Oleh: Ria M.
Gempa bertubui-tubi sejak 29 Juli membuat sebagian orang trauma bercampur sedih. Rumah yang retak di setiap sisinya membuat hati siapaun melihatnya terenyuh menangis pilu. Namun, apa boleh dikata, hampir semua warga di beberapa wilayah Lombok ikut merasakan gempa dengan kekuatan bervariasi. Setiap getaran yang mengguncang rasanya sudah menjadi hal biasa, meski hati terus ketar-ketir khawatir berada di bawah tenda sembari menatap rumah yang masih terlihat utuh meski bisa jadi sudah tak lagi kokoh.
Gempa bertubui-tubi sejak 29 Juli membuat sebagian orang trauma bercampur sedih. Rumah yang retak di setiap sisinya membuat hati siapaun melihatnya terenyuh menangis pilu. Namun, apa boleh dikata, hampir semua warga di beberapa wilayah Lombok ikut merasakan gempa dengan kekuatan bervariasi. Setiap getaran yang mengguncang rasanya sudah menjadi hal biasa, meski hati terus ketar-ketir khawatir berada di bawah tenda sembari menatap rumah yang masih terlihat utuh meski bisa jadi sudah tak lagi kokoh.
Retak bangunan di sana sini membuat warga desa di seluruh wikayah Lombok takut untuk tidur di dalam rumah. Niya dan korban gempa lebih memilih berkumpul dan menginap di bawah terpal yang dibentangkan semata-mata sebagai atap di kala hujan. Meski suasana dingin menyelimuti malam-malamnya tanpa beralaskan kasur yang empuk dan tanpa kain tebal membungkus diri. Namun, demi rasa aman dari gempa susulan, Niya dan warga memilih menginap di tenda sederhana yang dibangun oleh ayahnya yang akrab disapa warga, pak Dan.
Niya kaniya adalah salah satu warga yang tinggal di Dusun Nyanggi, Desa Montong Gamang, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah. Tepat pada hari Minggu, 5 Agustus 2018 gempa besar yang terjadi untuk ke dua kalinya di Lombok Utara dan Lombok Timur berkekuatan 7 SR ini, juga telah merambah ke daerah Lombok Tengah, daerah dimana Niya dan keluarganya tinggal. Meski getaran yang dirasa tak separah Lombok Utara, Lombok Timur, dan Mataram, namun Niya dan keluarganya ikut panik karena bangunan rumahnya berbahan dasar semen dan batu. Niya beserta keluarga dan tetangganya akhirnya memilih untuk mengungsi dan mendirikan tenda di belakang rumahnya. Ia mengungsi jika matahari mulai tenggelam, dan kembali ke rumah jika mentari mulai bersinar terang. Hampir setengah bulan ini Niya selalu mengungsi di bawah tenda bersama keluarga dan tetangganya yang berjumlah 15 orang.
Menulis di Bawah Tenda Pengungsian
Bagi perempuan yang bekerja sebagai guru PAUD ini, menulis adalah hiburan yang dapat membantunya meringankan trauma akibat getaran bumi yang mengguncang saling bersahutan. Niya mengalihkan kecemasannya dengan menulis berbagai artikel untuk dipublikasikan di web jaringanpenulis.com agar kembali lebih segar. Meski lebih dari 450 orang meninggal dunia dan 7000-an warga terluka akibat Gempa Lombok, namun Niya tetap semangat melanjutkan hobinya menulis disamping menjadi tenaga pengajar di PAUD Habibu At-Tholabah, Dusun Nyanggi, Desa Montong Gamang, Kec. Kopang, Kab. Lombok Tengah.
"Iya fresh (segar), jadi galaunya hilang gitu. Kadang suka tertekan pas lagi gak ada kerjaan trus pengen nulis tapi ide malah gak ada," ujarnya melalui pesan singkat kepada tim JPI.
Menulis baginya adalah jiwa yang selalu menggugah ketenangan dan semangat tersendiri. Kini keadaan jauh berbeda dari malam-malam biasanya. Perempuan penyuka cerpen yang biasanya menulis di kamar inipun kini terpaksa berpindah ke tenda pengungsian dan tidur berhimpitan bersama para pengungsi yang merupakan keluarga dan tetangga dekatnya. Tempat yang tak nyaman inilah yang menjadi saksi perjuangannya menulis lembar demi lembar, halaman demi halaman dengan berbagai suasana untuk dibaca pembaca di seluruh penjuru dunia. Saat gundah melanda, saat bahagia bercengkrama bersama para keponakan yang berusia 3 tahun hingga 13 tahun, tak jarang mereka penasaran dengan Niya yang selalu berkutat dengan telepon genggamnya, merangkai kata menjadi paragraf-paragraf indah untuk dibaca banyak orang. Keponakannya yang masih balita dan muda belia itu tampaknya masih terlihat asing dan bingung melihat Niya yang tengah asyik menulis meski lewat ponselnya yang sederhana. Tak jarang, tangisan bayi salah satu pengungsi yang baru berusia hitungan bulanpun memecah fokus saat Niya tengah asyik menulis. Namun hampir setengah bulan di tenda pengungsian, Niya perlahan mulai akrab dengan suara tangis bayi yang merasa gerah karena banyaknya orang berkumpul di satu tenda.
Menulis baginya adalah jiwa yang selalu menggugah ketenangan dan semangat tersendiri. Kini keadaan jauh berbeda dari malam-malam biasanya. Perempuan penyuka cerpen yang biasanya menulis di kamar inipun kini terpaksa berpindah ke tenda pengungsian dan tidur berhimpitan bersama para pengungsi yang merupakan keluarga dan tetangga dekatnya. Tempat yang tak nyaman inilah yang menjadi saksi perjuangannya menulis lembar demi lembar, halaman demi halaman dengan berbagai suasana untuk dibaca pembaca di seluruh penjuru dunia. Saat gundah melanda, saat bahagia bercengkrama bersama para keponakan yang berusia 3 tahun hingga 13 tahun, tak jarang mereka penasaran dengan Niya yang selalu berkutat dengan telepon genggamnya, merangkai kata menjadi paragraf-paragraf indah untuk dibaca banyak orang. Keponakannya yang masih balita dan muda belia itu tampaknya masih terlihat asing dan bingung melihat Niya yang tengah asyik menulis meski lewat ponselnya yang sederhana. Tak jarang, tangisan bayi salah satu pengungsi yang baru berusia hitungan bulanpun memecah fokus saat Niya tengah asyik menulis. Namun hampir setengah bulan di tenda pengungsian, Niya perlahan mulai akrab dengan suara tangis bayi yang merasa gerah karena banyaknya orang berkumpul di satu tenda.
"Dibilang terganggu sudah pasti, tapi kadang bahagia aja pas di tenda inspirasi langsung muncul," curhat Niya yang merasa semakin aktif menulis ketika di bawah tenda pegungsian.
Niya bersama keponakannya yang berusia 3 tahun |
Perempuan berhijab ini setiap hari terus menulis kapanpun ia mau. Saat ide segar baru mengalir, Niya pun langsung menuangkannya menjadi tulisan. Jika idenya mulai buntu, Niya memilih berhenti menulis dan mencoba mencairkan suasana hati dengan berkumpul di depan tenda untuk menyalakan tungku guna menghangatkan tubuh atau sengaja membuat camilan teman berronda.
Selama gempa, sekolah PAUD tempatnya bekerja sengaja diliburkan. Meski tak mengajar, namun bukan berarti Niya diam tak berkegiatan. Banyaknya waktu luang justru dimanfaatkan Niya untuk membersihkan rumah, membantu ayahnya mencari rumput, dan memberi pakan hewan ternak. Pekerjaan itu niya kerjakan sepenuh hati sehari penuh tanpa mengeluh.
Selama gempa, sekolah PAUD tempatnya bekerja sengaja diliburkan. Meski tak mengajar, namun bukan berarti Niya diam tak berkegiatan. Banyaknya waktu luang justru dimanfaatkan Niya untuk membersihkan rumah, membantu ayahnya mencari rumput, dan memberi pakan hewan ternak. Pekerjaan itu niya kerjakan sepenuh hati sehari penuh tanpa mengeluh.
Gelap Gulita di Bawah Tenda
Tidur di tenda pengusian selama setengah bulan perlahan menjadi kebiasaan. Tapi, putusnya aliran listrik yang sering terjadi di malam hari menambah ketakutan warga di dusun Nyanggi karena suasana desa yang bertambah gelap. Namun beruntungnya Niya, di bawah naungan tenda sederhana yang didirikan ayahnya, ilangsung mendapat perbaikan listrik di desanya.
Dua pekan sudah gempa melanda Lombok tanpa henti. Menutup cerita, Niya menyampaikan doa dan harapannya kepada siapapun yang membaca tulisan ini, tulisan tentang cerita anak suku Sasak yang menghilangkan trauma gempa lewat menulis di bawah tenda.
"Doanya semoga bencana ini cepat berlalu dan kami bisa kembali beraktivitas lagi. Dan harapannya tolong buat orang-orang di luar sana jangan sebarkan isu adanya prampokan dan isu akan terjadinya gempa yg lebih besar yang belum tentu benar adanya, karena semakin takut dengan adanya isu tersebut," ungkapnya penuh harap. (RM)
Tidur di tenda pengusian selama setengah bulan perlahan menjadi kebiasaan. Tapi, putusnya aliran listrik yang sering terjadi di malam hari menambah ketakutan warga di dusun Nyanggi karena suasana desa yang bertambah gelap. Namun beruntungnya Niya, di bawah naungan tenda sederhana yang didirikan ayahnya, ilangsung mendapat perbaikan listrik di desanya.
Dua pekan sudah gempa melanda Lombok tanpa henti. Menutup cerita, Niya menyampaikan doa dan harapannya kepada siapapun yang membaca tulisan ini, tulisan tentang cerita anak suku Sasak yang menghilangkan trauma gempa lewat menulis di bawah tenda.
"Doanya semoga bencana ini cepat berlalu dan kami bisa kembali beraktivitas lagi. Dan harapannya tolong buat orang-orang di luar sana jangan sebarkan isu adanya prampokan dan isu akan terjadinya gempa yg lebih besar yang belum tentu benar adanya, karena semakin takut dengan adanya isu tersebut," ungkapnya penuh harap. (RM)
Posting Komentar untuk "Cerita Anak Suku Sasak yang Coba Menghilangkan Trauma Gempa dengan Menulis di Bawah Tenda "