MIMPI KECIL MENTARI
BAGIAN 5
Mentari
duduk di samping ibunya yang masih duduk termenung sendiri. Dia menatap wajah
ibunya yang sendu, kemudian dia tersenyum. Dalam pikirannya berkecamuk memikirkan keberadaan kakek, nenek dan adik satu –
satunya. Mentari masih memandang wajah ibunya. Dia sebenarnya kagum pada kecantikan
alami ibunya dan ingin memeluk ibunya, tapi ketika pelukan kecil Mentari
mendarat di tubuh ibunya, dia selalu mengelak dan berteriak histeris pada
Mentari. Hal tersebut membuat Mentari selalu berpikir dua kali ketika dia ingin
melakukannya.
Sambil
duduk di samping ibunya, Mentari membuka buku majalah yang diberikan oleh Bu
Agatha tadi siang. Perut Mentari sudah keroncongan, tetapi tak ada makanan
sedikit pun yang ada di almari. Mentari berusaha mengusir rasa laparnya, dia
memutuskan untuk membaca majalah itu sambil menunggu kehadiran neneknya.
“Tari!”
panggil Pak Ustad.
Mentari
mendongakkan wajahnya melihat siapa yang memanggilnya.
“Ya,
Mbah Ustad,” sahut Mentari.
“Kamu
kenapa duduk di sini?”
“E…
Tari, Tari, lagi nungguin Mbok Sumi, Mbah,”
“Mbok
Sumi sedang menunggu Mbah Tejo di puskesmas, tadi Mbah Tejo pingsan dan tak
sadarkan diri. Makanya Mbah Ustad membawanya ke puskesmas,”
Mentari
tampak gelisah mendengar penjelasan Pak Ustad.
“Surya
di mana?” tanya Mentari gugup.
“Surya
ada di rumah Mbah Ustad, Tari,”
Mendengar
jawaban Pak Ustad, Mentari menjadi lega. Pak Ustad mengajak Mentari untuk ke
rumahnya. Dia tahu, pasti anak berambut kumal itu sedang merasa lapar.
Sesampainya
di rumah Pak Ustad, dia melihat Surya sedang bermain bersama anak lelaki yang
ditemuinya di sekolah tadi. Surya tampak senang dengan mainan yang dipinjamkan
oleh anak tersebut.
“Ar…
Arjuna!” Mentari kaget bukan kepalang, ternyata Arjuna adalah cucu Pak Ustad
yang pindah dari kota.
“Hei,
Mentari! Aku lagi nemenin adikmu main, nih! Kamu baru pulang, kan? Kamu susul
Mbah Ustad ke dalam. Bundaku sudah masak dan enak banget. Kamu harus
mencicipinya!” bujuk Arjuna.
Mentari
tampak malu – malu masuk ke dalam rumah, dia memperhatikan senyum adiknya selalu
merekah memainkan robot-robot yang dipinjamkan Arjuna.
Keluarga
Pak Ustad memang sangat baik pada keluarga Mentari. Baru pertama kali Mentari
masuk ke dalam rumah Pak Ustad. Dia memang jarang bermain ke rumah tetangganya,
karena rasa takutnya akan diusir seperti kejadian di rumah Laila.
“Eh,
Mentari sudah pulang?” sapa ramah Bu Aisyah.
“Su…
sudah, Bu,” jawab Mentari malu – malu sambil mencium tangan Bu Aisyah.
“Kamu
pasti lapar, kan? Bunda Aisyah sudah masak makanan kesukaannya Arjuna. Dia
paling suka makan ikan pindang goreng sama sayur asem. Kamu makan ya, Nak!”
bujuk Bu Aisyah sambil membelai pucuk kepala Mentari.
“Ya Allah, beginikah rasanya
diperhatikan seorang Ibu?” ucap lirih
Mentari dalam hati.
Bu
Aisyah mengambilkan dua entong nasi beserta dua sendok sayur kuah sayur asem
beserta ampasnya, tak lupa Bu Aisyah juga mengambilkan ikan pindang goreng ke
atas piring Mentari. Mentari tersenyum melihat makanan di depannya. Air liurnya
tak tertahan lagi di dalam mulutnya. Bu Aisyah segera menyuruh Mentari memakan
makanan yang ada di depannya. Mentari tampak ragu, dia masih malu. Baru kali
ini dia makan – makanan seenak itu, apalagi di rumah orang lain.
“Kok
cuma dilihat? Mentari nggak suka?” tanya Bu Aisyah.
Mentari
menggeleng – gelengkan kepala.
“Ya,
sudah buruan dimakan, Nak! Supaya perut kamu ada isinya,” bujuk Bu Aisyah.
Mentari tersenyum, kemudian berdoa dan melahap semua makanan yang ada di piring
tersebut. Bu Aisyah tersenyum senang, dia membuatkan pula segelas susu untuk
Mentari. Jarang sekali Mentari minum susu.
“Terima
kasih, Bu. Maaf sudah merepotkan,”
“Ah,
Bunda nggak merasa direpotkan. Selama Mbok Sumi di puskesmas menunggu Mbah
Tejo. Mentari dan Surya di sini saja, ya!” pinta Bu Aisyah.
“Tapi…
Mentari harus mengurus Ibu di rumah,”
“Kamu
tenang saja, Bunda akan membantu mengurus ibumu. Kamu jangan khawatir,”
Mentari
tersenyum senang. Arjuna masuk ke dalam rumah sambil mengajak Surya.
“Bunda,
Mentari sudah makan?” tanya Arjuna.
“Sudah…
Eh, Surya… sini, Nak!” panggil Bu Aisyah.
Arjuna
menyeret Mentari keluar. Mentari hanya melongo sambil terus mengikuti langkah
kaki Arjuna.
“Kamu
ngapain sih?”
“Kamu
kan orang asli sini, jadi tahu kan tempat main yang keren di sini. Yuk, kasih
tahu aku!” ajak Arjuna.
Mentari
cemberut, tapi dia melangkahkan kakinya. Karena merasa sangat berhutang budi
pada keluarga Arjuna. Mentari mengajak Arjuna ke sungai, di sekelilingnya
terbentang sawah yang menghijau. Arjuna tampak takjub dan tersenyum kepada
Mentari.
“Bagus,
kan? Di kota pasti nggak ada,”
Arjuna
mengangguk, dia segera turun ke sungai. Tangannya membelai lembut percikan air
yang mengalir. Mentari tersenyum, dia memilih duduk di batu besar tempat
kesukaannya.
“Kamu
sering ke sini?” tanya Arjuna.
“Iya,”
“Aku
nggak nyangka tempat Mbah, ada tempat sekeren ini!” teriak Arjuna. Mentari
hanya tersenyum. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan keadaan kakeknya.
“Kamu
sudah hafal kan jalan pulangnya?” tanya Mentari.
“Sudah,
kenapa? kamu mau pulang?”
Mentari
mengangguk.
“Aku
ikut! Aku pengen tahu rumah kamu!” teriak Arjuna. Mentari menggeleng- geleng
kepala. Dia berlari meninggalkan Arjuna. Arjuna berteriak meminta Mentari untuk
menunggunya. Tapi, Mentari tidak ingin Arjuna tahu kondisi ibunya. Ia takut
Arjuna akan seperti temannya yang lain. Arjuna tetap membuntuti Mentari.
Mentari mengambil rantang berisi makanan di atas meja. Dia mengambil piring dan
sendo dari dalam rumah. Dengan cekatan dia memindah sebagian makanan dari dalam
rantang tersebut.
“Ibu…
makan ya!” bujuk Mentari pada ibunya. Yarni membuka mulutnya dan mengunyah
makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Arjuna mengintip dari balik dinding.
Ternyata Mentari berusaha menyembunyikan keadaan ibunya. Arjuna mengayuhkan
langkah kakinya, ia pergi meninggalkan rumah Mentari, tetapi di hadapannya
sudah berdiri Laila yang mengamatinya dari tadi. Arjuna hanya tersenyum malu
dengan kelakuannya.
Sambil
berjalan menyusuri pinggir parit, Laila menceritakan keadaan Mentari dan
keluarganya kepada Arjuna. Begitu juga dengan keadaan Mentari di sekolah. Setelah
adzan ashar berkumandang, Arjuna segera pamit pada Laila. Dia pasti sudah
ditunggu oleh kakeknya untuk menunaikan sholat ashar di masjid.
Malam
harinya, Mentari tidur di rumah menjaga ibunya, sedangkan Surya tidur di rumah
Arjuna. Mentari membuka pintu kamar ibunya, dia mendekati ibunya secara
perlahan. Ingin sekali Mentari memeluk ibunya, tapi dia takut ibunya akan
histeris ketika pelukan sayang Mentari mendarat. Mentari memilih untuk
membenarkan selimut yang tersingkap dari badan ibunya, sembari menatap dalam –
dalam wajah ibunya. Mentari segera keluar dari kamar ibunya dan menenggelamkan
diri dengan buku di atas balai – balai. Sorot rembulan menemani kesendirian
Mentari. Dia tidak ingin larut memikirkan keadaan kakeknya, esok hari ada
ulangan yang harus ia hadapi.
***
Pagi
disambut dedaunan yang jatuh diterpa angin, Laila sudah bersiap berangkat ke
sekolah. Dia menikmati nasi goreng kesukaannya di kursi teras rumahnya.
“La!
Kamu sepulang sekolah nanti, kamu nggak boleh mampir ke rumah Mentari!” pesan
mamaknya.
“Emang
kenapa sih, Mak? Kan kasihan Mentari nggak ada yang nemenin!”
“Kalau
Bu Yarni kumat, kamu mau tanggung resikonya? Kalau kamu diapa-apain bagaimana?”
Laila
menggelengkan kepalanya. Tapi, dia tetap tak mau kalau disuruh menjauhi
Mentari. Bu Dewi berlalu sambil membawa seember pakaian basah.
“Bener
kata Mamak kamu, La!” sahut Pak Kusman, kakek Laila yang baru keluar dari dalam
rumah, “keluarga mereka itu tidak waras semua. Kalau nanti Mentari juga ikut –
ikutan tidak waras bagaimana?”
“Tapi…
”
“Nggak
ada kata tapi, La!” gertak kakeknya.
Laila manyun mendengar ucapan kakeknya, dia
masih menikmati sepiring nasi goreng dengan sosis goreng, ditemani segelas susu
hangat. Laila memperhatikan jalan yang masih sepi. Setelah selesai, dia
bergegas pamit pada kakek dan mamaknya.
Laila
berjalan menyusuri jalanan desanya sambil mandi sinar matahari pagi. Tiba –
tiba dia melihat mobil ambulan yang melaju perlahan memasuki desanya. Laila
memperhatikan sosok wanita yang ada di jok depan ambulan tersebut.
“Mbah
Sumi! Lho, kenapa Mbah Sumi ikut
mobil ambulan itu ya?”
Laila
kembali melangkahkan kakinya dengan rasa penasaran yang masih menari-nari di
dalam kepalanya. Setibanya di sekolah, Laila menunggu kedatangan Mentari di
taman. Dia masih menengok ke kanan dan ke kiri menunggu kedatangan Mentari.
Mobil
ambulan melaju perlahan memasuki halaman rumah Mentari. Bu Sumi dengan tegar
keluar dari mobil tersebut. Dia membuka pintu rumah, Mentari sedang menyisiri
rambut ibunya. Dia tampak kaget melihat mobil ambulan yang ada di luar.
“Mbah
Kakung kenapa, Mbok?” tanya Mentari pada Bu Sumi. Bu Sumi hanya terdiam tak
menjawabnya. Mentari berlari keluar, di luar petugas dari puskesmas sudah
membawa jenazah Pak Tejo di atas keranda. Mentari menangis tak percaya dengan
apa yang terjadi. Dia sudah cukup mengerti apa yang terjadi. Air mata yang
membasahi pipinya dia usap dengan tergesa-gesa. Mentari kemudian bergegas
berlari menuju rumah Pak Ustad. Setibanya di rumah Pak Ustad, nampak Arjuna
sedang bersiap – siap berangkat sekolah.
“Eh,
Mentari, kamu mau bareng aku ke sekolah?”
Mentari
menggelengkan kepalanya.
“Lalu,
kenapa kamu ke sini?” tanya penasaran Arjuna.
“Mbah
Ustad di mana!” gertak Mentari.
“Masih
di dalam, masuk saja!”
Mentari
segera masuk ke dalam rumah tanpa berpikir panjang. Di ruang keluarga Pak Ustad
sedang merapikan buku – bukunya. Dia tampak terkejut dengan kedatangan Mentari
yang tiba – tiba menangis.
“Nduk,
kenapa kamu ke sini tiba – tiba menangis?” tanya Pak Ustad sambil mengusap
pucuk kepala Mentari.
“Mbah…
Mbah Kakung…” Mentari kembali terisak.
“Iya,
kenapa Mbah Kakung?”
“Mbah
Kakung di antar ambulan!” Mentari histeris memeluk Pak Ustad.
“Innalillahiwainnailahirojiun,”
Pak
Ustad segera bergegas ke rumah Bu Sumi. Sementara Mentari ditemani Bu Aisyah
duduk di ruang tamu rumah Pak Ustad. Arjuna ikut merasa kesedihan yang Mentari
rasakan. Hingga tepukan ayahnya menyadarkan lamunannya.
“Ayo,
kita berangkat! Nanti Ayah mau takziah juga ke rumah Bu Sumi,” bujuk Pak Fahri.
Pak Fahri berlalu memanaskan sepeda motor, sedangkan Bu Aisyah menyiapkan
sarapan untuk Mentari.
“Mentari!
Ayahku pernah bercerita kepadaku, bahwa pohon kurma di Arab sana ditanam dengan
cara ditutupi dengan tumpukan batu. Tujuannya agar akar pohon kurma itu bisa
tumbuh kokoh dan dalam cuaca seburuk apapun dia bisa tegar. Begitu juga dengan
manusia, Allah memberikan ujian, agar manusia bisa kuat. Jadi, jangan terpuruk
dengan kesedihan kamu. Semua akan baik – baik saja,” ucap Arjuna.
Mentari
menatap wajah teman sebayanya yang keluar menghampiri panggilan ayahnya.
Mentari menangis di dalam tangkupan kedua telapak tangannya. Walaupun keadaan
kakeknya tidak normal, tapi dia masih ingat kenangan masa kecilnya yang sangat
membahagiakan bersama kakek yang sudah menghadap ke pangkuanNya.
Setelah
melihat kondisi Pak Tejo di rumah Bu Sumi. Pak Ustad berjalan perlahan menuju
masjid untuk mengumumkan bahwa ada berita duka pagi ini. Warga berkerumun di
depan rumah mereka. Tak terkecuali Pak Kusman, Pak Kusman malah memprovokasi
tetangganya agar tidak takziah ke rumah almarhum Pak Tejo.
“Asal
kalian tahu, kemarin si Tejo itu sebelum pingsan itu kejang – kejang. Kalau si
Tejo epilepsi kalian mau ketularan? Aku mah ogah!” ucap Pak Kusman.
Arjuna
masuk ke dalam kelas. Semua anak di kelas tersebut heboh bukan kepalang, tak
terkecuali dengan Aya dan Yoga. Mereka tak mengira kalau akan sekelas dengan
Arjuna. Laila tersenyum pada Arjuna yang sudah duduk di belakangnya.
“Kamu
tahu nggak Mentari kemana? Nggak biasanya dia telat?” tanya Laila.
“Mbah
Tejo meninggal. Dia sekarang di rumahku bersama Bundaku,”
Laila
melongo lalu mengucapkan kalimat tarji. Ketika Bu Agatha masuk, Laila segera
menghampirinya dan membisikkan kabar yang baru saja didengarnya dari Arjuna. Bu
Agatha pun terkejut dengan apa yang didengarnya.
“Innalillahi,
ya Allah! Ya sudah Laila, kamu kembali ke meja kamu. Yang penting sekarang kita
belajar dulu,”
Laila
kembali duduk di mejanya. Tak ada yang peduli dengan ketidak hadiran Mentari.
Bagi teman – temannya Mentari tak berarti dan menjadi penghalang bagi mereka.
Para
tetangga sepertinya termakan dengan apa yang diucapkan oleh Pak Kusman. Hampir
satu jam lamanya tak ada tetangga yang datang. Hanya ada Pak Ustad dan Pak
Fahri yang datang ke rumah tersebut.
“Pak,
kenapa warga nggak segera datang ke sini?” tanya Pak Fahri.
“Keluarga
ini… memang selalu mendapatkan diskriminasi di desa ini. Dengan keadaan Yarni
dan almarhum Tejo yang seperti itu. Bapak sudah sebisa mungkin membujuk warga,
tapi mereka menganggap Yarni dan Tejo selalu mengganggu. Padahal Tejo hanya
sering adzan di masjid dan Yarni sering mengaji pula di sana,”
“Apa
Bapak sudah pernah membawa mereka ke psikiater atau rumah sakit jiwa?”
“Kamu
tahu sendiri kan, Ri. Di desa ini sangat jauh dengan sarana kesehatan. Apalagi
dengan rumah sakit jiwa,” jawab Pak Ustad sambil meninggalkan Fahri yang
menatap iba Yarni yang sedang disuapi oleh Bu Sumi.
Pak
Ustad berusaha membujuk para warga satu per satu ke rumah mereka. Ada yang
terketuk nurani mereka dan ada pula yang masih termakan oleh ucapan Pak Kusman.
Pak Ustad kemudian memimpin mengurus jenazah Pak Tejo, dia pun rela membayar
tukang penggali makam desa sebelah. Karena penggali makam desa tersebut tidak
bisa datang karena sakit. Prosesi pengurusan jenazah dan pemakaman sudah
selesai dalam waktu yang singkat. Mentari masih duduk di ruang keluarga Pak
Ustad dengan tatapan kosong.
Posting Komentar untuk "MIMPI KECIL MENTARI (BAGIAN 5) by Asih Rehey"