentuk dari
jelmaan kalimat-kalimat bijak bu Indah.
“Ini foto keponakan saya.Barangkali
cocok dengan Bapak.Ia
masih lajang
dan juga seorang guru”. Bu indah mengambil sesuatu
di laci mejanya. Menyodorkan foto seorang gadis berkerudung biru.
“Amanat cintaku” bathinku.
END
Posting Komentar untuk "Amanat Cinta"