CHAPTER 1
Malam ke 17 di bulan Januari. Angin berhembus syahdu menyapa malam kota budaya. Wangi dedaunan basah bergumul romantis bersama kibasan parfum bunga lily dari tubuh para kembang kota yang tengah ranum masanya. Di atas langit bulan sabit melekuk genit merayu muda mudi untuk bercengkrama di tengah kerlap kerlip temaram lampu di sudut-sudut bangunan belanda tua. Malam yang indah bukan hanya milik yang muda, yang menjelang rentapun turut berkutat dengan kekuatan seadanya mengais rezeki yang Tuhan sebarkan di muka bumi. Riuh rendah suara disana sini. Para pedagang menjajakan koleksinya pada wajah-wajah asing di tanahnya. Musik calung bambu eksotik mengalun energik ditangan delapan punggawanya. Khusyuk berpentas di jalanan meski ratusan kaki hilir mudik melewat memecah alunan melodinya. Berpenampilan ala kadarnya, mereka bernyanyi memainkan musik dari dalam jiwa, dengan penuh suka cita. menyemarakkan suasana malam Jogja yang membuat setiap orang rindu kembali ke kota ini lagi.
Di
jalan yang melegenda ini, di selasaran trotoar Malioboro langkah ku terayun
penuh kebebasan. Di tiap langkahnya ada
harapan yang lama terkungkung oleh kekuatan dari ketamakan keluarga dan
ketidakberdayaan. Membekas segala pahit dan luka bayang masa lalu yang tak akan pernah
lagi ku toleh sejak hari ini tiba. Satu dua mata memandangku terkesima,
menggoda dengan menyapaku dengan panggilan
“ayu…” Yang kutahu, aku memang
masih cantik, meski aku tak yakin apa kecantikan itu akan tetap mereka sematkan
kalau tahu masa laluku. Mataku yang coklat dan belo, kulit putih mulus, hidung
mancung, rambutku panjang coklat kemerahan dan tubuh yang padat membuat banyak
orang memandangku sepanjang perjalanan. Tapi yang kupasang hanyalah tatapan
lurus dan wajah yang dingin, sedingin hatiku yang tertinggal di hutan Bahau.
Mataku
yang besar makin dibesarkan, saat kaki-kaki jenjang ini terhenti di depan sebuah toko tua. Seorang wanita yang tengah membatik menarik
perhatianku. Wanita itu melihat padaku menyambut dengan senyum hirarki. Senyum yang turun sama
persis seperti moyangnya yang terpampang magis di sudut dalam toko. Dari
tubuhnya terlukis setiap lekuk waktu dan sejarah yang dilaluinya. tatap matanya
merasuk tajam menuntun ke zaman yang jauh tak pernah kita alami, dimana para
serdadu tak kuasa mengelak dari godaanya. Rambutnya yang putih adalah saksi
kematangan hidupnya. Wanita itu menawarkan lengannya yang tak lagi gemulai untuk
menuntunku, jari jemari lentiknya dihias tumbukan inai menghasilkan warna oranye
kemerahan. Wanita berbalut jarit truntum hitam dengan sanggul besarnya tanpa sasakan, terlihat seksi nan eksotik meski
tubuhnya tak lagi ranum seperti gadis-gadis yang kutemui sepanjang perjalanan.
Ia menanti penuh harap agar aku menyambut lengan rentanya. Akupun mewujudkannya.
Wangi kemenyan mengikat langkah kuterus masuk jauh ke dalam toko. Lalu
berhentilah kami di samping sebuah kereta kencana. Wanita tua itu melepaskan pegangannya
dan meninggalkanku sendiri.
“Sugeng
Ndalu..”
Aku
menoleh kearah datangnya suara. Seorang pemuda tinggi mengangguk ramah menyapa sambil
menuruni anak tangga. Ku anggukan kepala
menerima salamnya. Meski tak ku mengerti apa yang diucapkannya kurang lebih
seperti itulah yang aku dengar.
“Sugeng
Rawuh Mbak.. selamat datang di toko kami..”
Aku
tak menjawab, wajahku kembali melihat ke wanita renta yang menuntun masuk tadi.
Aku masih terkesima. Kulihat ia duduk lagi di peraduannya, di hadapannya
tergelar sebuah kain putih yang masih di lukis dengan malam dan canting. Dengan
jari-jari rapuhnya ia mengambil malam panas dengan cantingnya lalu didekatkan
ke bibirnya yang keriput dan ia meniupnya. Tangannya yang lemah mulai lagi
membatik di depan pintu masuk toko. Pemuda itu turut menoleh ke depan toko.
“itu
Mbah Kantil… beliau disini sejak lahir.. “
“sejak
lahir??” aku bertanya.
”iya
Mba.. bapak ibunya adalah pembatik di desa lalu mendirikan toko ini, itu foto
mereka”
Kata
pramuniaga menjelaskan sambil mengacungkan ibu jarinya menunjukan lukisan besar yang terpajang di
sudut toko. Wajah dan senyuman mereka sama dengan Mbah Kantil. Aku takjub,
entah apa sebabnya tapi hatiku bergetar melihatnya. Pramuniaga itu meninggalkanku karena Mbah
Kantil memanggilnya. Dia berbicara pada pegawainya itu sepintas kulihat sebelum
aku beranjak keliling toko. Sampai tanganku berhenti di sudut etalase berisi
sapu tangan batik warna-warni, pramuniaga itu kembali padaku. Kami mengambil
sapu tangan yang sama. aku mempersilahkannya
duluan. Lalu dengan penuh hormat mengambilkan sapu tangan yang kuinginkan tadi
lalu memberikannya padaku. Belum habis kebingunganku, ia menambahnya lagi dengan
mengatakan,
“Ini
hadiah dari Mbah Kantil, tidak sangka Mbak menyukainya juga”
Aku
termenung sesaat mencerna apa maksud ucapannya. Kulihat ke bawah Mbah Kantil
masih khusyuk dengan batikannya, kulirik lagi sapu tangan batik berwarna biru muda
berlukis air dan taburan bunga kantil di tengahnya ada serupa burung merak di
kedua sisi nya, pinggiran birunya di lukis bergelombang seperti riak air di
sungai Mahakam. Air adalah namaku dan Kantil namanya. Aku menghela nafas
pendek, sambil kumasukan sapu tangan itu ke saku mantelku. Aku kembali turun
menemui Mbah Kantil. Aku bersimpuh disampingnya. Dia menoleh padaku, mata kami
saling memandang. Beliau orang pertama yang kutemui di tanah Jawa ini. Aku
beruntung mendapat sambutannya. Perlahan ia menyeringai menunjukan gigi
merahnya yang dipenuhi sisa daun sirih, jari-jari keriputnya membelai rambutku
yang coklat kemerahan.
“salamat
dumah Danum…”
Aku
kaget bukan main sampai kulepaskan seketika itu juga belaiannya. Tubuhku
sedikit memberi jarak. Apa tak salah yang kudengar dan kulihat. Apa aku
berhalusinasi barusan. Mbah Kantil mengucapkan selamat datang padaku dalam
bahasa Dayak Kenyah dan ia menyebut namaku dengan jelas. Bulu kudukku naik
semua. Nafasku tersengal padahal aku masih ditempat yang sama tak berlari
kemana-mana. Sadar tak sadar raut wajahku berubah takut. Dia masih menatapku
tanpa melepas senyum magisnya. Aku berusaha tenang. Dia terus menatapku dalam.
Aku merasa sesuatu merasuk lewat tatapan matanya yang tajam. Lama kami saling
terdiam, aku berusaha menguasai diri.
“terima kasih hadiahnya…aku sangat
menyukainya…”
Kuucapkan
terima kasih dengan berusaha tenang. Mbah Kantil mengangguk pelan. Aku meraih
tangannya yang renta dan menciumnya
sebagai rasa hormat. Aku memeluknya barang sesaat. Tubuhnya yang mungil di
penghujung usia masih hangat mengalir ke batinku. Entah kenapa aku merasa
tengah memeluk Pu’i (nenek) yang telah lama tiada. Mataku nanar hampir
menangis. Mbah Kantil mengusap-usap punggungku sangat pelan. Aku beranjak dan
berpamitan. Sebelum menjauh dari toko, aku kembali menoleh padanya, Tapi kulihat
Mbah Kantil sudah kembali membatik. Aku berjalan meninggalkan toko batik penuh kesan magis itu,
anehnya aku justru merasa Mbah Kantil sedang menatap kepergianku sekarang.
Aku
melanjutkan perjalanan panjangku menyusuri jalan-jalan di kota Jogja, naik andong
sampai kutemukan alamat yang ada dalam secarik kertas lusuh yang ku sembunyikan
di dalam wadah gincu merahku selama dua tahun ini. Menyusuri sebuah pemukiman
sepi. Langkahku berakhir di depan sebuah bangunan berpagar besi hitam rapat.
Tak ada yang dapat kulihat dari luar kecuali angka besar ‘44B’ . kutengok lagi kertas lecek di tanganku, kucocokan dan
ternyata ini tempatnnya. Tujuanku jauh-jauh dari Apau ping yang penuh
pengharapan. Aku berusaha mencari cara agar tahu
bagaimana caraku masuk. Barangkali orang akan mengira aku hendak mencuri karena
melihat gerak-gerikku yang mencurigakan. Belum sempat kutemukan caranya seorang
lelaki berbadan tegap, berpakaian serba hitam muncul dari balik gerbang.
Tubuhnya tinggi tegap, dengan rambut cepak rapi, dengan gestur yang sama
seperti yang sering kulihat dari diri prajurit yang sering membantuku di Apau
Ping dulu.
“ada yang bisa dibantu ,Mbak?”
tanyanya.
Aku
menyodorkan kertas yang sedari tadi erat kupegang. “benar ini alamatnya Pak?” Lelaki
itu tak menjawab malah menatapku serius. Seperti bertanya ‘siapa kamu’ di pikirannya.
“saya cari Laras.. Larasati Chandra
Artikarini”
Lelaki
itu masih terlihat ragu, tapi ia bersedia menyuruhku menunggu saat kusebutkan
nama panjang Laras. matanya masih menyimpan kecurigaan, aku tahu.
“tolong sampaikan saya dari Apau
Ping”
Lelaki
itu mengangguk kecil, menyuruhku menunggu sebentar di luar. Saat menunggunya
segala resah berkecamuk di batinku. Aku takut Laras tak mengenaliku atau bahkan
menolak kedatanganku. Kuputarkan badan 180 derajat melihat sekeliling, ujung-ujung
jalan sepi yang kutemukan, aku berusaha menghilangkan keresahan di hati.
Kulihat tak sengaja sebuah benda bulat hitam di pojok atas gerbang. Aku tak
tahu apa itu, tapi entah kenapa menarik perhatianku. Tak lama kemudian pintu gerbang terbuka.
Lelaki tadi kembali dengan senyum kaku di bibirnya.
“silahkan..Mbak Laras menunggu di
dalam! ” katanya penuh hormat.
Aku
agak bingung dengan perubahan sikapnya yang sangat cepat. apakah yang terjadi
di dalam barusan. langkahku terayun berada tepat di belakang punggungnya.
Melintasi pagar tinggi yang pertama kali kutemui adalah sebuah ruangan kecil,
dengan sebuah bangku dan tivi diatas mejanya, yang membuatku terhenyak adalah gambar yang ada di tivi tersebut adalah
aku beberapa detik yang lalu dan segala hal yang kini terjadi diluar gerbang. Oh…Tuhan,
aku mulai sadar pasti sejak tadi gerak-gerikku terekam disana. Melangkah lebih
dalam aku disajikan sebuah pekarangan yang luas dengan rumput hijau yang bersih
terawat, sebuah pohon mangga besar di samping kanannya. Bebatuan kali terhampar
di antara rumput hijau sebagai pijakan kami berjalan, sangat asri dan alami. Semerbak
wangi mawar putih yang tengah mekar di pohon setinggi badanku menari-nari di
hidung memberi aroma terapi alami yang menenangkan. Di hadapanku sebuah bangunan
belanda dominan putih dengan gambler roof yang khas. Teras rumahnya dilingkar balkon pendek yang
simetris. klasik dan bercita rasa. Sentuhan tangan wanita yang elegan
terlihat dengan ditempatkannya pot besar berisi anthurium yang daunnya menjulur
lebar-lebar. Sungguh sebuah rumah homey feeling, memberikan ketenangan dan kenyamanan
penghuninya. Aku mendekat ke pintu, belum sempat kuucapkan salam.
“Danuumm….!!!”
dengan
suara sedikit memekik seorang dara menyongsong dan berteriak menyebutkan
namaku. Bola matanya yang bulat terbelalak melihatku berdiri di hadapannya.
Mulutnya menganga terbuka lebar saking terkejutnya, lalu
ditutupnya sendiri oleh jari-jarinya yang kulihat begitu cantik dengan hiasan
kutek merah muda. setengah berlari ia menyambutku penuh sukacita. Dia memelukku
erat. Sangat erat hingga aku hampir sulit bernafas.
“assalamualaikum…”
ucapku pelan saat kami berpelukan.
“waalaikum salam…” jawabnya sambil
mengelus rambutku.
Sahabatku Laras.. kini mukanya makin tirus,
hidungnya terlihat lebih mancung dari yang kutahu tiga tahun lalu, rambut
kriwilnya masih sama pendek sebahu. Ia terlihat makin cantik menawan. Dilehernya
mengalung sebuah benda berwarna merah dengan bulatan-bulatan besar di kedua
ujungnya (belakangan aku tahu namanya
headset). Ia mengenakan stelan baju tidur bergambar Doraemon, aku ingat dulu ia
bilang itu kartun kesukaannya. Gadis manis ini sahabatku dulu saat SMA.
Orangtuanya mengabdi di pedalaman
Kalimantan, ayahnya pemimpin komando tentara
penjaga perbatasan Indonesia-Malaysia. Dia gadis yang manis dan baik hati. Pemikirannya
kritis dan cerdas hingga aku selalu terdoktrin dengan setiap
pandangan-pandangannya soal perempuan dan perubahan. Terlahir di keluarga
terpandang dan berpendidikan juga kemampuannya yang jauh maju dibanding kami
anak-anak pedalaman, Laras sungguhlah beruntung bisa dengan mulus mewujudkan
setiap mimpi dan ambisinya. Sedang aku sampai hari ini masih meraba keajaiban
dalam garis nasibku.
“Danuuum…”
sebutnya
lagi lebih terdengar digelayuti rindu yang menumpuk. Kami sama-sama terharu. Setelah
melepaskan pelukannya, ia mengajakku masuk. Aku duduk di sebuah sofa empuk berwarna
beige, melingkari sebuah meja kaca bening dengan sebuah vas bunga berbahan
kristal diatasnya. Terdapat empat bunga tulip kaca warna-warni di dalamnya. Sungguh
sentuhan tangan seorang wanita berkelas dalam sebuah rumah seorang komandan
militer. Kemewahan yang tak kulihat di Apau Ping bahkan diantara tumpukan
kekayaan Tuan Bagau sekalipun. Oh…Amei… aku
menggeleng kepala memanggil bapak menemui kenyataan ini. Laras kembali sambil
membawa secangkir teh manis hangat dan sebuah wadah kotak bening di tagannya.
Ia meletakkan minuman dan kotak berisi cake merah dengan cream putih menumpuk tepat
di hadapanku. Ku bayangkan rasanya enak sekali. Sejak pagi baru sekali aku
bertemu makan, tapi keinginan untuk menyantap makanan kalah dibandingkan
keinginan untuk segera menemukan alamat rumah Laras. Laras duduk disampingku
melipat kedua kakinya diatas sofa. Ia tak berubah masih seperti yang kukenal
dulu. Cuek apa adanya. Aku sangat beruntung mengenalnya.
Dalam
tiga tahun ini aku hanya tiga kali berkomunikasi dengannya. Yang pertama
kutitipkan surat kepada tentara yang dulu hendak pulang ke Jawa, saat
menitipkannya aku hanya berdoa pada Tuhan agar tentara itu akan amanah dengan pesan yang kutitipkan untuk putri
atasannya. Karena disanalah satu-satunya harapanku. Isi pesanku pun ak bisa
panjang-panjang menjaga agar Tuan Bagau tak sampai mengetahuinya. Hanya berisi dua
kalimat.
Laras, I’m too forced to marry a
old man whom 60TH years more older than me. He’s traditional Leaders
and rich man here. What should I do? Give me
a clear way of your intelegence.
Aku
hampir memilih mati dan tak percaya pada harapan karena setahun berlalu tanpa
balasan. Tak kusangka di sebuah sore seorang prajurit menghampiriku di tepi
sungai Bahau saat aku tengah menanti ketinting (perahu kecil yang memanjang
alat transportasi satu-satunya di Malinau). Ia memberikan sepucuk kertas. Aku
sempat lupa wajahnya. Tapi ia kemudian mengingatkan tentang surat yang ku titipkan
pada seorang prajurit setahun lalu. Ia baru saja kembali bertugas disana dan harapanku
masih ada. Di atas batu batu besar di aliran sungai Bahau kubuka sepucuk surat
kiriman jauh dari seberang pulau. Isinya tak ada yang lain selain sebuah alamat
yang terletak di kota Jogjakarta. Tertulis nama ayah Laras di atasnya. Air mataku pecah di tepi sungai Bahau yang
bening. Gemericik airnya tak mampu meluputkan isak angis yang keluar dari
bibirku. Laras mengirimkan keberanian untuk keluar dari tempat menyedihkan itu.
Aku yang hampir pasrah menemukan harapan baru. Sebagai anak seorang komandan tentara ia dituruni bakat berfikir taktis dan memikirkan resiko yang
akan terjadi seperti ayahnya. Prajurit itu tetap menjagaku sampai aku berhenti
menangis dan ketinting datang. Aku kembali ke rumah tanpa sempat mengucapkan apapun padanya.
Mengakhiri
penderitaanku di tangan Tuan Bagau tak semudah membalik telapak tangan. Waktu terus
berlalu penuh kegetiran, penghujan dan kemarau bergantian terlewati, aku masih belum
menemukan jalan untuk bisa melarikan diri. Semua jalan terasa buntu. Begitu
rapat dan kuat segala ‘pagar’ yang dibuatnya. Hingga butuh campur tangan Tuhan
dan semesta untuk mewujudkannya.
Pesan
kedua dan ketiga hanyalah kata-kata Soon,
Laras!! By:Danum yang kutitipkan
pada prajurit yang sama di tempat yang
sama agar ia sampaikan pada Laras lewat ponselnya. Itupun kusampaikan diam-diam ketika
kami tak sengaja bertemu, saat aku dan Tuan Bagau hendak berangkat ke kota Tarakan untuk
membeli kebutuhan sehari-hari. Banyak yang ingin kusampaikan tapi aku takut
sekali Tuan Bagau akan curiga. Ia punya mata dan telinga amat tajam.
“kamu
gak papa???” tanya Laras
Pertanyaannya
meleburkan semua lintas ingatanku. Aku tergagap tak bisa berkata-kata. Ia
menggenggam tanganku, raut wajahnya cemas. Tak bisa kutahan air mataku
berjatuhan. Entah kenapa seperti mereka ingin keluar sendiri tanpa kompromi
terlebih dulu. Teringat segala penderitaan yang telah kualami. Dia memelukku
lagi. Aku lega telah sampai disini. Tempat baru dimana akan kubuang identitas
lamaku bersama kisah pahit yang mengiringinya. Lama kami tak bicara hanya sama-sama
menangis, lalu Aku menyeka airmata bertanya soal ayah ibunya. Laras mengatakan ayah
ibunya baru saja berangkat ke Jakarta bersama adiknya. Aku terkejut Laras punya
adik. Adiknya baru 9 bulan. Kami
sama-sama tertawa tak percaya. Dengan hati-hati Laras bertanya apa aku sudah
punya anak. Aku menggeleng. Aku pernah dua kali mengalami keguguran saat kandunganku
masih sangat muda. Menurutku itu pertolongan Tuhan. Laras tak berkomentar, aku
tahu ia tak sependapat dengan yang kukatakan.
“Tuan Bagau??? ” tanyanya dengan
mata membesar penuh tebakan.
Aku
agak terkejut karena ia menyebutkan nama itu. Karena aku tak pernah sekalipun
menyebut namanya. Laras tahu isi kepalaku, ia mengatakan tentara yang
memberinya surat menyebutkan nama lelaki tua yang menikahiku. Aku mengangguk
mengerti.
“sudah mati” Jawabku sinis dan
dingin. Laras spontan menaikkan alisnya tanda ia agak
kaget dengan jawabanku yang tajam dan kasar. Tapi ia berusaha menutupinya dengan mengalihkan pembicaraan.
“okkey…pasti
kamu cape...kita istirahat aja yuk.. banyak waktu, kita bisa cerita lagi nanti..
yah??” ajaknya sambil beranjak dari duduk.
yah??” ajaknya sambil beranjak dari duduk.
Ia menggandeng lenganku manja, mengantarku
ke sebuah kamar besar berpendingin ruangan dengan tempat tidur berwarna serba putih yang cukup besar. Ia
bertanya apa aku perlu ditemani tapi aku menggeleng kepala. Laras memelukku mengatakan sudah lama ia menungguku. tak lama ia kembali
ke kamarnya.
Aku
masih terjaga meski jam di dinding kulihat menunjukan menjelang dini hari, ku
pejamkan mata meski tetap tak bisa tidur. Terbayang wajah Amei dan uweq. Amei
yang malang… jauh di lubuk hatiku yang kasihan aku mengolok-oloknya nasibnya
sekarang ini. Nyatanya menantu kebanggaanya itu meninggal tanpa memberinya
sepeser pun harta atau sejengkal saja tanah warisan. Ia dan semua harta
peninggalannya telah habis terbakar bersama perempuan nakal yang dibawanya dari
Malinau. Aku ingin menyalahkan Amei atas
segala kesedihan dan penderitaan yang kudapatkan dari Tuan Bagau. Tapi aku tak
mampu berkelit dari kenyataan kalau dia melakukannya karena lelah bercengkrama
dengan kemelaratan sepanjang hidupnya. Terlalu rindu ia pada kemewahan, dan berharap
segera didapatnya dari seorang Tuan Bagau, tetua adat dan orang terkaya di
desa, padahal kekayaannya tak seberapa bila Amei terbuka melihat dunia luar.
Disini bahkan semua itu belumlah seberapa nilainya. Dia yang tak pernah sekolah
ingin melawan takdir, tapi ia tak tahu caranya yang benar. Dan aku yang
seharusnya mengangkat keluarga, tak mampu meyakinkannya menunggu beberapa tahun
lagi sampai kuliahku selesai. Aku tak mampu memaksanya lagi saat sebuah belati tajam
terhunus di leher Uweq. Aku tahu betul itu bukan gertakan, Dia akan tega
membunuh wanita yang telah memberinya anak itu bila aku sebagai anaknya tak mau
menuruti perintahnya menikah dengan Tuan Bagau. Lelaki tua yang picik itu mengiming-imingi amei
setumpuk harta bila aku bisa diperistrinya. Sudah tak terhitung berapa perempuan
dikawininya. Kelakuannya yang macam
binatang membuatku mencoba gantung diri tapi selalu ada yang menemukanku di
hutan. Bahkan saat mengalami keguguran kupikir hidupku akan selesai nyatanya
Tuhan masih menggodaku dengan kenyataan aku baik-baik saja menurut mantri.
Aku
bertanya pada Tuhan kenapa ia begitu mempertahankanku di dunia, sedang aku tak
menyukai apa yang telah digariskannya dalam buku nasibku. Aku terlahir di zaman
setiap orang berkoar tentang hak dan kebebasan, tapi hidupku berasa jauh dari narasi yang ku
dengar dari mulut guru SMAku dulu. Tapi si tua bangka itu telah berada di tempat
seharusnya. Aku puas telah melihat akhir hidupnya. Tak perlu kukotori lengan
ini dengan mengakhiri hidup salah satu diantara kami, Tuhan telah menunjukan campur
tangannya. Aku mengambil kesempatan ini untuk kabur dari rumah dan desa Apau
Ping. Semoga Amei tidak gila dengan semua kenyataan yang ditemuinya hari ini. Kehilangan anak dan
harta yang diimpikannya.
Kukumpulkan
segala keberanian menghadapi sebuah awal perjalanan yang berat, di tengah malam
menyusuri hutan belantara, bersama seorang prajurit aku melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran
keluarga. Pagi masih buta kami sudah
tiba di tepi sungai Bahau lalu naik ketinting menyusuri Bahau hulu yang hari
itu cukup deras alirannya. ber jam-jam lamanya menuju bahau hulu, disana kami menunggu sebuah pesawat
kecil hanya berkapasitas 4 orang menuju Malinau. Beruntung cuaca cerah perjalanan berlanjut ke Tarakan, karena hari telah sore pesawat ke balikpapan sudah tidak ada. aku bermalam di Tarakan seadanya. Esoknya lalu aku menuju kota Balikpapan dan terbang ke Jakarta lalu naik kereta ke Joagja. Sebuah
perjalanan panjang yang tidaklah mudah. Apalagi bagi seorang perempuan muda
sepertiku, tapi hal terpahit sudah pernah aku lewati, tentu ini tak ada apa-apanya, aku
bertekad ini harus kulakukan demi sesuatu yang aku sendiri belum terpikirkan.
Aku
sangat berhutang budi pada seorang prajurit bernama Rian, kami tak pernah saling bertukar nama, tapi aku tahu dari papan nama yang terjahit di baju lorengnya. Dia menemani sekaligus
menjagaku sepanjang perjalanan berat dari Apau Ping hingga Balikpapan. Aku merasa seperti sebuah misi khusus baginya, adalah tugas dan misi nya untuk
menyelasaikan dengan sempurna. kami tak banyak bicara sampai sesaat aku akan terbang dari Balikpapan ke Jakarta ia mengatakan semoga aku
bahagia setelah ini dan berpesan agar aku menjaga diri. Untuk sesaat kami
saling memandang, dia memberi hormat padaku. Aku terkesan dengan tanggung jawab
dan perhatiannya. Seandainya aku tak trauma dengan laki-laki barangkali aku
akan jatuh cinta lagi, tapi hatiku keburu menghitam dan dingin karena dua
lelaki terdekat dalam takdirku semuanya hanya menorehkan rasa benci dan dendam.
Tak ada yang sempat kuucapkan padanya selain kata terimakasih diiringi setetes air mata
yang tiba-tiba saja meluncur dari sudut mata ini. Kami pun berpisah di Balikpapan.
Entah
kapan mulainya aku terlelap bersama setumpuk lelah yang tertahan selama
perjalanan. Esok hari tak ada lagi Danum yang hari ini dan kemarin. Akan kupastikan.
BERSAMBUNG..
Posting Komentar untuk "CERBUNG : Danum dari Apau Ping (1) Oleh Rafahlevi"