Sumber : tiphidup.com |
Kebisingan
menerbak jalanan umum, suara klakson bersahutan di pagi hari, ditambah hawa
yang panas mulai menyusup ke pori-pori, membuat keringat bercucuran sampai
membasahi beberapa bagian tubuh. Salah satunya di bagian wajah, di mana dapat
melunturkan make up nan tebal juga dilengkapi dengan bibir merah
menornya.
Ban mobil
bergerak perlahan, mengantre kendaraan lain yang ada di depannya itu. Namun,
lagi-lagi suara kereta menghentikan kendaraan yang baru saja akan berjalan.
Rona mematut di hadapan cermin
selebar 7cm. Ia memoles wajahnya dengan bedak bermerk, sembari menggerutu terus
menerus, “Benci banget, selalu macet ! Sialan ! Gue terlambat nih buat ke
kantor.” Mas Rudi sebagai supir hanya pasrah bernasibkan majikan cantik tapi
galak itu.
“Sabar Neng, namanya juga jalan umum
pasti rame dan banyak resiko pokoknya,” kata Mas Rudi mencoba menyabarkan Rona,
yang sedang berapi-rapi itu.
Sambil menutup
tutup bedaknya
“Tapi Mas, lihat nih udah jam
berapa!Saya bisa terlambat bertemu client saya.” Bukanya mereda, malah
Rona makin marah.
“Saya turun aja dah, ngomel-ngomel
mulu si mas berisik banget," dengan rasa kesal Rona membukakan pintu mobil
dan menu menutup pintunya se-kencang-kencangnya, lalu pergi mengindari
kemacetan. Dan ia memilih menyebrang di perlintasan kereta Api.
Emosinya yang tengah
bergejolak hebat, menepis saja begitu plang tanpa merasakan khawatir. Sementara
di kejauhan kereta melaju dengan cepatnya, sesekali membunyikan tanda akan
melintas. Hanya saja Rona abai, ia yakin sekali nyawanya sembilan, karena
begitulah dongeng yang nenek ceritakan padanya. Tanpa tengok kanan dan kiri, ia
pun melenggang bebas padahal ancaman tengah menguntitnya.
Terlihat kereta api dari jalurnya
berjalan pelan, dan semakin kesini semakin bertambah kecepatanya. Orang-orang
yang sedang menunggu pembukaan plang kereta api, mulai menjeritkan klakson
mobil dan motornya. Ada yang berteriak-teriak panik melihat Rona yang seperti
hendak bunuh diri itu. Karena mendengar jeritan orang-orang, Rona ter sadar
lalu menoleh ke arah kanan dimana kereta
itu melaju, dia berteriak histeris tak berdaya dan tidak bisa apa-apa. Akhirnya
kereta melaju kencang tanpa ampun memisahkan pandangan terhadap apapun di
sebrang sana.
Histeris orang-orang yang berada di
sekeliling pun memuncak, membuat mulut tak bisa menutup, mata yang meringis,
dan menutup telinga. Dalam benak mereka terbayangkan betapa seramnya manusia
yang terlindas kereta, pasti hancur, anggota badan terpisah daan daging manusia
yang berceceran. Berasa sedang ada di dalam khayangan film horor. Namun, semua
orang menghembuskan nafas lega. Ya, Rona masih hidup, tanpa segores luka pun di
tubuhnya. Dia berada dalam pelukan sosok lelaki yang Allah titipkan untuk
menolongnya dari maut.
Rona masih saja
menutup mukanya dan histeris
“Mbak, mbak!Buka mata nya, jangan
nangis,” Lelaki itu berpenampilan lusuh, bertato dan memakai banyak anting
dimana-mana. Dia membangunkan dan
membopong Rona ke tepi, karena plang pintu sudah dibuka, lelaki itu memberi
Rona minum dan terus mengelus-ngelus kepala Rona guna menenangkanya.
“Ka-kamu siapa?” Tanya Rona kepada
lelaki itu dengan mimik wajah yang bingung dan ketakutan, bak melihat hantu di
siang bolong.
“Saya Roni, pengamen sekitar Rel
ini.” Roni mengulurkan tanganya mengajak bekenalan, dia juga melontarkan
senyuman dari wajah lusuhnya itu.
“Jangan deketi saya, sana pergi !"
teriak Rona mengusir pengamen baik itu
“Tapi mbak gak apa-apa kan?” meski
sikap Rona begitu, tapi khawatir akan
keadaanya yang masih shock
“Pergi sana. Saya benci pengamen.
Pengamen Sampah!” Sambil tersungut-sungut, Rona melempari pengamen itu dengan
bebatuan kecil dengan maksud mengusir. Akhirnya pengamen itu pergi meninggalkan
Rona tanpa berbicara apapun lagi.
.
***********
Suara jarum jam berputar, Matahari
sudah bersarang pada ufuknya. Hujan berdecik menetes. Rona melamun ditengah
kerjaan kantornya, mengingat kejadian 5 tahun lalu, dia belum sempat berkenalan
dengan si pengamen itu. Pengamen yang baik hati dan tulus. Sesekali Rona
menyunggingkan senyum ketika membayangkan tragedi maut itu. Dalam benaknya
terucap kesyukuran masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Namun, Rona
menyesal telah memaki si pengamen itu, padahal dia baik dan rela mau
menyelamatkan Rona dari maut. Meski begitu, entah mengapa Rona begitu
merindukanya. Ketika membayangi wajah pengamen itu, walaupun sekilas, tapi terpampang
wajah yang tulus.
“Na, kenapa belum pulang sudah malam
loh?” Ani - teman kantor Rona menepuk bahunya
“Hemm. Gak apa-apa, aku cuman sedang
rindu,” jawab Rona polos, mata nya mulai berkaca-kaca.
“Cie. Rindu siapa, cie,” ledek Ani,
tanpa memperhatikan wajah Rona, padahal dia sedang menahan tangisan kecil.
Perlahan Rona menceritakan tentang
kerinduan dan penyesalanya, Rona tersadar begitu bodoh jika menyia-nyiakan
senja yang datang sementara, namun membawa keindahan. Sekarang mungkin Rona
harus membalas kebaikan pengamen itu, walaupun entah bagaimana caranya.
*******
Malam minggu, selepas Isya kira-kira
pukul 19.30 WIB, selepas pulang dari Kantor, Rona memutuskan nekad pergi ke tempat
rel kereta api yang berada di Serpong, untuk menemui pengamen itu. Pemilihan
waktu di malam Minggu ini juga menurutnya cocok, karena biasanya segala manusia
keluar entah untuk jalan kebaikan maupun sebaliknya, cocok sekali untuk mencari
pengamen di tongkrongan rel kereta api Serpong.
Dengan
mengendarai mobil pribadinya, Rona pergi dengan kecepatan 60KM/jam.
Arus perkotaan yang ramai,
membuatnya semakin bingung, bagaimana cara untuk menemukan sosok pengamen itu.
Karena dari sejak awal pertemuan pun Rona belum melihat begitu jelas melihat
wajah si pengamen itu.
“Eh, tapi ada sesuatu yang bisa aku
jadiin buat pencarian.” Kata Rona berbicara sendiri, ternyata dulu setelah Rona
memarahi si pengamen itu dia menemukan gelang yang ber huruf R. Tanda itu akan
dijadikan modal untuk pencarian pengamennya.
Sudah sampai di
rel kereta api Serpong, pandangan bertebaran bingung karena hampir semua
pengamen nongkrong di bahu jalan. Ada yang sedang nyanyi-nyanyi, makan, main
kartu remi, dsb. Dengan bersemangat Rona menghampiri mereka, dan yakin pasti
Roni itu ada di antara mereka.
“Permisi, mau numpang tanya disini ada pengamen yang namanya Roni
gak?”
Mereka seketika
diam ketika Rona bertanya, sambil mata nya menatap tajam.
“Ada kok,” jawab mereka
“Hah? Yang mana?” tanya Rona
bersemangat, sudah terbayangkan akan bertemu dan mengucap terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada Roni.
“Lu mau tau? Ada syaratnya nih. Lu
harus gabung sama kita-kita dulu, HAHAHA.” si pengamen yang sedang main kartu
angkat bicara mewakili teman-teman yang lainya.
Langsung saja
tanpa ba-bi-bu lagi Rona pergi meninggalkan mereka.
Belum menyerah begitu saja, Rona
masih penasaran dan akan mencari pengamen lainya untuk bertanya lagi. Terlihat
di sebrang dekat pedagang kaki lima, ada pengamen yang sedang nongkrong. Langsung
saja Rona menghampirinya
“Permisi mau numpang tanya, apa ada
disini yang tau pengamen bernama Roni?”
“Oh si Roni,”
“Dia yang suka pake gelang ini,”
Rona menunjukan gelang huruf R itu.
“Dia udah mati, kelindes kereta,”
Angin malam
terasa menyayat Rona, setelah mendengar jawaban dari pengamen itu. Batinya
terisak, air mata nya bercucuran, dalam hatinya terus bertanya-tanya apakah
benar Roni sudah meninggal? Tapi hatinya terus bergelut dan angin seakan-akan
meragukan hal itu. Tapi, kalau memang iya benar. Penyesalan menyia-nyiakan
senja itu akan terus terbayang dalam pikiran Rona.
******
Sepekan sudah berlalu dari pencarian
Roni, dalam benak Rona masih belum yakin akan kenyataan itu. Kalung R nya masih
selalu di berada di genggamanya dan selalu ia bawa kemana-mana.
Sore ini
selepas kerja dari kantor, Rona kembali melewati jalan Serpong. Hal ini tentu
membuatnya jadi semakin Rindu. Dalam lamunanya tiba-tiba Rona hampir menabrak
seorang laki-laki, segera ia luncurkan remnya dengan mendadak. Berdebar jantung
Rona segera keluar dari mobilnya.
Terpampang
jelas di depan Rona sosok laki-laki muda memakai peci, sarung, dan tas kecil percis seperti anak santri
“Mas maafin saya yah, mas apa yang
terluka mas?” Tanya Rona panik
“Gak apa-apa kok mbak, saya
baik-baik aja cuman kaget aja,” Timbal lelaki itu santai sambil membenahi peci
nya yang agak miring.
Dalam
pembicaraanya itu Rona sedikit memandang lelaki itu, sekilas membayangkan wajah
Roni, perasaanya begitu yakin bahwa itu Roni. Tapi soal penampilan Roni yang
sekarang belum meyakinkan, pasalnya dulu dia seorang pengamen yang lusuh, lalu
apakah benar seseorang yang memakai peci ini adalah Roni? Apakah dia telah
berubah kejalan yang benar?
“Mbak kenapa melamun,” tanya lelaki
itu dengan senyuman heran
Wajah rona
masih saja menatap nanar sosok lelaki itu, demi meyakinkan apa yang sedang
dibingungkanya Rona bertanya,
“Mas, namanya siapa ya?”
“Nama saya Roni, saya dulu pengamen
di sini,” katanya tersenyum memberitahu lebih awal, nampaknya dia masih ingat
dengan Rona
Kala itu batin
Rona terhentak, air mata nya mulai berlinang. Rona langsung saja mengambil
kalung berhuruf R itu dari kantongnya dan menunjukanya kepada Roni.
“Iya benar, ini punya saya yang
sudah lama hilang,”
“Subhanallah Alhamdulillah, dulu
beberapa taun silam Allah mengirimkan penyelamat dari kecelakaan mautku yang
hampir tertabrak kereta tapi, aku malah membentak dan mengusirmu, maafin aku
yah Roni,” Tak bisa Rona berkata-kata lagi, air terus mengalir dari pelupuk
matanya, begitu pun Roni tersenyum mengangguk mengisyaratkan memaafkan Rona.
Waktu itu,
senja menjadi pertemuan indah dari sekian lama pengharapan maaf yang rona
idam-idamkan dari Roni.
Posting Komentar untuk "Lintas Cinta"