Cap: Pemukiman Suku Baduy Luar |
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, budaya,
bahasa dan adat-istiadat. Terdapat lebih dari 300 kelompok atau suku bangsa di
Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia meiliki
1.340 suku yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Salah satu suku yang
masih kuat memegang adat istiadat yang telah turun temurn diwariskan adalah
suku Baduy yang terletak di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kab. Lebak
Provinsi Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Suku
Baduy merupakan suku asli wilayah provinsi Banten yang telah lama menjadi
sorotan karena tetap menjaga keaslian adat istiadat terutama suku Baduy Dalam.
Wilayah suku Baduy berada di kaki Gunung Kendeng dengan ketinggian 300-600
meter dari permukaan laut. Topografi wilayah Baduy berbukit dan bergelombang
dengan kemiringan rata-rata 45°. Suku Baduy terbagi menjadi dua yaitu suku
Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam.
Suku Baduy Luar
Suku Baduy Luar sejatinya merupakan bagian dari suku Baduy Dalam. Namun bedanya suku Baduy Luar telah menerima adanya modernisasi seperti menggunakan Hanphone, TV, kendaraan bermotor dan barang-barang modern lainnya. Suku Baduy Luar lebih terbuka dan ramah kepada para pendatang. Menurut data BPS tahun 2009 jumlah desa di Baduy Luar sebanyak 55 Desa. Lokasi terkahir penggunaan kendaraan bermotor untuk memasuki suku Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah Ciboleger.
Cap: Pelataran Rumah Suku Baduy Luar |
Terkait pakaian sehari-hari, suku Baduy Luar menggunakan baju warna hitam dan biru dongker, warna gelap tersebut menandakan bahwa mereka telah kotor karena telah terkontaminasi dunia luar dan melanggar peraturan adat. Namun sebagian lainnya ada juga yang memakai baju modern seperti kaos oblong atau celana jens. Meskipun seperti itu, hubungan suku Baduy Luar dan suku Baduy Dalam tetab terjalin baik. Pusat kegiatan adat tetap terpusat di suku Baduy Dalam yang berada di tengah hutan pegunungan Kendeng. Tak jarang ketika hari raya adat atau hal-hal yang berhubungan dengan upacara adat, suku baduy luar berbondong-bondong ke wilayah suku Baduy dalam untuk mengikuti prosesi adat.
Suku Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam adalah suku yang sangat kokoh
memegang adat dan tradisi leluhur. Warga Baduy Dalam menjauh dari mordernisasi,
untuk menjaga kelestarian alam dan kemurnian adat. Suku Baduy Dalam meiliki
tiga Desa utama yaitu Desa Cikeusik, Desa Cikertawana, dan Desa Cibeo.
Cap: Pemukiman Suku Baduy |
Di dalam desa, tak ada sedikitpun listrik sehingga
jika malam tiba suasana cukup gelap. Penerangan hanya bersumber pada lampu
“Ublik” atau lampu “Teplok” yang dibuat sederhana dengan bahan bambu kemudian
diberi cekungan tengahnya, di isi minyak kelapa dan di ujung diberi sumbu untuk
menyalakan api. Selama di baduy Dalam, pendatang juga tak diperbolehkan membawa
Hanphone, jika ketahuan makan hanphone akan di sita oleh kepala suku atau pu’un dan tak akan dikembalikan.
Sikap warga suku Baduy Dalam lebih tertutup kepada
para turis daripada suku Baduy Luar. Sehingga tak sembarangan pelancong bisa
masuk ke area suku Baduy Dalam tanpa mengenal warga asli terlebih dahulu. Namun
hingga kini warga Baduy Dalam tak mengijinkan sama sekali warga negara asing
berkunjung ke wilyah mereka.
Disisi
lain, yang cukup unik adalah pakaian suku Baduy Dalam. Berbeda dengan suku
Baduy Luar, suku Baduy Dalam biasanya memakai baju berwarna putih tanpa ada
kancing, memakai ikat kepala warna putih, dan sarung atau celana berwarna gelap
terbuat dari kain serat alami buatan tangan suku Baduy. Warna putih ini
melambangkan kesucian yang tak terkontaminasi dengan dunia luar atau
modernisasi. Namun ada pula suku Baduy Dalam yang menggunakan baju hitam namun tetap memakai ikat kepala putih. Warna hitam menandakan warna alam.
Berbeda
dengan suku Asmat di papua atau suku-suku pedalaman lainnya yang tak
terkontaminasi oleh modernisasi karena memang mereka tak tau dengan hal
tersebut, suku Baduy tau bahwa adanya modernisasi dan perkembangan zaman diluar
sana. Hal tersebut terlihat ketika suku Baduy Dalam mau menerima tamu dari luar,
dan sesekali berjalan kaki ke kota untuk menjual hasil bumi mereka. Namun
mereka tetap kokoh memegang adat istiadat leluhur mereka dan menutup diri dari
pengaruh dunia luar.
Kejujuran Suku Baduy Dalam, Angka Kriminalitas
“Nol”
Hal yang tak kalah unik adalah warga
Baduy dalam di ijinkan untuk pergi keluar desa, namun harus tanpa memakai alas
kaki. Mereka pun turun gunung dengan medan yang curam dan penuh batu tanpa
menggunakan alas kaki. Sepanjang pengetahuan dan observasi penulis, tak pernah
menjumpai suku Baduy Dalam yang bersikap curang ditengah perjalanan memakai
alas kaki dan ketika mendekati wilayah Desa Baduy Dalam melepaskan alas kaki.
Mereka sangat menjujung tinggi kejujuran dalam kehidupan.
Cap: Anak Suku Baduy Dalam yang turun gunung ke Baduy Luar |
Semua
ukuran rumah suku Baduy sama tinggi dan memiliki model yang seragam, sehingga
tak terlihat perbedaan kasta atau starta sosil. Namun yang membedakan dia lebih
kaya atau tidak adalah banyaknya padi yang mereka simpan di lumbung padi.
Sehingga karena rasa tenggang rasa yang sangat tinggi antara warga suku Baduy
Dalam, membuat angka kriminalitas “nol”. Mereka lebih memilih untuk meminjam
daripada mencuri karena rasa malu yang sangat tinggi.
Agama yang di Anut Suku Baduy
Suku Baduy pada umumnya tak memiliki agama namun
memiliki sebuah kepercayaan yang dikenal dengan ‘Sunda Wiwitan’ yang
berlandaskan pada kepercayaan leluhur nenek moyang (animism) dan lebih
menekankan pada hidup selaras dengan alam serta menjaga harmonisai alam. Mereka
sangat patuh dengan adat mutlak yang di anut secara turun temurun. Dalam
berbagai kehidupan dan prosesi adat mereka dipimpin oleh kepala Desa atau Pu’un. Pemilihan Pu’un dipilih dari
garis keturunan. Namun tak sembarang orang bisa bertemu dengan pu’un, hanya jika adalah keperluan
penting baru bisa bertemu dengan pu’un.
Namun
kini tak sedikit suku Baduy Dalam yang memiliki KTP, uniknya pada kolom agama
tak diisi, karena mereka memang hanya menganut kepercayaan saja. Berbeda dengan
suku Baduy Luar yang saat ini banyak yang telah mengenal dan memeluk agama
islam. Kemudian dasar ajaran masyarakat Baduy dalam Sunda Wiwitan adalah
kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan
kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang
Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa).
Filosofi Hidup Suku Baduy
Cap: Sanib Warga Suku Baduy Dalam |
Dalam kehidupan sehari-hari, warga Baduy Dalam hidup
adalah ‘pikukuh’ atau kepatuhan,
yaitu konsep tanpa perubahan. Warga Kanekes atau suku Baduy mengenal istilah
‘panjang tak bisa dipotong, pendek tak bisa di tambah’ atau dalam bahasa warga
baduy ‘Lojor heunteu beunang dipotong,
pendek heunteu beunang disambung’. Hal tersebut bermakna apa yang telah
diajarkan oleh leluhur tak bisa di tambah ataupun dikurangi, selalu sama dari
masa ke masa.
Penulis
pun mendaptkan data dari narasumber suku Baduy Dalam yang menyatakan bahwa
selain pikukuh, mereka juga sangat
menjunjung tinggi kesederhanaan. Hidup apa adanya tanpa kemewahan, sehingga
hati akan merasa tentram taka ada was was. Antara warga satu dan yang lain
memiliki ritme hidup, hunian yang sama, tak ada iri hati.
Kearifan
lokal yang ditonjolkan oleh warga Baduy selain terkenal dengan kejujurannya,
mereka sangat menjaga alam. Mereka menganggap bahwa alam adalah karunia yang
harus dijaga, bahkan mereka tak pernah membuat terasiring untuk menanam padi,
mereka menggunakan lahan tunggal. Hal tersebut dilakukan demi menjaga keaslian
hutan. Kearifan hidup warga Baduy bagai permata di tengah hutan, kesadaran yang
tinggi tertanam disetiap hati warga Baduy.
Sektor Pendidikan
Sejak dulu hingga kini, warga suku baduy tak diijinkan
untuk mengenyam Pendidikan formal. Pola pengasuhan anak memiliki ritme
tersendiri dalam mengajarkan Pendidikan moral, etika dan ketrampilan bercocok
tanam. Pada usia 1-10 tahun, pengasuhan menyeluruh diawasi oleh keluarga. Namun
di atas 10 tahun ada perkumpulan di lapangan untuk musyawarah adat selama
sekitar dua jam. Perkumpulan tersebut di ajarkan oleh Jaro Tangtu yang diadakan
setiap tiga bulan sekali.
Namun
jangan heran, sudah banyak warga suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar yang
sudah bisa baca dan tulis. Mereka belajar secara otodidak dari para turis atau
pelancong yang datang. Hal unik yang menjadi alasan kenapa mereka tak ingin bersekolah
adalah ‘jika mereka sekolah mereka akan pintar, jika mereka pintar mereka akan
mencoba mengakali atau mencurangi orang sesama suku’. Sehingga mereka lebih
senang dengan kondisi mereka sekarang, hidup saling tenggang rasa, menghormati,
tanpa ada keinginan untuk mencurangi.
Sektor Kesehatan
Cap: Kain Khas Suku Baduy |
Di tengah masyarakat suku Baduy Dalam, mereka tak
mengenal dokter. Namun saat ini pemerintah sudah peduli dengan memberikan
kunjungan rutin selama tiga bulan sekali untuk memberikan pengobatan gratis
pada suku Baduy Dalam. Namun tak semua warga mau untuk menerimanya. Warga Baduy
dalam mengenal ‘paranormal’ sebagai orang yang dipercaya mengobati sakit
mereka. Paranormal biasa menggunakan ramuan dari daun dan hasil hutan.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar
adalah bercocok tanam dan berdagang. Namun suku Baduy Dalam lebih banyak
bercocok tanam, pada umumnya tanaman padi adalah tanaman wajib yang harus
mereka tanam untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka hanya akan panen setahun
sekali dan di masukan kedalam gubug lumbung padi. Ada pula tanaman yang pantang
untuk di tanam yaitu cengkeh, kopi, kacang tanah dan singkong. Alsannya karena
itu sudah larangan atau aturan adat yang harus di patuhi.
Sedangkan
untuk barang yang di perjualbelikan adalah kain tenun Baduy, Madu dan Gula
Aren. Suku Baduy Dalam biasanya akan berjalan kaki hingga ke Baduy Luar atau ke
kota untuk menjual barang dagangannya.
Posting Komentar untuk " Kearifan Lokal Suku Baduy, Lebak Banten Bak Permata di Tengah Hutan"