DILLA sudah memutuskan yang terbaik untuk hidupnya setelah hari ini,
karna semuanya akan berubah. Dilla yang membuat pilihan, bukan Mama atau Papa.
Dilla yang menentukan kebahagiaannya, bukan Mama atau Papa. Dilla yang terluka
akibat ulah Mama dan Papa.
Pilihan Dilla adalah pergi.
Kehadiran Dilla akan menjadi masalah baru diantara Mama dan Papa. Mama
dan Papa tengah berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak asuh atas
Dilla, putri tunggal mereka.
Dilla tidak pernah mengerti apa yang membuat Mama dan Papa memilih untuk
berpisah setelah tujuh belas tahun pernikahan mereka. Selama ini keluarga Dilla
harmonis, berkecukupan dan terpandang.
Dilla juga tidak mengerti ketika Mama menangis di kamarnya pada suatu
malam saat hujan turun sangat deras. Waktu itu, Papa belum pulang dari kantor. Mama
langsung menghapus air matanya melihat Dilla nyelonong masuk ke kamarnya tanpa
izin terlebih dahulu.
“Ada apa Dilla? Kenapa tidak ketuk pintu dulu?” Mama berusaha
menyembunyikan kesedihannya dengan tersenyum. Senyuman yang terlihat dipaksakan.
Dilla tidak mau ikut campur urusan Mama, ia berpura-pura tidak tahu kalau
Mama tadi habis menangis. Entah karna apa.
“Dilla udah ketuk pintu, tapi Mama nggak dengar. Ternyata pintunya nggak
dikunci. Ya, Dilla langsung masuk aja.” jelas Dilla.
“Dilla mau Mama tanda tangan surat izin Dilla untuk mengikuti kemah yang
diadakan sekolah Dilla selama tiga hari. Dilla takut besoknya kelupaan dan
nggak sempat.”
Apa yang disukai Dilla, Mama dan Papa tidak pernah melarang dan malah
mendukung apapun yang bisa membuat Dilla bahagia.
“Kamu harus jaga diri. Mama nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu
selama di sana.” kata Mama setelah membaca surat izin itu.
“Mana pulpennya, sayang?”
“Waduh! Ketinggalan di kamar Dilla, Ma. Dilla ambil bentar, ya?”
“Nggak usah, di laci meja Mama juga ada. Ambil aja sana.”
Dilla beranjak dari sisi Mama.
“Nggak ada, Ma.” ujar Dilla melihat isi laci pertama yang ia buka.
“Laci paling bawah, sayang.”
“Oh, ada Ma.”
Di laci meja paling bawah, Dilla
juga menemukan kertas kecil yang tertulis nama seseorang yang tidak pernah
Dilla dengar nama itu disebut oleh Mama ataupun Papa sebagai saudaranya ataupun
teman-teman Mama atau Papa. Nama itu lengkap dengan nomor ponselnya. Dari
tulisannya, itu adalah tulisan Mama.
“Mana pulpennya, sayang.” ujar Mama lagi.
Dilla langsung mengambil pulpen itu dan memberikannya pada Mama.
“Makasih, Ma.”
Dilla mencium pipi Mama sebelum beranjak ke luar. Seketika, Dilla
melupakan kenapa Mama menangis dan melupakan kertas kecil yang tertulis nama
seseorang beserta nomor ponselnya yang sempat membuat Dilla penasaran.
--- o o o ---
KEESOKAN harinya, Dilla mendapati Papa tengah melamun di beranda samping.
Papa bahkan tidak menyadari kehadiran Dilla di sisinya.
“Pa... Papa...” teriak Dilla menyentakkan lamunan Papa.
“Ada apa sayang?”
“Besok kan Dilla berkemah, Pa. Jadi, Dilla nggak bisa ketemu Mama sama
Papa. Dilla mau Papa jaga Mama, ya. Sepertinya Mama lagi ada masalah.”
“Duh, sok tahu anak Papa ini. Mama kan baik-baik aja.” Papa mengusap lembut
rambut Dilla.
“Benar, Pa.” Dilla ngeyel. “Papa harus jaga Mama.”
“Iya sayang. Pa...”
Ponsel Papa yang diletakkan di atas meja tiba-tiba berbunyi. Dilla tidak
sengaja melihat nama yang tertera di layar ponsel Papa. Nama dan nomor itu
lagi. Nama yang sama dan nomor yang sama di kertas kecil di laci meja Mama
kemarin malam. Papa mengangkat telepon itu sambil manjauh dari Dilla. Papa
tidak mau Dilla mendengar percakapannya dengan si penelepon.
Entah kenapa, Dilla jadi terusik dengan si penelepon Papa itu. Mungkinkah
Mama menangis gara-gara itu? Mungkinkah si penelepon adalah pembawa masalah
bagi hidup Dilla? Dilla tidak punya waktu mencari tahu tentang hal itu. Dilla
harus menyiapkan peralatan kemahnya dan memastikan apa-apa saja yang ia
butuhkan sudah dimasukkan semuanya ke tas ranselnya.
--- o o o ---
DILLA tidak tahu apa yang terjadi selama dirinya pergi. Dilla hanya
bingung mendapati rumahnya kosong sepulang dari berkemah. Kemana Mama dan Papa?
Dilla sudah memberitahu sebelumnya, Dilla akan pulang hari ini. Tapi, Mama dan
Papa tidak menyambut kepulangan Dilla seperti biasanya.
“Tuan dan Nyonya sedang ada urusan penting, Non. Makanya
belum pulang sampai sore. Mungkin pulangnya malam, Non.” jelas Bi Jum tentang
keberadaan Mama dan Papa.
Urusan penting apa sampai keduanya melupakan Dilla?
Padahal, Dilla rindu Mama dan Papa. Dilla yang masih lelah tidak mempedulikan
hal itu. Setelah mandi dan makan, Dilla merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Dilla tertidur.
Dilla terjaga dan langsung beranjak dari kasur, melirik
jam dinding, pukul setengah dua belas. Saking lelahnya Dilla tertidur pulas,
tidak tahu kalau Mama dan Papa apakah sudah pulang? Dilla ingin menemui Mama
dan Papa, tapi Mama dan Papa pasti sudah tidur. Dilla tidak ingin menganggu waktu
istirahat keduanya.
Paginya Dilla sudah duduk rapi di meja makan dengan
pakaian putih birunya. Dilla menyantap sarapan pagi, sesekali melirik ke kamar
Mama Papa. Sarapan Dilla hampir habis, Mama dan Papa belum juga muncul.
“Bi, Mama Papa kenapa belum juga bangun?” tanya Dilla
pada Bi Jum yang sedang menuangkan minuman ke gelasnya.
“Lho, Non Dilla nggak tahu, apa? Tuan dan Nyonya belum
pulang dari semalam.”
“Apa? Belum pulang, Bi?”
“Iya Non.”
“Mereka keluar kota?”
“Bukan Non, tapi... tapi...” Bi Jum tampak ragu
melanjutkan kata-katanya. “Itu Non... Tuan dan Nyonya... Hm... mereka...
mereka...”
“Iya Bi, mereka kemana? Kenapa Bibi sampai takut
ngomongnya?” Dilla jadi penasaran melihat pembokapnya bersikap seperti itu.
“Duh... Bibi takut salah ngomong, Non. Sebaiknya Non
Dilla cari tahu sendiri aja, ya?”
“Tapi Bi, Dilla...”
“Non Dilla habisin makanannya, nanti telat ke sekolah.
Bibi juga mau ke belakang. Mau nyuci baju Non Dilla yang kemarin dipakai
berkemah. Bibi permisi, Non.”
Apa yang terjadi? Tanda tanya besar itu menghantui
pikiran Dilla. Apa yang membuat Bi Jum sampai takut menjelaskannya?
Sampai pulang sekolah pun, Mama dan Papa juga tidak
ada. Bi Jum malah menghindar dari Dilla dengan alasan yang dibuat-buat, cucian
numpuklah, piring kotorlah, halaman belum dibersihkanlah, tanaman belum disiramlah.
Bi Jum memberi banyak alasan setiap kali Dilla meminta penjelasan.
Mama dan Papa tidak bisa dihubungi. Ponsel mereka
selalu saja sibuk saat Dilla menelepon. Dilla tidak tahan lagi. Dilla harus
tahu apa yang terjadi selama dirinya tidak berada di rumah. Terpaksa Dilla
mencari tahu sendiri. Kamar Mama Papa kosong, Dilla leluasa mencari sesuatu
yang bisa dijadikan petunjuk.
Kembali Dilla menemukan secarik kertas, tertuliskan
nama beserta nomor ponsel seperti sebelumnya, tapi kali ini tertulis alamat
lengkapnya.
Dia siapa? tanya Dilla dalam hati. Apa dia ada
hubungannya dengan semua ini?
Dengan di antar supir pribadinya, Dilla mencari alamat
tersebut.
--- o o o ---
“ITU rumahnya,
Non.” Pak Asep, menunjuk ke sebuah rumah yang tampak sederhana dari luar.
Seorang anak kecil sedang bermain bola di halaman depan rumah itu yang tidak
terlalu luas, tidak seperti rumah yang ditempati Dilla selama ini, rumah yang
terkesan mewah, besar dan berada di kompleks perumahan elit.
“Pak Asep nggak salah rumah, kan?”
“Nggak, Non. Saya sudah tanya orang tadi, memang itu
rumahnya sesuai dengan alamat yang Non berikan. Rumah itu, rumah kontrakan yang
ditempati Ibu dan seorang anaknya.”
Pak Asep menunggu di mobil, sedangkan Dilla mendatangi
rumah itu sendiri. Ada rasa takut yang menyeruak, membuat Dilla beberapa kali
berhenti, berpikir untuk tidak mendatangi rumah itu. Tapi rasa penasaran Dilla
membuat dia melanjutkan langkah, pelan.
“Ayah!” teriak anak kecil di rumah itu tiba-tiba ke seorang
lelaki yang memasuki rumah itu. Langkah Dilla terhenti lagi.
“Bunda, Ayah pulang.” Anak kecil di rumah itu tampak
kegirangan menyambut lelaki yang dipanggilnya Ayah. Berkali-kali ia memanggil
Bundanya.
Lelaki itu langsung mengendong anak kecil itu. Tak
lama, seorang wanita yang tak lain adalah Ibu dari anak kecil itu muncul.
Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia, sangat bahagia. Dilla merasa iri.
Dilla serasa tertampar keras menyaksikan pemandangan di
depan matanya itu. Ia kenal baik dengan lelaki itu, bahkan setiap hari ia
menjumpai lelaki itu. Lelaki yang selama ini dipanggilnya Papa. Papa yang
membesarkannya. Papa yang seharusnya, hanya menjadi Papa Dilla, bukan Papa anak
kecil itu.
Siapa wanita dan anak kecil itu? Apa wanita itu
selingkuhannya Papa? Apa anak kecil itu anak Papa dan wanita itu? Apa Papa
berkhianat dari Mama dan Dilla? Apakah ini juga alasan Mama menangis?
Anak kecil itu mengajaknya Papa masuk ke rumah mereka.
Wanita itu tidak ikutan masuk. Ia mengunci dulu pintu pagarnya yang terbuka.
Lalu menyusul anak kecil itu dan Papa.
“Permisi...” panggil Dilla yang menghentikan langkah
wanita itu.
“Iya, cari siapa?” sambut wanita itu dengan ramahnya.
“Saya mencari wanita yang bernama Fatma, alamatnya...”
Dilla menyodorkan kertas kecil yang berisi nama dan alamat seorang wanita.
“Oh, saya sendiri. Ada perlu apa, ya? Apakah kita
pernah saling kenal sebelumnya?” tanya wanita itu yang tampak bingung dengan kehadiran
Dilla.
“Tidak, Anda tidak mengenal saya. Saya cuma ingin
bertanya, apa lelaki tadi adalah suami Anda?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”
Meski tidak mengerti, wanita itu tetap menjawab
pertanyaan Dilla.
“Beberapa tahun yang lalu kami menikah dan mempunyai
seorang anak, Billi namanya. Selama ini kami tinggal di Bogor, baru sebulan
yang lalu pindah ke Jakarta, biar bisa dekat dengan suami saya yang bekerja di
Jakarta. Jadi, dia tidak perlu bolak-balik ke Bogor untuk mengunjungi saya dan
Billi.”
Pantasan, Papa sering kali ada dinas di luar kota
setiap bulannya, ujar Dilla dalam hati.
“Oh, istri simpanan?” cibir Dilla, sikapnya masih tetap
tenang.
“Kamu ngomong apa? Saya tidak mengerti.” wanita itu
seketika menatap Dilla penuh emosi.
“Anda pasti tahu maksud saya, kan?”
“Saya istri satu-satunya Mas Bram. Dia sudah bercerai
dengan istri pertamanya. Bahkan, pengadilan sudah mengabulkan gugatan
perceraian mereka dua hari yang lalu. Meskipun Mas Bram terpaksa menerima
gugatan cerai istri pertamanya dan sekarang mereka tidak tinggal serumah lagi.
Rumah mereka akan segera dijual. Setelah itu, hak asuh atas putri mereka akan
segera diurus pengadilan.” wanita itu terus mengoceh karena ingin Dilla menarik
ucapannya tentang istri simpanan.
Dilla terdiam. Bercerai? Mama dan Papa telah bercerai?
Mama menangis malam itu setelah tahu Papa berselingkuh dan punya seorang anak
dari selingkuhannya.
“Oh...” suara Dilla terdengar berat. “Titip salam saya
buat Pak Brama Hanggono yang terhormat. Selamat berbahagia dengan keluarga
barunya.”
Dengan menahan air mata yang hampir tumpah, Dilla
meninggalkan rumah itu.
Wanita itu melongo bengong, tidak mengerti apa yang
terjadi.
--- o o o ---
MAMA, Dilla kangen.
Dilla mendatangi Mama ke kantornya. Di luar dugaan,
Mama tidak ada bedanya dengan Papa. Mama menangis di ruangannya dalam pelukan
seorang lelaki yang dikenal Dilla sebagai teman baik Mama, Om Danang. Duda yang
belum punya anak.
Di depan pintu ruangan Mama yang sedikit terbuka, Dilla
menyaksikan dan mendengar semuanya.
“Menikahlah denganku. Aku akan mengobati lukamu dan
membalas sakit hatimu pada Bram. Kita bisa bersama lagi seperti dulu saat kita
masih sekolah, aku tidak akan lagi meninggalkanmu hanya karna aku harus pindah
ke luar negeri.”
“Tapi Mas Danang, aku...”
“Kamu mau kan menikah denganku? Biar kamu bisa
tunjukkan pada Bram, kamu baik-baik saja tanpa dia.” Om Danang mengenggam erat
tangan Mama. Wajah Om Danang menyakinkan.
Mama mengangguk pelan.
Oh, Tuhan! Jerit Dilla dalam hati. Hidup Dilla
benar-benar hancur. Mama dan Papa egois. Dilla tidak mau memilih hidup bersama
Mama ataupun Papa.
Dilla pergi dengan airmata berlinang tanpa tujuan,
melangkah jauh meninggalkan Mama dan Papa, meninggalkan kemewahan hidupnya yang
dulu bak seorang putri, meninggalkan kasih sayang Mama Papa, meninggalkan
semuanya. Dilla berharap semua ini hanya mimpi buruk yang menyapanya. Dan esok
ketika ia terbangun, semua akan kembali seperti semula. Semoga.
#sumber gambar : google.
Posting Komentar untuk "CERPEN - MAMA ATAU PAPA?"