Sebuah kado spesial di hari Jumat untuk sahabat baruku.
Tia, seorang wanita tangguh pantang mengeluh, meski jarum suntik terus menembus kulitnya selama 4 jam, dua kali dalam seminggu.
Sengaja kukirimkan kado ini dihari Jumat, karena ini adalah harinya untuk berkencan dengan peralatan cuci darah. Aku belum pernah menemuinya, tapi hatiku terpanggil untuk mengenalnya lebih dekat, menawarkannya menjadi sahabat.....meski hanya sekedar melalui tulisan.
Inilah kisah tentang Tia Martiana Surjatman.
Oleh: Dita Faisal
Tahun demi tahun ia lalui dengan ritme yang sama. Mungkin saja rasa jenuh mulai menghampiri. Tapi bosan tak boleh dibiarkan datang. Tia, sudah lama ditinggal ayahnya saat semester awal kuliah strata satu. Lika-liku terus menerjang perjalanannya menyelesaikan studi lanjutan selepas sekolah menengah atasnya tuntas. Pasca ayahnya meninggal, Mei 2008, akibat komplikasi penyakit hati (liver), Tia harus berjuang lebih keras untuk membiayai kuliahnya. Uang pensiunan ayahnya tak bisa dihabiskan hanya untuk mengongkosi perkuliahan Tia semata, tapi juga harus dibagi kepada adiknya yang masih sekolah.
Lulus menjadi sarjana tak membuatnya puas diri menimba ilmu. Angannya melanjutkan kuliah Program Pascasarjana pun terwujud. Tia diterima di Universitas yang sama saat ia kuliah S1. Semester satu berjalan, Tia pun semangat untuk menggapai impian. Tapi, itulah kehidupan, antara keinginan dan kenyataan seringkali tak berjalan beriringan. Baru saja menjalani semester awal program magisternya, Februari 2013, Tia divonis gagal ginjal. Fisiknya yang tak lagi kuat memaksanya untuk cuti di semester 2. Ketatnya administrasi membuat Tia terlambat mengurus cuti perkuliahan. Biaya terus berjalan. Tia pun angkat tangan, bukan karena menyerah, tapi karena ada yang harus diprioritaskan. Tia harus memilih antara cuci darah atau kuliah.
Tia, seorang wanita tangguh pantang mengeluh, meski jarum suntik terus menembus kulitnya selama 4 jam, dua kali dalam seminggu.
Sengaja kukirimkan kado ini dihari Jumat, karena ini adalah harinya untuk berkencan dengan peralatan cuci darah. Aku belum pernah menemuinya, tapi hatiku terpanggil untuk mengenalnya lebih dekat, menawarkannya menjadi sahabat.....meski hanya sekedar melalui tulisan.
Inilah kisah tentang Tia Martiana Surjatman.
Oleh: Dita Faisal
Salah satu doa yang tak pernah henti terucap dikala raga masih sehat maupun terkulai lemah tak berdaya adalah meminta kesehatan dan keselamatan. Sehat adalah dambaan bagi setiap mahluk Tuhan yang pernah dilahirkan dan diciptakan.
Sehat itu anugerah! Namun, meski sudah menjaga kesehatan sebaik mungkin dan berdoa tiada henti pada Sang Pencipta, nyatanya terkadang sakit datang tanpa diundang.
Mungkinkah ini cobaan? atau justru keberuntungan karena menjadi momen untuk kita lebih dekat dengan Tuhan? Apalagi ketika vonis cuci darah seumur hidup telah dilontarkan seorang profesor berjubah putih di sebuah ruangan, ketika kita tengah menggapai cita.
Sehat itu anugerah! Namun, meski sudah menjaga kesehatan sebaik mungkin dan berdoa tiada henti pada Sang Pencipta, nyatanya terkadang sakit datang tanpa diundang.
Mungkinkah ini cobaan? atau justru keberuntungan karena menjadi momen untuk kita lebih dekat dengan Tuhan? Apalagi ketika vonis cuci darah seumur hidup telah dilontarkan seorang profesor berjubah putih di sebuah ruangan, ketika kita tengah menggapai cita.
Cuci Darah! Itu Pilihan Tuhan
26 Februari 2013, adalah saat-saat mendebarkan bagi Tia Martiana Surjatman. Kala itu, untuk pertama kalinya, Tia masuk ke ruangan yang tak biasa ia lihat. Bukan ruang rawat jalan atau ruang kontrol penyakit dalam, dengan perlengkapan standar ruang pemeriksaan, melainkan ruangan asing dengan mesin penuh selang berwarna transparan yang siap mengalirkan darah ke pasien yang baru mulai menatapnya.
Atas saran Dr. Jony, saat itu Tia harus berbaring selama 2 jam menerima transfusi darah melalui mesin pencuci darah di RS. Hasan Sadikin Bandung. Seminggu kemudian Dr. Jony memvonis Tia menjadi pasien hemodialisis yang memungkinkan dirinya harus cuci darah seumur hidupnya. Satu hal yang sulit diterima oleh Tia adalah mengapa vonis itu datang tepat di hari ulang tahunnya, 1 Maret 2013.
Tak lantas terima, Tia dan keluarga akhirnya mendatangi dokter berbeda. Harapannya, akan ada diagnosa lain yang menggembirakan hatinya. Tapi, semangatnya mulai rontok, ketika vonis Dr. Jony diperkuat oleh dokter senior benama Prof. Rully yang memvonis Tia gagal ginjal kronis. Pertengahan Maret 2013, daftar pasien baru cuci darah seumur hidup bertambah dengan satu nama, Tia Martiana.
Kini, lima tahun telah berlalu, Tia masih harus mondar-mandir rumah sakit untuk cuci darah. Dari yang tadinya harus ditemani mama tercinta, hingga akhirnya berani masuk ke ruangan hemodialisis tanpa pendamping. Tia harus membiasakan untuk melakukannya sendiri, datang di pagi buta agar mendapatkan nomor antrean pertama, bersiap menerima transfusi darah lewat mesin hemodialisis bertuliskan Nipro atau Fresenius. Tia tak mau terus manja dihadapan mamanya.
"Kondisi mama yang memang tidak sehat. Mama itu dari tahun 2004, rutin ke psikiatri karena gangguan kecemasan sama sulit tidur. Waktu awal-awal cuci darah, aku belum bisa apa-apa. Kalau sedang cuci darah, makan aja harus disuapin, karena agak serem kalau bergerak. Tiga tahun terakhir ruangan cuci darah pindah, enggak ada kursi untuk penunggu pasien. Mama kalau nganterin, pulangnya suka capek sama pegel-pegel. Jadi, diberani-beraniin sendiri. Terus karena sudah mahir makan sendiri pas HD (cuci darah)," ungkap tia dalam pesan singkat kepada tim JPI.
Meski harus modar mandir ke ruangan hemodialisis, Tia tetap semangat. Tak perlu meminta belas kasih berlebih dari orang sekelilingnya. Tia tak perlu air mata mengucur hanya untuknya. Tak pernah menyalahkan Tuhan, ia selalu optimis menjalankan setiap detik perjalanan hidupnya.
"Keyakinan, Mbak. Tia yakin Tuhan punya cerita yang indah untuk jalan hidup Tia. Tia juga yakin ini adalah jalan hidup terbaik yang Tuhan pilihkan," tambahnya.
Memilih Kuliah atau Cuci Darah
Dua kali dalam sepekan, Tia selalu meluangkan waktu untuk dirinya. Selasa dan Jumat adalah hari yang selalu ditunggunya untuk berkencan bersama perawat, dokter dan sudah tentu alat pencuci darah dan jarum suntik yang siap menembus kulit tipisnya. Dua kali dalam seminggu tak boleh terlewatkan begitu saja, karena Tia butuh amunisi baru untuk mengembalikan kesimbangan tubuhnya, maksimal fungsi ginjal yang tak bekerja maksimal.
Saat KKN di desa Serang, Kab. Purbalingga (2008) |
Hampir gelar sarjananya lewat tak berbekas. Untung, semangat Tia tak pernah pudar. Itulah yang membuat skripsinya kelar di tengah kondisi keuangan yang tak sehat. Berharap dari uang pensiunan almarhum ayahnya, Tia sukses menyelesaikan skripsi bersamaan dengan proyek penelitian yang dilakukan dosennya. Gelar sebagai Sarjana Teknologi Pertanian (S.T.P) melekat pada namanya, setelah 4 tahun di bangku perguruan tinggi, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Tia, boleh dikatakan petarung yang beruntung.
Tia (kanan) saat wisuda sarjana dengan berat 75 kg (2009) |
"Pas sakit, Tia berusaha mengajukan cuti, tapi ternyata harus diurus sendiri. Enggak bisa diwakilkan. Tia enggak mungkin buat ngurus karena kondisi bener-bener parah. Sedangkan keluarga bener-bener sibuk ngurus Tia. Pas lagi di rawat di RSHS untuk pertama kali, Tia mencoba menjelaskan ke ketua program studi. Beliau mengatakan sembuh dan pulih saja dulu. Maksud Tia kalau bisa dikasih kelonggaran, biar kakak ipar bisa menguruskan cuti. Tapi enggak bisa, karena semester 2 sudah mulai. Jadi, Tia harus bayar uang 6 juta agar tercatat sebagai mahasiswa aktif dan mengajukan cuti. Boro-boro 6 juta, hehe. Uang buat rumah sakit aja pinjam sana sini," curhat Tia saat berupaya memperjuangkan kuliah S2-nya.
Dua tahun meninggalkan kuliah, Tia berniat kembali ke kampus. Kondisi badan yang sudah stabil, meyakinkan Tia untuk kembali ke Purwokerto dan mencoba menghadap ketua program studi. Akan tetapi, betapa kagetnya Tia, ketika menerima informasi dari pihak administrasi kampus bahwa Tia harus membayar 30-juta rupiah untuk kembali terdaftar menjadi mahasiswa aktif Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Mendengar angka sebegitu besarnya, Tia membulatkan tekadnya untuk membuang jauh impiannya, menyelesaikan program magisternya.
“Kamu ketinggalan berapa semester, kalikan saja jumlah semester tersebut dengan uang semesteran dan kamu bisa kuliah lagi,”ucap Tia menirukan jawaban pihak adminsitrasi kampus, yang pada ahirnya menjadi kalimat penekanan bahwa Tia tidak perlu melanjutkan S2-nya lagi.
Tanpa rasa malu, wanita kelahiran Ciamis itupun menceritakan kekecewaannya, ketika surat keterangan pencabutan status kemahasiswaan alias Drop Out dikeluarkan oleh pihak kampus.
"Wah, dari sana Tia kecewa yang bener-bener kecewa. Untuk cuti dipersulit dan akhirnya malah harus bayar 30 jutaan cuma buat melanjutkan kuliah lagi. Dan di kelas pasca itu, Tia dibilang melarikan diri dari perkuliahan sama dosennya. Kecewa bertubi-tubi banget. Sampai akhirnya, temen ngasih foto, tulisan Tia di DO (keluarkan)."
Tia dengan berat badan terendah 43 kg. Kulitnya tampak menghitam akibat keseringan cuci darah (2014-2015) |
Pencabutan status kemahasiswaanya tak lantas membuat Tia putus asa. Tia tetap menjadi pejuang mimpi, meski studi S2-nya tak selesai hingga tahap akhir. Kini, Tia lebih memilih untuk menikmati hidup dengan santai tanpa ambisi dan target berlebih. "Sekarang bermanfaat untuk orang lain aja udah cukup, walau cuma bantu nyeberangin jalan," tambah Tia menyemangati diri.
Kenangan Singkat Menjadi Guru PAUD
Anak kedua dari tiga bersaudara ini selalu memanfaatkan waktu terakhirnya untuk melakukan hal-hal bermanfaat dalam hidupnya. Tia ingin meninggalkan kesan baik bagi siapa saja yang akan ia tinggalkan. Walaupun, Tia tak pernah tahu, kapan Tuhan akan memanggilnya, mengambil satu nikmat dalam hidupnya.
Saat waktunya mulai longgar, dan staminanya perlahan pulih sedikit demi sedikit, Tia berkeinginan untuk mengisi hari-harinya dengan kegiatan berarti. Di dekat rumahnya di Ciamis, berdiri sebuah PAUD As-Sholihin. Melihat banyak anak-anak kecil yang lucu menggemaskan, Tia langsung mengayunkan langkah kakinya untuk melamar pekerjaan. Tia menawarkan diri untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini di Kecamatan Sindangkasih.
Desember 2015, adalah kali pertama Tia memulai aktivitas barunya sebagai seorang guru di PAUD As-Sholihin. Keceriaan anak-anak membuat kebahagiaannya bertambah. Tia memang belum menikah, apalagi memiliki anak. Tapi, dengan menjadi guru PAUD, Tia merasa sudah menjadi ibu dari anak-anak muridnya. Keinginannya menjadi seorang ibu terbayarkan, ketika kehadirannya selalu disambut hangat oleh murid-murid di sekolah itu. Apalagi saat malaikat-malaikat kecil itu mencium punggung tangannya.
Kebahagiaan Tia, tak berlangsung lama. Tia harus mengundurkan diri menjadi guru di sekolah PAUD. Jauh sebelum diterima menjadi pengajar, Tia bercerita tentang penyakit yang dideritanya kepada pihak pengelola PAUD tempat ia melamar pekerjaan. Oleh karenanya, setiap Selasa dan Jumat, Tia selalu izin tak masuk mengajar, karena harus cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis.
Baru tiga bulan mengajar, kondisi Tia kembali menurun. Sering izin tak masuk membuat Tia harus memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan yang mulai ia cintai. Tia tak mau menjadi beban pihak sekolah. Lagi-lagi kesehatan menjadi faktornya.
"Maret 2016 Tia memutuskan keluar, karena kondisi tubuh yang enggak memungkinkan. Setahun itu sering drop, terakhir Tia kena typus. Jadi, harus bed rest (istirahat) total. Akhirnya memutuskan keluar. Pekerjaannya memang menyenangkan, tapi karena selasa izin jadi semua tugas administrasi seluruhnya ditugaskan ke Tia. Tugas administrasi ini yang lebih melelahkan daripada mengurus anak-anak. Sekarang Tia, hanya di rumah. Kebanyakan mengetik, tapi itu juga dibatasi. Karena punggung sudah mulai manja, kalau lama duduk udah nyut-nyutan," jelas Tia.
Berhenti mengajar bukan berarti berhenti berkarya. Meski jasmaninya cepat lelah, tapi semangatnya tak pernah kalah. Tia terus memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menulis. Baginya, dengan menulislah Tia merasa bahwa dirinya terus bermanfaat bagi banyak orang.
Curhatan facebook Berakhir Menjadi Buku
Novel Tuhan, (jangan) Sembuhkan Aku berkisah tentang perjalanan hidup Tia mulai remaja hingga dewasa. Dari Ciamis, Lubuk Linggau, Purwokerto, hingga pada akhirnya vonis cuci darah seumur hidup membuatnya kembali ke Ciamis. Semua rasa yang berkecamuk di hati ia tumpahkan melalui tulisan-tulisan berkelanjutan di halaman media sosialnya, facebook. Respon positif dari para pembaca di facebook-nya membuat Tia ketagihan untuk membagikan kisah hidupnya waktu demi waktu. Tia bahkan memberikan pemahaman tentang penyakit yang dideritanya sebagai pasien hemodialisis kepada para pembaca yang awam akan penyakit hemodialisis.
Atas dukungan teman-temannya, akhirnya curhatan yang dituliskan sejak 2015 lalu dituangkan ke dalam sebuah buku berjudul Tuhan, (jangan) Sembuhkan Aku.
"Itu awalnya curhatan di FB. Banyak temen yang baca, terus nyaranin bikin buku. Jadi, temen-temen deket yang mendorong awalnya. Novel ini juga menjawab tantangan dokter. Tahun 2013-2014 itu kondisi terburuk Tia. Berat badan dari 75 kg cuma bersisa 43 kg. Kurus, kecil, cuma tulang berbalut kulit aja. Transfusi tiap 2 minggu. Dokter Tia bilang coba bikin sesuatu yang membuat kamu bangga sama diri sendiri. Awalnya Tia merasa enggak bisa apa-apa, gak punya sesuatu yang bisa jadi alasan untuk bertahan hidup. Sampai akhirnya sadar kalau Tia suka nulis, hehehe."
Dari tulisan itulah, Tia ingin menyampaikan sebuah pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan ginjal. Dalam novelnya, Tia mampu meluruskan pemahaman banyak orang yang selama ini salah mengartikan antara penyakit batu ginjal dengan gagal ginal yang mengharuskan cuci darah. "Setiap Tia bilang gagal ginjal, mereka pahamnya batu ginjal. Jadi, ngerasa mungkin orang harus tahu tentang gagal ginjal. Setidaknya orang-orang di sekitar Tia harus tahu dan waspada."
Teman-teman Tia berandil besar dalam penerbitan novelnya. Respon positif diterimanya dari berbagai pihak, tak terkecuali para perawat yang selalu mendampinginya ketika cuci darah. Begitu juga dokter yang menanganinya. Melalui promosi di media sosial, novel Tuhan, (jangan) Sembuhkan Aku laku terjual sebanyak 145 eksemplar dalam waktu satu bulan, dimana minggu pertama 100 dipesan oleh orang yang penasaran dengan kisah hidupnya. Melihat novelnya banyak dipesan, harapan hidup Tia pun menjadi bertambah.
Novel Membuat Mama Berderai Air Mata
Tuhan boleh mengambil satu nikmat dalam hidup Tia. Tapi, Tuhan tetap berbaik hati padanya, dengan memberikan berbagai kemudahan untuk mencetak curhatan hidupnya menjadi sebuah novel. Ketika novel telah selesai, orang yang pertama kali membacanya adalah sang Mama tercinta.
"Ya, mama orang pertama yang baca setelah buku dicetak dan sampai di rumah. Tia sama mama itu kalau ngobrolin kematian udah kayak ngobrolin besok jajan apa gitu. Mungkin kami berdua ini sudah sama-sama ikhlas jika ditinggalkan salah satu."
Hubungan Tia dan mamanya begitu erat. Tak sedikitpun mamanya pergi ketika Tia koma di rumah sakit dalam waktu 17 hari.
Judul Novel Menuai Protes
Pemilihan judul Tuhan, (jangan) Sembuhkan Aku menuai kontroversi di kalangan sesama pasien hemodialisis. Tia sempat dimarahi para pasien penderita hemodialisis karena pemilihan judul yang terkesan pasrah dan seolah enggan untuk sembuh. Tapi, Tia punya maksud berbeda. Ia tahu betul mengapa judul Tuhan, (jangan) Sembuhkan Aku dipilih dalm novel perdananya.
"Pasien HD kebanyakan tidak tahu dengan kenyataan bahwa cuci darah itu bukan menyembuhkan, tapi mempertahankan hidup. Mereka berpikir dengan cuci darah mereka akan sembuh. Tapi kenyataannya, mesin cuci darah hanya membuat kita bertahan hidup lebih lama daripada tidak cuci darah. Mesin cuci darah itu bukan mengobatkan. Pasien-pasien itu enggak mau dibilang begitu," ujar Tia menerangkan alasannya.
Tia ikut serta dalam kampanye kesehatan ginjal di Dadaha Tasikmalaya yang digelar Prodia |
Pesan Tia Pada Pasien Hemodialisis
Menulis dan meluncurkan buku membuat Tia kuat menjelaskan tentang jenis penyakitnya kepada banyak orang. Kepada para penderita gagal ginjal, Tia selalu menyampaikan kalimat pamungkasnya.
"Kalau ke pasien HD tia selalu bilang, “Cuci darah itu enak, bisa makan apa aja. Biar sehat. Masih bisa ini itu, bisa ngapain aja." Hingga sekarang, Tia sering dimintai bantuan pihak rumah sakit untuk membujuk para pasien yang menolak cuci darah karena takut.
"Kalau ke pasien HD tia selalu bilang, “Cuci darah itu enak, bisa makan apa aja. Biar sehat. Masih bisa ini itu, bisa ngapain aja." Hingga sekarang, Tia sering dimintai bantuan pihak rumah sakit untuk membujuk para pasien yang menolak cuci darah karena takut.
Bersama Prodia, Tia mengedukasi tentang kesehatan ginjal pada acara arisan Klenteng di Ciamis |
Meski bukan pegawai Prodia, tapi Tia sering diikutsertakan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan laboratorium klinik terbesar di Indonesia itu. Melalui seminar itulah, Tia bisa mengedukasi peserta seminarnya. Beberapa acara tersebut diantaranya, kegiatan edukasi kesehatan ginjal pada peringatan Hari Ginjal Sedunia (2017), Kegiatan berbagi brosur kesehatan saat car free day, dan seminar gagal ginjal di RSUD Ciamis (2018).
Tia Ingin Mewujudkan Novel Barunya
Tia ambil bagian dalam edukasi kesehatan ginjal saat Hari Ginjal Sedunia (2017) |
Seminar gagal ginjal di RSUD Ciamis (2018) |
Tiga tahun telah berlalu. Tentu ada bagian yang harus ditambahkan dalam novel teranyarnya. Banyak hal-hal penting yang terjadi setelah novelnya terbit. Tia ingin menuangkannya tanpa bersisa, melanjutkan kisah selama berkencan di rumah keduanya, ruang hemodialisis.
Bagian terpenting yang akan ditambahkan adalah merincikan suatu masa ketika Tia koma selama 3 hari, yang membuat ingatannya sempat menurun bak orang linglung. Sadar, tak membuatnya ingat apapun, hingga akhirnya, berkat kebaikan Tuhan, memori Tia kembali terekam dalam ingatan setelah melewati 3 sampai 4 kali cuci darah selama 17 hari lamanya di RS. Hasan Sadikin Bandung.
Selama 3 hari koma, Tia terbawa ke alam bawah sadar dan membawanya pergi ke pantai. Dalam tidurnya, Tia berteriak dan berusaha meloncat-loncat, sampai akhirnya 5 orang perwakilan keluarga Tia terpaksa mengikat bagian tubuhnya yang terus bergerak di pembaringannya di ruang rawat inap, seolah memberi pesan yang tak terungkap.
Satu bagian yang akan akan menjadi babak baru dalam karya berikutnya adalah soal keseriusannya mencoret kata "menikah" dari peta impiannya.
Tuhan, Tia Minta....
Tia tak tahu kapan akan dipanggil Tuhan. Bisa saja penyakit cuci darahnya sembuh. Ia sadar, bahwa dokter dan perawat hanyalah perantara Tuhan yang diberi kemampuan untuk mencoba membuat hidupnya bertahan lebih lama. Tia hanya ingin diberi kekuatan, karena baginya kesembuhan adalah keajaiban yang pasti datang saat Tuhan menginginkan.
Pernah terbesit keyakinan bahwa Tia akan sembuh setelah dua tahun menjalani cuci darah sebagaimana pengalaman yang ada. Tapi, dua tahun sejak vonis diterimanya pada 2013, Tia tetap saja cuci darah. Menerima takdir, justru membuatnya merasa kuat dan sehat, hingga menganggap bahwa cuci darah adalah bagian dari gaya hidup yang melekat dan tak terpisahkan.
Dalam doa di setiap waktu yang berjalan, Tia selalu memohon agar diselamatkan di akhirat kelak. Tia tak pernah takut akan sakitnya. Ia hanya takut pada kehidupan setelah kematian. "Dosanya banyak," tutupnya.
Semangat selalu Tia. Kami tak sabar menunggu karya terbarumu! (DF)
Semangat selalu Tia. Kami tak sabar menunggu karya terbarumu! (DF)
Posting Komentar untuk "Vonis Cuci Darah Seumur Hidup, Semangat Menulis Tak Pernah Redup"