Entah, dirinya mampu memikat perhatianku saat pertama kali bertemu. Membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Hadi Winata, laki-laki berkulit putih dengan hidung mancung serta rambut ikalnya. Gestur tubuhnya tinggi dan tentunya dia merupakan salah satu anak kebangaan keluarganya. Satu asrama dengannya membuat kita lebih sering bertemu. Tak jarang jika teman satu kamarku kerap kali bertanya tentang Hadi.
“Zah, kamu pacaran sama Hadi tapi kok jarang keluar ya? Lebih sering pacaran di taman asrama,” ujar Syifa. Bukan tidak munkin, Hadi memang lebih sering mengajakku bertemu dii sekitar asrama. Dia juga yang sering membantu saat aku merasa sulit mengerjakan tugas kampus. Tapi hingga sekarang pertanyaan itu masih terngiang dalam pkiranku, “kenapa dia lebih memilihku, sedangkan perempuan lain yang jauh lebih baik di luar sana banyak? Lalu, sebenarnya darimana dia mendapatkan nomer ponselku?” aku tak menyangka kedatangannya waktu itu untuk menyatakan perasaannya.
“Kayaknya bahagia banget yah sama Hadi. Mentang-mentang baru pertama jatuh cinta,” tambah Syifa. Aku hanya senyum-senyum gaje karena baru mendengar namanya saja hatiku sudah dag dig dug tidak karuan. Tak lama ponsel yang biasa kutaruh di meja bergetar menampilkan satu notip pesan dari Hadi. Aku buru-buru beranjak setelah tahu jika Hadi ternyata sudah berada di luar.
“Kamu, sudah lama?” tanyaku.
“Assalamualaykum dulu dong, Adek Kdul,” tegurnya seraya menyentuh kepalaku dengan gemas. Aku hanya menampilkan deretan gigi putihku di depannya.
“Aku ke sini mau ngajak kamu ke rumah kebetulan keluarga lagi pada kumpul, sekalian nanti aku mau ajak maen juga ke rumah temen buat ngerjain tugas,” tambah Hadi lagi. Aku mengangguk, mungkin ini saatnya aku akan diperkenalkan Hadi sebagai seorang pacar di keluarganya.
Tak ada yang lebih indah selain bisa berkumpul dan diterima dengan sangat baik di keluarga pacar. Meski aku belum tahu apakah ada gadis di masa lalunya Hadi yang juga diperlakukan sama denganku sekarang. Setidaknya saat ini aku bahagia berada di tengah-tengah mereka. Hari semakin sore, dan Hadi kembali mengajakku ke rumah temannya sekedar menemaninya untuk mengerjakan tugas.
“Nggak capek?” tanyanya. Aku menggeleng. Rasanya seharian tak masalah asalkan bersama dengannya. Aku semakin yakin jika Hadi memang bisa menjagaku, bahkan hingga sekarang dia masih menjadi Hadi yang pertama kali aku kenal. Tak ada rasa bosan setiap kali bersamanya, dia selalu bisa mengubah waktu menjadi sejarah yang tak pernah terlupakan dalam kisah kami berdua. Hingga bulan berikutnya bahkan hampir setiap anniversarry hubungan kami dia tak pernah lupa, entah untuk sekedar mengucapkan kalimat-kalimat romantis atau hanya sekadar mengingatkan lagu Maher Zain yang liriknya adalah ungkapan isi hatinya dulu. Bukannya aku tak ingin tahu tantang masa lalunya, setiap kali aku bertanya mengenai itu pasti dia selalu diam, dan hal itu membuatku juga tak pernah mengungkitnya lagi. “Buat apa mengingat masa lalu lagi, toh yang terpenting sekarang aku bersamamu,” begitu katanya.
Tiga tahun sudah hubunganku dengan Hadi, dan selama itu, ini adalah kali pertama dia menghilang tanpa memberi kabar. Kecewa, khawatir, dan marah itu yang aku rasakan. Berkali-kali aku mencoba menghubungi nomer ponselnya namun selalu suara operator yang terdengar. “Di, kamu kemana?” tanyaku seraya memandang ponsel yang selalu dalam genggaman, kali-kali Hadi akan mengabariku. Semakin hari, hubunganku dengan Hadi semakin tidak jelas. Dia sulit untuk dihubungi. Tak mungkin juga aku mencari ke rumahnya, bagaimanapun aku adalah seorang perempuan yang menjaga harga diriku. Yang bisa kulakukan hanya berdiam dengan ponsel yang selalu menjadi temanku untuk sekarang. Aku masih berharap dan yakin jika Hadiku akan datang dan menjelaskan alasan dibalik menghilangnya.
“Jika waktu itu datang, aku hanya ingin melihatmu lebih lama lagi. Meluapkan rasa rindu yang terpendam selama menghilangnya kamu. Menyuruhmu duduk dan mendengarkan cerita yang terlewatkan tanpa kabar darimu. Dan jika waktu itu datang, kamu tahu hal apa yang akan kulakukan padamu? Pertama; aku senyum, kedua; aku marah, dan ketiga; aku juga tinggalin kamu, agar kamu tahu rasanya kehilangan.” Aku berhenti menulis kemudian melirik ponsel yang masih tergeletak dengan kesunyiannya. Menunggu: sudah menjadi hobiku sekarang.
“Buat apa kamu masih bertahan, sedangkan dia di sana belum tentu melakukannya. Zah, kamu pantas mendapatkan orang yang jauh lebih baik dari dia,” ujar Syifa. Perlahan air mataku mengalir, sulit rasanya buatku berhenti menunggu. Aku masih percaya bahwa Hadi akan datang. Mungkin saja dia sedang ada masalah dan dia tidak ingin aku mengetahuinya. Sampai waktu itu tiba, dimana dia memang datang dengan senyuman khasnya. Hati ini begitu bahagia, kekecewaan itu menguar seiring perlakuannya yang tak pernah berubah. Hadi masih tetap menjadi Hadiku tiga tahun yang lalu. Perhatian, penyayang dan juga selalu berhasil mengubah waktu menjadi lebih baik. Seperti halnya siang ini dimana, aku sudah menyiapkan sumpah serapah karena menghilangnya dia, tapi entah seperti ada mantra kalimat itu lenyap seketika. Aku mengajak Hadi untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindanng. Seperti yang pernah aku tulis, jika waktu itu tiba aku hanya ingin melihatnya lebih lama lagi dan itu yang aku lakukan sekarang.
“Kenapa?” tanyanya. Aku mengerutkan dahi tak mengerti. “Aku mau nomong,” ujarnya. Mimik wajahnya mulai berubah serius dan aku takut, benar seperti yang ada dalam pikiranku jika dia memang ada masalah. “Aku pengen kita akhiri hubungan ini,” tambahnya. Aku terdiam mencerna baik-baik kalimat yang barusan dia ucapkan. Dia kembali hanya untuk mengucapkan kalimat menyakitkan itu.
“Kenapa?” tanyaku. Hadi memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya kembali menatapku. “Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Kamu gadis yang baik dan kamu pantas mendapatkan yang baik juga. Ada satu hal yang sulit aku jelaskan padamu,” jawabnya.
“Apa itu ada hubungannya dengan menghilangnya kamu?” tanyaku lagi. Hadi mengangguk. “Maaf jika aku menyakitimu, tapi ini yang terbaik untuk kita,” ujarnya setelah itu dia pun pergi. Kamu selalu berhasil mengubah waktu, seperti saat ini dimana kamu mematahkan setiap harapan yang sudah aku gantungkan dengan kembalinya kamu.
Aku mencoba terbiasa tanpa seorang Hadi. Melakukan apapun yang kusukai, bahkan aku seperti melampiaskan rasa sakit pada setiap orang yang dekat denganku. Tak pernah terbayang bagaimana rasa sakit mereka, yang aku tahu aku bahagia melakukannya. Setelah putus dari Hadi, bisa dibilang aku mengoleksi pacar. Setiap kali mereka datang dan mengungkapkan isi hatinya aku selalu menerima. Tak ada lagi yang bisa kupercaya, terlebih bayangan Hadi masih menggangu. Luka itu kembali, saat kudengar jika Hadi telah menikah. Segampang itu melupakan kisah 3 tahun dan aku sebodoh itu berharap dengan kisah 3 tahun bersamanya. Kecewa, sakit dan aku semakin sering mempermainkan hati mereka yang datang padaku.
“Buat apa kamu datang lagi?” tanyaku ketika melihat sosok Hadi kembali hadir di hadapanku.
“Aku mungkin bodoh telah meninggalkanmu dan membuat luka yang terdalam, tapi aku sadar hingga sekarang aku tetap tidak bisa melupakanmu,” jawabnya. Kembali aku terjerat dengan pesona seorang Hadi Winata. Aku seakan buta bahwa dirinya telah menjadi suami bagi perempuan lain. Aku berpikir jika Hadi masih menjadi yang terbaik dan aku mencintainya. Selama aku kembali menjalani hubungan terlarang itu, aku sadar jika apa yang aku lakukan salah. Hadi sudah menjadi milik orang lain dan sudah sepantasnya aku juga mencari kebahagiaanku sendiri.
Ending!!! cinta pertama Niya Kaniya cinta pertama
“Zah, kamu pacaran sama Hadi tapi kok jarang keluar ya? Lebih sering pacaran di taman asrama,” ujar Syifa. Bukan tidak munkin, Hadi memang lebih sering mengajakku bertemu dii sekitar asrama. Dia juga yang sering membantu saat aku merasa sulit mengerjakan tugas kampus. Tapi hingga sekarang pertanyaan itu masih terngiang dalam pkiranku, “kenapa dia lebih memilihku, sedangkan perempuan lain yang jauh lebih baik di luar sana banyak? Lalu, sebenarnya darimana dia mendapatkan nomer ponselku?” aku tak menyangka kedatangannya waktu itu untuk menyatakan perasaannya.
“Kayaknya bahagia banget yah sama Hadi. Mentang-mentang baru pertama jatuh cinta,” tambah Syifa. Aku hanya senyum-senyum gaje karena baru mendengar namanya saja hatiku sudah dag dig dug tidak karuan. Tak lama ponsel yang biasa kutaruh di meja bergetar menampilkan satu notip pesan dari Hadi. Aku buru-buru beranjak setelah tahu jika Hadi ternyata sudah berada di luar.
“Kamu, sudah lama?” tanyaku.
“Assalamualaykum dulu dong, Adek Kdul,” tegurnya seraya menyentuh kepalaku dengan gemas. Aku hanya menampilkan deretan gigi putihku di depannya.
“Aku ke sini mau ngajak kamu ke rumah kebetulan keluarga lagi pada kumpul, sekalian nanti aku mau ajak maen juga ke rumah temen buat ngerjain tugas,” tambah Hadi lagi. Aku mengangguk, mungkin ini saatnya aku akan diperkenalkan Hadi sebagai seorang pacar di keluarganya.
Tak ada yang lebih indah selain bisa berkumpul dan diterima dengan sangat baik di keluarga pacar. Meski aku belum tahu apakah ada gadis di masa lalunya Hadi yang juga diperlakukan sama denganku sekarang. Setidaknya saat ini aku bahagia berada di tengah-tengah mereka. Hari semakin sore, dan Hadi kembali mengajakku ke rumah temannya sekedar menemaninya untuk mengerjakan tugas.
“Nggak capek?” tanyanya. Aku menggeleng. Rasanya seharian tak masalah asalkan bersama dengannya. Aku semakin yakin jika Hadi memang bisa menjagaku, bahkan hingga sekarang dia masih menjadi Hadi yang pertama kali aku kenal. Tak ada rasa bosan setiap kali bersamanya, dia selalu bisa mengubah waktu menjadi sejarah yang tak pernah terlupakan dalam kisah kami berdua. Hingga bulan berikutnya bahkan hampir setiap anniversarry hubungan kami dia tak pernah lupa, entah untuk sekedar mengucapkan kalimat-kalimat romantis atau hanya sekadar mengingatkan lagu Maher Zain yang liriknya adalah ungkapan isi hatinya dulu. Bukannya aku tak ingin tahu tantang masa lalunya, setiap kali aku bertanya mengenai itu pasti dia selalu diam, dan hal itu membuatku juga tak pernah mengungkitnya lagi. “Buat apa mengingat masa lalu lagi, toh yang terpenting sekarang aku bersamamu,” begitu katanya.
Tiga tahun sudah hubunganku dengan Hadi, dan selama itu, ini adalah kali pertama dia menghilang tanpa memberi kabar. Kecewa, khawatir, dan marah itu yang aku rasakan. Berkali-kali aku mencoba menghubungi nomer ponselnya namun selalu suara operator yang terdengar. “Di, kamu kemana?” tanyaku seraya memandang ponsel yang selalu dalam genggaman, kali-kali Hadi akan mengabariku. Semakin hari, hubunganku dengan Hadi semakin tidak jelas. Dia sulit untuk dihubungi. Tak mungkin juga aku mencari ke rumahnya, bagaimanapun aku adalah seorang perempuan yang menjaga harga diriku. Yang bisa kulakukan hanya berdiam dengan ponsel yang selalu menjadi temanku untuk sekarang. Aku masih berharap dan yakin jika Hadiku akan datang dan menjelaskan alasan dibalik menghilangnya.
“Jika waktu itu datang, aku hanya ingin melihatmu lebih lama lagi. Meluapkan rasa rindu yang terpendam selama menghilangnya kamu. Menyuruhmu duduk dan mendengarkan cerita yang terlewatkan tanpa kabar darimu. Dan jika waktu itu datang, kamu tahu hal apa yang akan kulakukan padamu? Pertama; aku senyum, kedua; aku marah, dan ketiga; aku juga tinggalin kamu, agar kamu tahu rasanya kehilangan.” Aku berhenti menulis kemudian melirik ponsel yang masih tergeletak dengan kesunyiannya. Menunggu: sudah menjadi hobiku sekarang.
“Buat apa kamu masih bertahan, sedangkan dia di sana belum tentu melakukannya. Zah, kamu pantas mendapatkan orang yang jauh lebih baik dari dia,” ujar Syifa. Perlahan air mataku mengalir, sulit rasanya buatku berhenti menunggu. Aku masih percaya bahwa Hadi akan datang. Mungkin saja dia sedang ada masalah dan dia tidak ingin aku mengetahuinya. Sampai waktu itu tiba, dimana dia memang datang dengan senyuman khasnya. Hati ini begitu bahagia, kekecewaan itu menguar seiring perlakuannya yang tak pernah berubah. Hadi masih tetap menjadi Hadiku tiga tahun yang lalu. Perhatian, penyayang dan juga selalu berhasil mengubah waktu menjadi lebih baik. Seperti halnya siang ini dimana, aku sudah menyiapkan sumpah serapah karena menghilangnya dia, tapi entah seperti ada mantra kalimat itu lenyap seketika. Aku mengajak Hadi untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindanng. Seperti yang pernah aku tulis, jika waktu itu tiba aku hanya ingin melihatnya lebih lama lagi dan itu yang aku lakukan sekarang.
“Kenapa?” tanyanya. Aku mengerutkan dahi tak mengerti. “Aku mau nomong,” ujarnya. Mimik wajahnya mulai berubah serius dan aku takut, benar seperti yang ada dalam pikiranku jika dia memang ada masalah. “Aku pengen kita akhiri hubungan ini,” tambahnya. Aku terdiam mencerna baik-baik kalimat yang barusan dia ucapkan. Dia kembali hanya untuk mengucapkan kalimat menyakitkan itu.
“Kenapa?” tanyaku. Hadi memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya kembali menatapku. “Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Kamu gadis yang baik dan kamu pantas mendapatkan yang baik juga. Ada satu hal yang sulit aku jelaskan padamu,” jawabnya.
“Apa itu ada hubungannya dengan menghilangnya kamu?” tanyaku lagi. Hadi mengangguk. “Maaf jika aku menyakitimu, tapi ini yang terbaik untuk kita,” ujarnya setelah itu dia pun pergi. Kamu selalu berhasil mengubah waktu, seperti saat ini dimana kamu mematahkan setiap harapan yang sudah aku gantungkan dengan kembalinya kamu.
Aku mencoba terbiasa tanpa seorang Hadi. Melakukan apapun yang kusukai, bahkan aku seperti melampiaskan rasa sakit pada setiap orang yang dekat denganku. Tak pernah terbayang bagaimana rasa sakit mereka, yang aku tahu aku bahagia melakukannya. Setelah putus dari Hadi, bisa dibilang aku mengoleksi pacar. Setiap kali mereka datang dan mengungkapkan isi hatinya aku selalu menerima. Tak ada lagi yang bisa kupercaya, terlebih bayangan Hadi masih menggangu. Luka itu kembali, saat kudengar jika Hadi telah menikah. Segampang itu melupakan kisah 3 tahun dan aku sebodoh itu berharap dengan kisah 3 tahun bersamanya. Kecewa, sakit dan aku semakin sering mempermainkan hati mereka yang datang padaku.
“Buat apa kamu datang lagi?” tanyaku ketika melihat sosok Hadi kembali hadir di hadapanku.
“Aku mungkin bodoh telah meninggalkanmu dan membuat luka yang terdalam, tapi aku sadar hingga sekarang aku tetap tidak bisa melupakanmu,” jawabnya. Kembali aku terjerat dengan pesona seorang Hadi Winata. Aku seakan buta bahwa dirinya telah menjadi suami bagi perempuan lain. Aku berpikir jika Hadi masih menjadi yang terbaik dan aku mencintainya. Selama aku kembali menjalani hubungan terlarang itu, aku sadar jika apa yang aku lakukan salah. Hadi sudah menjadi milik orang lain dan sudah sepantasnya aku juga mencari kebahagiaanku sendiri.
Ending!!! cinta pertama Niya Kaniya cinta pertama
Posting Komentar untuk "Cinta Pertama (Si Pengubah Waktu) "