Sejak kedatangannya yang mengejutkan
malam itu kerumah, kupikir tak akan kutemui hari ini. Aku merasa malam itu kepercayaan
diri Ari terlalu frontal dan akan memantik kemarahan ayah. Tapi ternyata
pikiranku salah. Setelah Laras ikut keluar denganku ia malah mengundang Ari
turut makan malam bersama keluarga kami. Suasana di meja makan tak setegang
yang kubayangkan, Ari pandai mencari topik pembicaraan yang membuat ayah
tertarik menanggapi, ia piawai mengambil perhatian orang di sekelilingnya dalam
pertemuan pertama. Itu hebat.
Sore ini masih terlihat cerah meski
matahari mulai meredup sinarnya menjelang senja. Sejak dini hari hiruk pikuk sudah
terlihat di rumah, bahkan mulai dari beberapa hari yang lalu. Orang-orang
dengan serius mempersiapkan acara besar dan penting ini. Seisi rumah sibuk
dengan tugas dan urusannya masing-masing. Mobil iring-iringan pengantin dan motor
Patwal bersiap di depan gerbang. Tenda putih besar menjuntai di atas taman
pekarangan depan rumah. Diujung jalan melengkung janur kuning yang diukir
begitu indah. Aku masih berdiri di depan jendela kaca, dengan riasan flawless
yang cantik berbalut kebaya lavender, aku hampir terpesona menatap diriku
sendiri di cermin.
“Sara… ”
Aku
menengok ke pintu, Laras datang dengan senyum terkembang. Kami berpelukan
sangat erat.
“kamu cantik banget…” katanya sambil memegang
daguku.
“gak
ada yang menyaingi pengantin” jawabku sembari melempar senyum.
Laras
tersipu malu-malu. Matanya berbinar dan pipinya merah merona diatas blush on
pink. Dia nampak sangat gugup. Tangannya menggandeng lenganku, mengajak bersiap
berangkat. Gandengannya tak terlepas hingga tiba di gedung pernikahannya. Laras
begitu bahagia bersanding dengan pria yang membuatnya jatuh cinta pada
pandangan pertama, mungkin inilah jodoh. Tak kusangka Ari akan menjadi penakluk
hati Laras. Melihat Laras bersanding di pelaminan dengan Ari aku baru sadar sakit
rasanya patah hati. Kuhela nafas pendek-pendek karena sesak tiba-tiba saja mendera
di dada.
Tadi
malam aku menemani Laras di kamarnya, mengobrol dan bercanda sebelum hari ini Laras menjadi ratu sehari. Semalaman
panjang lebar Laras berkhutbah soal hati dan cinta. Berfatwa agar aku segera
move on dari trauma. Membuka hati untuk seseorang agar aku tak melulu sendiri. Laras sayangku…andai ia tahu perasaanku
saat ini. Baru saja kutemukan harapan baru itu dari Ari, lelaki yang sudah dua
tahun belakangan ini menemani hari-hariku, memberiku perhatian dan melakukan hal-hal
yang manis dan tak terduga. Ari selalu bisa membuatku nyaman dan tertawa saat
berada di dekatnya. Dia tak pernah absen menemuiku di kampus meski hanya
sekadar mengantarkan sebungkus roti sandwich yang dibelinya di restoran siap
saji dekat kampus. Ari tak pernah menuntut apa-apa, ia tak pernah membuatku
terbebani status hubungan kami. Kepadanya kuberanikan diri pertama kalinya mencintai
seorang lelaki.
Tapi
sungguh aku tak memiliki kekuatan untuk mempertahankan apa yang sedang kunikmati
saat Laras mengatakan ia jatuh cinta pada Ari. Bagaimana mungkin aku mampu
egois menahan Ari setelah banyak hal yang Laras berikan selama ini. Ari marah
saat kusampaikan ini padanya, aku tak punya pilihan lain. Aku sedih karena
cinta pertamaku tak happy ending, mungkin sudah nasibku. Tapi aku lebih
menderita jika harus kehilangan Laras dan keluargaku. Aku berpikir ini hanya
hadiah kecil Tuhan yang terlewatkan. Semua akan terlewati lebih baik dari hari
ini setelah aku berhasil menjadi dokter dalam hitungan beberapa bulan lagi. Luka
patah hati itu akan sembuh dengan sendirinya.
Kutenggelamkan
diri dalam arus deras kesibukan. Lumayan mengobati kesedihanku ditinggal kawin
cinta pertama. Beberapa lelaki yang kukenal dan tidak kukenal datang dan intens
mendekati tapi aku tak bergeming. Aku justru asik hidup sendiri dan apatis
pada komitmen dan percintaan. Dan Saat hari besar dalam hidupku itu tiba, semua
mahasiswa datang dengan bangga diantar orangtua bahkan sanak saudaranya, aku
hanya melenggang seorang diri memasuki auditorium yang besar itu. Hatiku
berkenyit pedih setitik airmata jatuh diatas riasan pipiku yang pink jambu.
Saat namaku disebut aku berjalan sambil menatap pintu masuk yang sudah tertutup
rapat berharap masih ada sedetik waktu tersisa untuk orangtuaku hadir di moment
bersejarah dalam hidupku ini. Tapi pintu tak juga terbuka, disini aku sadar aku
hanya seorang diri, bagaimanapun baiknya mereka, aku tetaplah orang asing bukan
anaknya. Bukan siapa-siapa. Ku gigit bibir bawahku yang bergetar karena tak
kuasa menahan tangis. Rektor memegang tali toga yang hendak di pindahkan ke
sebelah kanan, sebuah cahaya besar menyorot ke seluruh ruangan, Ayah dan Bunda
berdiri di pintu belum sempat mereka duduk, dlihatnya aku sudah di podium dan
diwisuda. Airmataku berderai tak henti-hentinya. Turun dari panggung langsung
ku hampiri mereka. Aku memeluk keduanya sambil menangis sejadinya, aku sangat
takut mereka takkan hadir hari ini, meskipun aku tahu alasan dibaliknya. Seminggu
menuju wisuda kudengar dari Bunda, Laras masuk rumah sakit, ternyata ia sudah
hamil namun ada miyom di dinding rahimnya dan kandungannya lemah. Aku sangat
cemas, aku berharap Laras kuat dan bayinya akan tetap tumbuh dengan sehat.
“apa kamu pikir kami tidak akan
datang?” tanya Ayah
Masih
memeluk mereka aku mengangguk terisak. Bunda mengusap pundakku sambil berbisik
memanggilku “sayang...”. dia mengusap
air mataku, menyeka dengan tisu mengatakan minta maaf karena datang terlambat.
Aku menggeleng kepala menangis, menolak permintaan maafnya. Karena tak
seharusnya mereka meminta maaf. Saat keluar gedung, lagi… aku mendapat kejutan. Ada Laras dan Ari disana,
menyambutku dengan rangkaian bunga yang sangat besar dan cantik. Aku langsung
memeluk Laras, kuelus perutnya yang sedikit membuncit dan bertanya bagaimana
keadaannya. Laras mengatakan ia sehat dan baik-baik saja. Laras sewot
karena Pak Gatot mengatakan padanya aku bersedih tadi pagi karena berangkat
wisuda seorang diri. Laras bertanya kenapa aku bisa berpikir mereka tidak akan
ada disini. Aku terdiam dan menangis begitu terharu dengan hatinya yang tak
pernah berubah. Kami lalu tertawa bersama.
Tak lama kulihat wajah Laras kembali
memucat, aku buru-buru mengusulkan agar semua segera membawanya lagi ke rumah
sakit. Aku takut ada apa-apa. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri bila
sesuatu yang buruk terjadi karena Laras datang ke wisudaku hari ini. Semua
mengikuti saranku, mereka langung ke rumah sakit, tak lupa ayah menelepon
patwal agar dimudahkan dalam perjalanannya. Aku masih di halaman kampus.
Berbaur dengan teman-temanku yang lain. Mengenang masa-masa kami kuliah.
Rasanya baru kemarin ikut OSPEK MABA tapi hari ini sudah wisuda lagi. Suasana
wisuda bertambah crowded ketika tiba-tiba sebuah mobil barakuda masuk ke
tengah-tengah kerumunan wisudawan dan memecah keramaian, selebrasi luar biasa
dari anak-anak fakultas teknik yang memang didominasi kaum adam. Riuh rendah sorakan
dan tepuk tangan bergemuruh meramaikan suasana ketika salah satu mahasiswa yang sudah
6tahun kuliah akhirnya berhasil diwisuda hari itu, ia dinaikkan dan diarak diatas barakuda bersama teman-temannya. Aku turut menikmati kebahagiaan yang sama.
usai lelah dengan segala perayaan, Aku memutuskan pulang bersama 4 orang teman
lainnya menggunakan mobil jeep milik salah satu dari mereka. Aku menelepon Pak
Gatot agar tak perlu menjemputku ke kampus. Aku ingin ikut merasakan euphoria kelulusan yang
agak berani kali ini.
Antan patah Lesung hilang begitulah
pepatah lama yang pantas disematkan padaku setelah hari ini. Aku yang malang
tak henti-henti di timpa musibah terus menerus. Di sebuah tikungan tajam yang
menanjak sebuah mobil minibus antar daerah dari arah berlawanan melaju sangat
cepat karena mengalami rem blong menghantam mobil jeep biru tua yang kami
kendarai. Jeep oleng, berputar-putar ke sebelah kanan dan menerobos ke jurang. Aku yang duduk di
jok belakang terbanting bersamaan dengan tergulingnya mobil, aku terus
merangsek berguling tanpa kendali melewati ranting-ranting dan semak belukar
yang rapat. Pecahan-pecahan kaca menusuk perih disana-sini. Kakiku rasanya
sakit begitu dahsyat saat bagian belakang jeep menindih, tak tergambar rasa
sakitnya hingga aku tak mampu berteriak meminta pertolongan. Setengah sadar
kudengar teriakan-tariakan menjerit histeris, tak ada lagi yang kelihatan setelahnya
selain abu-abu dan kemudian menghitam gelap.
Kubuka mata perlahan dengan berat
dan lemah. Sakit terasa entah disebelah mana rasanya terlalu sakit dan hampir
seluruh tubuhku rasanya hancur. Samar bayangan yang kulihat, tak jelas semuanya.
Entah aku masih hidup atau sudah mati sekarang ini. Aku melihat Amei melihat
Uweq dan juga Pui…dia memanggilku tapi dengan nama yang baru. Sara…
dengan daya yang tersisa ku buka lagi mata, meski masih kabur aku melihat
ayah menyebut nyebut namaku. Dalam kabut kulihat bunda, Laras dan Ari berdiri
mengelilingiku. Aku tak ingat apa-apa lagi. Tak kuat tubuh ini menahan rasa
sakit yang terlalu hebat.
Entah berapa lama aku butuh waktu
untuk kembali tersadar. Tapi rasanya aku cukup lama berada di ranjang. Aku
berusaha mengumpulkan semua kekuatan agar bisa membangunkan diriku sendiri dari
tidur panjang ini. Rasanya berat tapi ada sesuatu yang ringan yang lain yang kurasakan tak tahu sebelah mana itu. sekuat
tenaga akhirnya aku berhasil menopang tubuhku sendiri untuk sekadar bergerak
dalam keadaan yang tak jauh berubah. Tapi tiba-tiba jantungku berdegup cepat, mataku
yang kecil mulai membesar dan menatap tajam pada satu titik. Aku merasakan
sesuatu yang lain di balik selimutku, kugerakkan kedua kakiku dengan sangat pelan.
Badanku gemetar saat kurasakan kakiku tak bersentuhan. Darahku berdesir
mengalir deras terasa hangat sampai ke dada. Tanganku yang masih lemah
menyingkap selimut warna biru muda itu.
Tangisku pecah saat kudapati sebelah
kakiku sudah tak ada. Dengan tangis yang terbata aku beranjak dari tempat tidur,
mencoba memijakkan kaki di atas marmer yang dingin. Aku benar-benar tersadar
hanya ada satu kaki yang menyentuh lantai, seketika itu pula tubuhku ambruk di sisi
ranjang yang kokoh. aku menjerit histeris karena tak bisa berdiri.
“Sara…!!!”
Ari
berlari dari balik pintu meraih tubuhku yang tersungkur tak berdaya di lantai. Sambil
menangis aku terus bertanya tentang kakiku tanpa mendapat satupun jawaban dari
mulutnya. Ia pasrah membiarkanku yang histeris terus memukuli bahkan sampai
mendorong badannya. Ari berusaha mengendalikan kondisiku yang syok berat. Dia memelukku
erat. Tangannya mengusap rambut panjangku pelan. Ia berusaha menenangkanku.
“your tears is my sickness ”
bisiknya di balik rambutku.
Aku
tak berhenti menangis dalam pelukannya. Sejenak aku lupa dimana Laras dan yang
lainnya.
“aku akan ngejaga kamu..” katanya
lagi.
Tubuhku melemah, pergelangan tanganku berdarah
karena jarum infus yang terlepas paksa. Aku kembali terkulai pingsan dipangkuan
Ari.
Aku hampir tak percaya apa yang
kualami kali ini. Menangis dan bunuh diri tak akan mengembalikan apapun yang
telah terjadi. Setiap hari kulewati tanpa harapan dan semangat seperti dulu.
Tak ada alasan apapun rasanya untuk aku bangkit menjalani hidup di depan mata.
Aku merasa diriku sudah sekuat baja melewati tiap cobaan hidup tapi kemalangan
tak mau berhenti menghantui seperti sebuah kutukan. Harus sekuat apalagi kah
aku hidup sebagai mahluk Tuhan di muka bumi ini. Sedang sesungguhnya aku hanya
seorang diri disini.
Aku bahkan pasrah tak berekspesi
ketika ayah dan koleganya seorang dokter memberi kabar aku telah dibuatkan kaki
palsu agar aku bisa beraktifitas seperti sedia kala. Aku tak mengatakan apapun.
Raut wajahku tetap datar tak memancarkan binar suka cita saat mendengarnya. Aku
hanya duduk lagi di kursi roda memandang keluar jendela. Menatap langit yang
luas dan tak berbatas.
“jangan disitu terus.. jangan bikin
orang takut kamu terjun bebas ke bawah..”
Aku
tahu suaranya, itu Ari. Dia mencoba menggodaku dengan kelakarnya agar aku bisa
tertawa atau sekedar menyunggingkan senyum. Aku tak bergeming. Aku takkan
memilih mati semudah tebakannya itu. Ari berdiri di depanku, tapi aku tak
meliriknya.
“liat..!!
langit itu biru dan cerah… nanti sore mungkin kelabu dan gelap. Tapi langit
tetap luas…tak berbatas…”
Aku
terhenyak mendengar kata-katanya, kupalingkan wajahku kearah yang lain. Aku
tahu Ari sedang berusaha membangkitkan semangatku yang lama tenggelam.
“sama dengan kesabaranmu Sara… luas
dan tak berbatas.. ”
Aku
hampir berbalik memandangnya tapi Laras kemudian masuk. Ia memelukku dari
belakang.
“what’s your feeling today??”
tanyanya sambil berputar kedepan.
Aku
tersenyum melihat ia dengan perut yang mulai bertambah besar. Laras menggenggam
tanganku, ia memintaku kembali bersemangat menjalani hidup sekuat Danum. Ari
mengerutkan dahi mendengar nama Danum. Ia pasti asing dengan nama itu. Laras
kemudian berdiri disamping suaminya sambil berpegangan tangan didepanku ia
mengatakan akan kembali ke Milan dan tinggal cukup lama. Aku terkejut
mendengarnya. Laras akan membuka toko butik disana dan Ari akan melanjutkan
s2 di kota yang sama. aku turut senang mendengarnya.
Meski diawali rasa tak nyaman aku
yang telah berjanji akan kembali semangat pada Laras menjalani kegiatan
sehari-hari dengan kaki palsu. Sepintas orang akan hanya melihatku sebagai
seorang dokter muda yang cantik dan juga pintar. Sempurna sebagai rollmodel masa depan yang cerah di bayangan anak kecil. persis sama seperti yang kualami dulu saat melihat dokter ada di Apau Ping. Setiap pasien yang datang
membawa anak perempuannya selalu mengatakan pada anaknya
“tuh…kalo sudah besar kaya dokter Sara, cantik…dan
pinter…”
Aku
hanya tersenyum mendengarnya. Semua yang kulewati tak mudah. Tapi aku masih
punya banyak hal lain yang harus disyukuri dan diperjuangkan. Sebagai dokter
banyak yang menanti ‘tangan ajaib’ ini mengobati rasa sakit mereka. Aku
menjalani hari-hari yang menyenangkan setiap hari berjas putih duduk dibalik
meja, bertemu dan memeriksa macam-macam sifat dan karakter manusia. Dari yang
bayi hingga usia senja. Kaya dan miskin. Tampan dan cantik. Orang biasa hingga
tokoh publik. Semua butuh seorang dokter saat badan mereka memberi alarm sakit.
Hari ini aku cukup kebanjiran
pasien. Sepertinya pergantian cuaca mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat
luas. Perutku mulai memberi sinyal kuat butuh asupan makan siang secepatnya,
kebetulan sarapan pagi ini terlewatkan karena aku bangun kesiangan. Usai sholat
shubuh dan membaca Al-matsurat aku ketiduran lagi. Siang hari yang lumayan terik. Jam di tanganku menunjukkan pukul 11.35, kedua tanganku bersembunyi dibalik saku jas dokter berwarna putih. Menyusuri lorong panjang
rumah sakit, sesekali berpapasan dengan beberapa perawat muda yang memberi salam dan menyapaku dengan hormat.
“Danum..tunggu!!”
Langkahku terhenti sesaat. Seorang pria di belakangku memanggil nama itu. Setelah sekian
lama orang hanya memanggilku Sara. Tiba-tiba hari ini ada yang mengenaliku memanggilku lagi dengan nama itu.
Tapi aku tetap berjalan tanpa kutengok siapa di belakang, berharap sekali aku sudah salah dengar.
“Dokter Danum, tunggu!! ”
Aku
benar-benar berhenti kali ini, pria itu sungguh memanggilku. Kuputuskan berbalik melihat kebelakang.
BERSAMBUNG...
Posting Komentar untuk "CERBUNG : Danum dari Apau Ping (3) oleh Rafahlevi"