"Kamu kemarin puasanya pilih
yang kapan?"
"Aku golput!" Sahut Mas Mus
singkat.
"Golput? Maksudnya?" Tanya
Sobar lirih sambil menarik alisnya sebelah kiri ke atas.
"Saya milih golput karena mereka
menyajikan 2 pilihan, kalau ada satu pilihan saja saya bakal milih yang satu
itu!" Mas Mus menyandarkan tubuhnya di kursi rotan yang ada di teras rumah
Sobar.
"Maksudmu mereka itu siapa
Mus?" Sobar masih belum paham dengan apa yang dikatakan Masmus.
"Ya mereka yang berhak
memberikan keputusan kapan puasa, kapan lebaran, kalau mereka yang di atas saja
nggak bisa rukun, bagaimana yang bawah mau rukun Bung?" Mas Mus sekali
lagi menghela nafas dalam.
"Terus?"
"Terus kalau aku suka musik
dangdut kamu marah? Kalau aku suka musik rock kamu marah? Kalau aku suka punk
kamu marah? Enggakkan? Kenapa aku bisa milih kesukaanku akan musik? Karena
memang disajikan banyak pilihan, coba kalau di dunia ini hanya ada musik
dangdut, pasti kamu akan suka dangdut, betul?" Mas Mus tampak emosional
karena dia memang sedang gamang, gamang menentukan pilihan. Hatinya seakan
hancur digempur perbedaan yang sengaja disajikan sebagai drama musikalitas
kehidupan.
"Kamu tau Mus, kemana arah buah
jatuh?" Tanya Sobar sambil mengelus jenggotnya yang panjang dan
jarang-jarang itu.
"Ke bawah! Namanya juga jatuh!"
Kata Mas Mus memberikan jawaban atas tanya yang disodorkan Sobar, sahabat
dekatnya.
"Nah jika ada mangga sedang
berbuah! Buah yang jatuh itu tidak pernah bersamaan, jika ada 5 biji buah yang
sama masak, kamu goyang pohonnya, buah itu tidak akan jatuh pada waktu yang
sama persis, selalu ada jeda, karena apa? Karena buahnya berbeda
besarnya," lanjut Sobar memberikan analogi.
"Artinya?" Mas Mus
memicingkan matanya.
"Sama seperti musik, Afgan dan
Ariel akan berbeda suara dan cara menyanyikan lagunya Tombo Ati walau
aransementnya sama, karena mereka berbeda, karena memang tidak sama, walau
benang merah dan inti lagunya sama persis," lanjut Sobar pelan.
Mas Mus sekali lagi terdiam, matanya
menerawang jauh, nanar menatap langit senja yang indah. Hatinya sekali lagi
digempur oleh celoteh singkat sahabatnya. Sekali lagi otaknya harus perang
antara kenyataan dan perbedaan yang memang nyata.
Kali ini Masmus tidak seperti
biasanya, kekritisannya tiba-tiba menurun pada level 43 persen tidak seperti
biasanya. Bibirnya manyun semakin gelisah. Matanya semakin nanar menatap
siluete pada apa saja yang dilihatnya.
Hatinya, ya seonggok benda paling
berpengaruh dalam tubuhnya itu terpukul-pukul, oleh pikirannya sendiri. Seperti
kehilangan nada dan irama. Seperti enggan menyanyikan lagu bahagia tentang
cinta. Semua serba membingungkan, semakin bingung, sebingung-bingungnya.
“Bener, sering kali kita itu egois
karena nggak mau berpikir lebih jernih,” kata Mas Mus lirih.
“Emosi, itu akan menghancurkan
logika, sama seperti cinta, ketika cemburu tak terkendalikan yang terjadi
kemudian adalah emosi, ketika emosi tak terkendalikan yang terjadi kemudian
adalah putus, kalau sudah putus, menyesal. Kemudian menyalahkan cinta...” Sobar
tersenyum kecil mengakhiri kalimatnya.
“Terus aku kudu piye?” Mas Mus
menatap Sobar sahabatnya itu dalam-dalam.
“Kalau mau bahagia, jangan mudah
menyerah. Karena kebahagian itu satu paket dengan kerja keras, usaha dan doa...”
Keduanya diam, menatap ke arah langit
senja Ibu Kota Jakarta yang indah.
- LANJUT MAS MUS!? -
Posting Komentar untuk "Cerbung MAS MUS "Kalau mau bahagia, jangan mudah menyerah!" Oleh Endik Koeswoyo"