Dares,
Tamu yang Tak Diundang
Dia
adalah isyarat. Yang rupanya mampu menyamarkan malam, menyelam kesunyian, dan
menamatkan kehidupan.
----------------
Tak ada lagi yang bisa
terjaga, mereka terlalu asyik bersenang-senang dalam gelapnya malam. Memadamkan
obor yang tegak bersandar di setiap sudut tiang bambu. Tak ada lagi siulan para
pemuda saat gadis dengan tubuh molek berjalan melewati mereka. Atau deru
kendaraan truk pengangkut tebu di jalanan berlubang yang membuat bayi-bayi desa
terganggu.
Dia duduk melemas.
Menatap nyalang seonggok daging yang tidur berbaring tanpa suara. Sementara
gadis itu, ia dengan lelapnya tidur tanpa adanya suatu gangguan sedikitpun.
Meski jiwa nya gelisah. Namun ia acuh.
Seorang raja pernah
berkisah. Suatu kematian adalah hal yang lumrah menghampiri setiap insan.
Kematian adalah sebuah teka-teki. Yang mana bisa saja menghampiri tanpa permisi
dan ijin yang resmi.
Namun, tidak ada kematian
yang berlalu begitu saja. Gejala serta isyarat selalu saja bergilir menyapa.
Entah kepada anak-anak, sanak saudara, bahkan kepada tetangga.
Orang dahulu sering
mengatakan, Burung Dares adalah burung mematikan. Tidak. Bukan karena dia
memiliki taring yang tajam serta racun yang begitu mematikan. Dia adalah
isyarat. Yang rupanya mampu menyamarkan malam, membungkam kesunyian, dan
menamatkan kehidupan.Ngeri.
Siapapun yang mendengar
pasti menggigil ketakutan. Bukan karena mereka yang menolak ajal kehidupan akan
menghampiri. Akan tetapi, siapapun ingin lebih lama menikmati pijakan di bumi ini.
Uang, kekuasaan, dan kenikmatan tiada tara meski hanya sekejab saja.
"Bukalah pintu itu,
biarkan angin masuk. Sungguh disini sangat gerah." Rahman mengeluh sambil
membuka seluruh pakaian di tubuhnya tanpa tersisa di hadapan Rukayah, istrinya.
Rukayah dengan jengkel
membuka pintu yang sudah reyot itu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang
memekakkan telinga. Sungguh ia lelah. Rahman selalu saja meminta ini dan itu
tanpa memikirkan dia yang sudah seharian ini bekerja di ladang pak Samsuri.
"Sungguh aku muak
dengan semua ini, tuhan percepatlah engkau mengambil nyawanya," gerutunya
sambil berjalan menuju dapur.
Terkadang, manusia dengan
mudah berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu. Menggampangkan segala yang
sebenarnya adalah hal yang sulit.
Arrghhhhh
Teriakan pilu terdengar
di balik kamar dengan pintu bercat kuning. Rukayah yang meyakini itu adalah
suara Rahman, segera berlari meninggalkan teh tawar yang dibuatnya di dapur.
"Ada apa?"
Terlihat jelas raut panik yang terpampang di wajah Rukayah.
"Apa kau tak
melihatnya? Sungguh makhluk-makhluk ini menyiksaku."
Rukayah mendekat. Benar
saja. Mahkluk-makhluk itu menggeliat di sepanjang betis suaminya itu.
"Tunggulah sebentar,
biar aku buang makhluk-makhluk itu."
Dalam hati Rukayah
menyesal. Ia memang kesal karena Rahman yang selalu menyusahkan selama enam
bulan ini. Namun ia juga iba melihat sosok yang dulunya gagah kini hanya bisa
berbaring dan mendekam di dalam kamar.
Dengan sabar Rukayah
mengambil satu per satu makhluk kecil yang menjijikkan itu. Terdengar ringisan
tertahan dari mulut Rahman. Sungguh ini sangat menyiksa.
"Mungkin benar
katamu, seharusnya tuhan mempercepat waktunya mengambilku. Ohh sungguh ini
sangat menyakitkan." Rahman frustasi dengan keadaannya ini.
Dulu, Rahman adalah
preman kampung paling ditakuti. Wajahnya yang nampak seram dengan tatto-tatto
garang di sekujur tubuhnya membuat seluruh warga tunduk kepadanya. Bahkan, dulu
Rahman tidak akan segan-segan menghabisi orang yang mengganggu privasi serta
tujuannya.
Seperti hal nya saat ia
hendak melamar Rukayah dulu. Gadis anak kepala desa yang sangat diminati pemuda
di kampungnya.
Gadis pendiam dengan
senyum menawan itu nyatanya mampu dilumpuhkan hatinya oleh Sapari, anak mandor
tebu yang memiliki wajah tampan. Keduanya menjalin hubungan. Membuat semua
orang yang melihat akan merasa iri dengan hubungan yang mereka jalani.
Hingga malam hari tepat
setelah acara lamaran Rukayah dan Sapari, warga desa terlena oleh
hiburan-hiburan yang diadakan kepala desa, ayah dari Rukayah. Bahkan tak
sedikit pemuda mabuk di malam itu saking asyiknya menikmati orkes dangdut yang
diadakan di lapangan.
"Bukankah itu
Dares?" tanya seorang warga yang bertugas berkeliling kampung hari ini.
Seorang warga lainnya
menyorot Dares yang hinggap di atap rumah pak Karim, mandor tebu yang merupakan
bapaknya Sapari.
"Benar, itu Dares.
Lihatlah wajahnya, uhhh sungguh mengerikan. Kira-kira siapa yang akan
meninggalkan kampung ini sebentar lagi?"
"Entahlah."
Benar saja, keesokan
harinya kampung tersebut kehilangan salah satu warganya. Sapari meninggal.
Berita itu membuat geger seluruh warga. Bahkan Rukayah sekalipun tak menyangka
ia akan kehilangan tunangannya satu hari setelah acara pertunangannya.
Rukayah menjadi lebih
pendiam setelah kepergian Sapari. Setiap hari ia selalu pergi ke sungai untuk
merenung. Dan itu berlangsung selama dua tahun.
Hingga Rahman yang saat
itu merupakan seorang preman dengan segala rasa percaya dirinya ia melamar
Rukayah. Tentu saja bapak Rukayah menolak. Namun karena ancaman Rahman ia pun
rela menikahkan putri semata wayangnya itu dengan seorang preman paling sadis
di kampungnya.
Di awal pernikahan,
Rukayah merasa menderita. Ia selalu mendapatkan luka lebam atas perbuatan
Rahman. Hingga lahirlah Maryam, putrinya yang mampu mengubah sikap kasar Rahman
kepada Rukayah.
Mereka hidup dalam
kesederhanaan. Hingga suatu hari Rahman kecelakaan dan menyebabkan kakinya
patah. Bulan selanjutnya Rahman sembuh. Namun dua bulan setelahnya ia merasa
tidak beres dengan kakinya. Setiap malam kakinya terasa panas seolah melepuh.
Yang kemudian diikuti timbulnya borok di sekujur betis kakinya. Sungguh
mengerikan.
"Itulah karma karena
dulu ia sering menendang para pemulung di pasar menggunakan kakinya."
Begitu rumor yang sering beredar di masyarakat terkait borok di kaki Rahman.
Rukayah menatap nanar
Rahman yang saat ini terlelap setelah Rukayah membersikan ulat-ulat kecil yang
tumbuh di betis Rahman yang sudah tinggal separuh, bahkan hampir terlihat
tulangnya.
"Dulu aku memang
jahat, senang membuat sengsara orang yang menggangguku. Tapi percayalah, jangan
pernah kau acuhkan tamu tak di undang itu. Mungkin saat aku tidur, dia akan
datang. Jamu lah dia barang sebentar. Jangan buat dia kecewa di tengah malam
yang dingin ini. Jagalah Maryam, aku tau dia sangat menyayangiku."
Setelah kalimat itu
selesai terucap, Rahman memejamkan matanya membiarkan angin menyapu seluruh
kulit tubuhnya yang tidak dikenakan sehelai benangpun. Ia gerah, begitu
katanya.
Rukayah keluar, hendak
menutup pintu. Namun ia urungkan. Saat mendengar cicitan suara burung hinggap
di atap terasnya. Ia pun keluar. Benar saja. Mata tajam itu menoleh seakan
menyapa atas kedatangannya.
"Tamu tak diundang
itu benar-benar hadir. Dares datang. Dan mungkin aku akan kehilangan lagi,
seperti dulu."
Rukayah mengurungkan diri
menutup pintunya. Seperti kata Rahman, Rukayah harus menyambut tamu tak
diundang itu. Hingga suara teriakan Maryam menggema memecah keheningan malam.
Saat itu lah Rukayah limbung dan jatuh terduduk.
"Inilah
saatnya."
_TAMAT_
Posting Komentar untuk "Dares Tamu yang Tak Diundang "