SAYAP-SAYAP PATAH
Shaahidah
baru saja selesai sholat tahajud subuh. Hatinya benar-benar hancur berkeping,
bahkan ia tidak tahu harus mengadukan kesedihannya kepada siapapun kecuali
Allah. Besok pagi, suaminya akan menikah lagi dengan perempuan pilihannya.
Pligami, mendengar kata itu saja benar-benar mebirikan bagi Shaahidah,
perempuan mana yang ingin cintanya diduakan, membagi suaminya dengan wanita
lain, Shaahidah bukanlah perempuan baik yang memiliki hati begitu mulia, dia
hanya perempuan biasa yang tidak ingin berbagi cinta.
Lima
tahun menikah, Shaahidah belum mampu memberikan suaminya seorang anak, sehingga
membuat suaminya berpaling dan memilih untuk menikah lagi. Sebenarnya Shaahidah
tidak mengizinkannya, tapi perceraian jauh lebih menyakitkkan bagi Shaahidah.
“Aku tidak mau
bercerai, Mas. Tapi aku juga tidak mau dimadu.” Shaahidah memohon sambil
menangis, memegang tangan suaminya agar tidak melakukan hal itu.
“Lalu buat apa, Shaa?
Kamu tidak bisa memberiku seorang keturunan, aku Cuma ingin seorang anak dan
kamu tidak bisa memberikannya. Jadi, aku bisa mendapatkannya dari wanita lain.
“Mungkin nanti kita
akan dikasih anak, Mas. Untuk sementara kita bisa adopsi seorang anak.”
“Aku tidak mau!”Adrian
menepis tangan Shaahidah dengan telak, lalu mendorong tubuhnya kesamping. Tidak
ada satupun yang dapat menghentikannya, “kamu bisa memilih, merelakan aku
menikah lagi, atau aku akan menjatuhkan talak untukmu!”
Air mata Shaahidah
tidak bisa dibendung lagi, dadanya mencelos sakit, kata-kata itu sangat
menyakitkan untuk didengar, diceraikan atau dimadu? Tidak, dua-duanya sama
menyakitkan, Shaahidah tidak ingin dua-duanya.
Shaahidah
mengusap air mata yang masih turun di pipinya, kejadian kemarin masih terekam
jelas di dalam benaknya. Dulunya, Adrian sangat menyayanginya, memujanya bagaikan
ratu yang paling beruntung masuk ke dalam istana megah. Adrain selalu
memberikan cintanya yang luar biasa. Selalu memberikan kejutan yang tidak
terduga, tapi setelah lima tahun, laki-laki itu berubah menjadi dingin, selalu
bersikap apatis dengan suara yang
kasar.
Shaahidah
sadar atas semua kesalahannya. Dulunya, dia terlalu sombong, tidak pernah
datang dan bersujud pada Allah, ia larut dalam dunia yang fana, hingga akhirnya
tuhan memberikan hukuman seperti ini. Menegurnya dengan jalan yang pelik.
“Maafkan,
aku terlalu larut dalam kehidupanku, Tuhan...,”
“Aku
mohon, berikan aku seorang anak. Agar suamiku kembali padaku, aku berjanji
tidak akan melupakanmu lagi.” Shaadihan menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya, ia tahu semua itu tidak akan mungkin pernah terjadi, tidak ada yang
bisa menghentikan perbuatan Adrian yang ingin segera menikah. Shaahidah Ihklas,
menyerahkan semuanya pada Tuhan.
“Shaahidah,
apa kamu tidak ingin datang ke sana?” tanya Bu Laras. Ia mengerti kesedihan
putrinya.
“Aku
tidak mau datang, Bu. Aku tidak akan sanggup melihatnya,” Shaahidah menggeleng
pelan, pikirannya benar-benar kacau dan tubuhnya benar-benar terasa melumer.
“Lagipula,
ada atau tidak adanya aku di sana, pernikahan itu bakal tetap terjadi, kan?
Jadi, lebih baik aku diam di sini tanpa harus menyaksikan pemandangan yang akan
membuat aku berdosa jika aku melakukan pembalasan.”
***
“Shaahidah,
ini sudah hampir empat bulan suamimu tidak pulang, sejak menikah lagi dia tidak
pernah datang ke sini. Kamu harus memberi tahu dia, kalau kamu sedang
mengandung anaknya, Shaahidah.” Bu Laras tidak habis pikir, Adrian bisa
melalukan hal seperti itu, bagaimanapun Shaahidah masih istrinya, dan masih
memiliki tanggung jawab pada istrinya.
“Bagaimana
mungkin aku bisa menghubunginya, Ibu. Bahkan sampai saat ini nomornya masih
tidak aktif.”
Awalnya
Shaahidah sangat bahagia saat mengetahui seorang anak sedang tumbuh di dalam
rahimnya, semua doa-doanya sudah terjawab. Allah mengabulkan permintaannya
seiring dengan perjalanan hijrahnya. Jika dulu Shaahidah selalu menganakan
pakaian terbuka, sekarang jubah panjang sudah menutupi tubuhnya, tidak akan
tersentuh oleh mata siapapun. Tapi, masih ada kesedihan lain yang masih
menggelayuti hatinya, keinginan untuk berkumpul bersama suaminya benar-benar
sudah pupus, asa ingin memiliki telah hilang.
“Lalu
bagaimana dengan kamu, Shaahidah?”
“Aku
ihklas, ibu. Sekarang, hati aku jauh lebih tenang, aku merasa lebih dekat
dengan Allah. Tidak ada yang aku inginkan selain bisa menjadi perempuan yang
lebih baik,” mendengar pengakuan Shaahidah, hati Bu Laras terenyuh, air mata
seketika berhamburan keluar. Putrinya jauh lebih sabar dari sebelumnya.
“Andai
saja ayahmu masih ada, Shaahidah. Pasti dia tidak akan membiarkanmu seperti
ini, tapi ibu yakin, di sana Ayahmu pasti bangga sekali. Semoga Allah, membayar
semua kesabaranmu, sayang.” Bu Laras memeluk putrinya, memberikan kekuatan bagi
Shaahidah. Ia tahun hati anaknya pasti sangat terluka, hanya saja ia begitu
hebat untuk bisa mengihklaskan semunya.
Shaahidah
hanya tersenyum sebagai respons. “ini sudah sore, aku harus ke mesji untuk
mengajar anak-anak itu.” Bu Laras hanya menganggukkan kepalanya, Shaahidah selalu
menghabiskan waktunya di mesjid, bersama anak-anak didiknya.
***
“Begitulah
keseharian Shaahidah, Adrian. Sejak kamu pergi meninggalkannya, dia berusaha
menjadi wanita yang lebih baik. Dia menganggap apa yang terjadi dengannya
adalah teguran dari Allah.”
Mata
Adrian masih memerah, ia tidak menyangka kalau malam itu adalah malam yang
menjadikannya seorang pembunuh. Akibat tidak bisa menahan emosi saat sedang
mengemudi. Perempuan berhijab panjang yang ia tabrak adalah istrinya sendiri.
Dan yang paling menyakitkan adalah, dia telah melayangkan dua nyawa sekaligus.
“Kenapa
tidak ada satupun yang memberi tahuku tentang kehamilannya.”
“Dia
sudah menghubungimu, Adrian. Tapi kamu sendiri yang tidak bisa dihubungi.”
Adrian
menjenggut rambutnya frustasi, inikah yang dinamakan karma? Dia laki-laki yang
selalu mementingkan nafsu. Menyakiti hati istrinya berkali-kali. Sekarang, dia
sudah ditinggalkan semua orang, istri barunya meninggalkannya karena Adrian
divonis tidak akan memiliki keturunan akibat kecelakaan saat bekerja. Sekarang,
Adrian ditinggalkan Shaahidah dan bayi yang baru berusia empat bulan dalam
rahimnya. Adrian sangat menyesal.
“apa
yang harus aku lakukan, ibu. Aku hanya ingin Shaahidah kembali ke sini. Dulu,
aku selalu mengatakannya perempuan yang tidak sempurna, sekarang Allah membagi
rata, aku bukanlah laki-laki sempurna hingga aku ditinggalkan.”
Bu
Laras tidak menjawab apa-apa, sebenarnya ia sangat ingin marah karena telah
menyebabkan putrinya meninggal. Tapi, Bu Laras merasa malas ingin memperpanjang
masalah ini. Hanya akan membuatnya murka dengan rasa sakit hati yang tidak
berkesudahan.
“Aku akui segala
kesalahanku, tuhan. Aku berjanji, akan memperbaiki diriku. Berikan istri dan
anakku tempat terbaik, di sini aku akan selalu menatapmu dengan hatiku yang
patah.”
END
Posting Komentar untuk "Sayap-Sayap Patah"