"Halo, apa kabar?"
"Baik, dan aku selalu berharap seperti ini."
"Tapi kamu asem, belum mandi ya?" Kataku sambil menundukkan kepala ke kanan dan merentangkan kedua tangan.
Kepalaku kembali menghadap ke depan.
"Kaya kamu sudah mandi saja,"
"Apa senyum-senyum, malu ya?"
"Mmm...manis juga senyum aku."
"Oh ya, hari ini mau kemana?"
"Gak, aku gak ada rencana apa-apa,"
"Berarti hari ini hari untuk kita,"
"Kita? "
"Biasa aja kali bibirnya, gak usah menyon gitu,"
"Hahaha...hap, ada yang denger gak, ya? "
"Ah, tenang. Nyokap-bokap dah keluar rumah, adik masih belum waktunya pulang, kok."
"Aku kaya orang gila gak, sih? " aku dekat kan wajahku padanya, namun cepat-cepat aku menarik diri. Dia juga tampak menjauh.
"Lha kamu, kamu ... ah,ngapain sih kamu ngikutin aku?"
"Lha kamu tuh yang menirukan aku," ucapnya seraya mendekat.
Tampak wajahnya makin jelas terlihat, begitu dekat.
Aku melihat mata itu penuh menyelidik. Aku makin mendekat dan mata dia pun makin jelas menunjukkan isi matanya yang kian terlihat. Mirip kawah merapi.
Sejenak kami diam, menelisik apa yang kami lihat bersama. Dia hampir berkedip saat tanganku meraih kelopak atas matanya.
"Mmm...ada apa ya di dalam kawah itu?"
"Entahlah, kamu tidak lebih tahu dari aku sepertinya."
Aku melepas tanganku, bersamaan dengan itu aku tak melihat apakah dia melakukan hal yang sama atau tidak, setahuku dia sudah tampak berdiri seperti semula, berdiri tegak di hadapanku.
Kami saling tatap.
" Aku menyentuh kamu, jariku saling bertemu. Aku menatapmu, pandanganku saling bertemu,"
"Apa yang ingin kamu ketahui?" Tanyanya.
"Entahlah," jawabku sambil merunduk. Aku mengulurkan tangan kananku, dia mengulurkan tangan kirinya. Aku menggapai ujung jari itu, dingin dan rata.
"Jari yang lembut." Gumamku
"Apa ada kehidupan serupa di dalam?" Tanyaku padanya. Tatapan mata itu serasa masuk ke kawah mataku.
"Aku tidak menipumu, aku tidak bisa memanipulasi gerak gerikmu. Yang kamu lakukan akupun melihatnya," katanya dengan sungguh-sungguh.
"Lalu, aku harus kecewa atau kagum?" Tanyaku sambil melangkah mundur, diapun menjauh.
Tanganku menelusuri wajah hingga lehernya. Dia mendongak namun tidak melepaskan tatapannya.
"Aku harus juling," kataku
"Aku harus juling," katanya
"Tapi aku tidak juling," kataku sambil mendekat.
"Yup, aku juga!" Katanya sambil melengoskan wajahnya dan melirik ke arahku.
Kedua tanganku meraih wajahnya, kedua pipinya ku regam cukup kuat.
"Tidak, tidak begitu maksudku," kataku dengan serius
"Iya, aku harus juling melihat sesuatu," katanya
"Yah, betul. Kita harus melihat satu obyek dengan dua sudut pandang."
Matanya terlihat sedikit terbelalak, retina coklat itu membesar. Wow kawah didalam sana tampak agak jelas menunjukkan guratan yang tak beraturan. Hitam kecoklatan berkilat, seolah bergerak maju-mundur.
"Menatapmu dengan tidak fokus pada keakuan," katanya dengan lirih
"Di hadapanku sama dengan di hadapanmu ." Aku membalas ucapannya tanpa melepas tatapan tajam nya.
"Tapi bagaimana mungkin? Orang lain pasti memandang lain. Mereka pasti akan memperolok kita. Bukankah apa yang terlihat menunjukkan hal yang sesungguhnya?" Kataku sambil berpaling darinya. Aku meraih sebuah buku, lalu kembali menuju kepadanya yang ternyata dia memegang buku yang sama dan menunjukkan padaku juga.
"Lihat! Aku melakukan hal yang sama dengan kamu kan?" Tanyaku kepadanya
"Yah, akupun tak bisa mengelak, aku menyaksikan dan melakukan hal yang kamu lakukan. Kamu dan aku menyaksikan apa yang terjadi," jawabnya sambil tersenyum puas mengejek.
"Aku melihat buku ini," kataku sambil menatapnya
"Aku baca," sergahnya cepat.
Aku tak menatap matanya, yang kulihat dia membuka lembar demi lembar buku itu dengan cepat. Lalu dia menatapku dan berkata:
"Apa yang ada di buku, apa yang ku baca dan apa yang orang lain baca dari buku itu semua memiliki dimensi yang berbeda."
"Bahkan Penulis buku ini pun memiliki dimensinya sendiri." Jawabku tak mau kalah
"Aku ini ngomong apa?" Tiba-tiba aku tertawa kecil.
"Okelah, selamat menikmati waktu. Sukses dan sehat selalu" Jawabnya dengan cepat.
Wajah itu sangat nikmat ku lihat. Aku berpaling darinya dan pergi keluar dari kamar.
Hari itu hari-hari miliknya yang ku jalani, aku melihat anak-anak kecil yang berlarian sambil tertawa riang tanpa ku tahu apa yang mereka tertawakan, aku melihat lalulalang orang dijalan tanpa ku tahu tujuan mereka, aku lihat hari ini tanpa tahu apa yang terjadi pada kejadian yang aku tak melihat. Sampai tiba-tiba aku menyapa, "Hei, mau kemana?"
"Aku mau lihat diriku di cermin orang lain," jawabku ketus dan terus berjalan. "Aku ingin pemikiranku juling" kata "dia" sambil tersenyum dikaca mobil yang sedang parkir.
"Baik, dan aku selalu berharap seperti ini."
"Tapi kamu asem, belum mandi ya?" Kataku sambil menundukkan kepala ke kanan dan merentangkan kedua tangan.
Kepalaku kembali menghadap ke depan.
"Kaya kamu sudah mandi saja,"
"Apa senyum-senyum, malu ya?"
"Mmm...manis juga senyum aku."
"Oh ya, hari ini mau kemana?"
"Gak, aku gak ada rencana apa-apa,"
"Berarti hari ini hari untuk kita,"
"Kita? "
"Biasa aja kali bibirnya, gak usah menyon gitu,"
"Hahaha...hap, ada yang denger gak, ya? "
"Ah, tenang. Nyokap-bokap dah keluar rumah, adik masih belum waktunya pulang, kok."
"Aku kaya orang gila gak, sih? " aku dekat kan wajahku padanya, namun cepat-cepat aku menarik diri. Dia juga tampak menjauh.
"Lha kamu, kamu ... ah,ngapain sih kamu ngikutin aku?"
"Lha kamu tuh yang menirukan aku," ucapnya seraya mendekat.
Tampak wajahnya makin jelas terlihat, begitu dekat.
Aku melihat mata itu penuh menyelidik. Aku makin mendekat dan mata dia pun makin jelas menunjukkan isi matanya yang kian terlihat. Mirip kawah merapi.
Sejenak kami diam, menelisik apa yang kami lihat bersama. Dia hampir berkedip saat tanganku meraih kelopak atas matanya.
"Mmm...ada apa ya di dalam kawah itu?"
"Entahlah, kamu tidak lebih tahu dari aku sepertinya."
Aku melepas tanganku, bersamaan dengan itu aku tak melihat apakah dia melakukan hal yang sama atau tidak, setahuku dia sudah tampak berdiri seperti semula, berdiri tegak di hadapanku.
Kami saling tatap.
" Aku menyentuh kamu, jariku saling bertemu. Aku menatapmu, pandanganku saling bertemu,"
"Apa yang ingin kamu ketahui?" Tanyanya.
"Entahlah," jawabku sambil merunduk. Aku mengulurkan tangan kananku, dia mengulurkan tangan kirinya. Aku menggapai ujung jari itu, dingin dan rata.
"Jari yang lembut." Gumamku
"Apa ada kehidupan serupa di dalam?" Tanyaku padanya. Tatapan mata itu serasa masuk ke kawah mataku.
"Aku tidak menipumu, aku tidak bisa memanipulasi gerak gerikmu. Yang kamu lakukan akupun melihatnya," katanya dengan sungguh-sungguh.
"Lalu, aku harus kecewa atau kagum?" Tanyaku sambil melangkah mundur, diapun menjauh.
Tanganku menelusuri wajah hingga lehernya. Dia mendongak namun tidak melepaskan tatapannya.
"Aku harus juling," kataku
"Aku harus juling," katanya
"Tapi aku tidak juling," kataku sambil mendekat.
"Yup, aku juga!" Katanya sambil melengoskan wajahnya dan melirik ke arahku.
Kedua tanganku meraih wajahnya, kedua pipinya ku regam cukup kuat.
"Tidak, tidak begitu maksudku," kataku dengan serius
"Iya, aku harus juling melihat sesuatu," katanya
"Yah, betul. Kita harus melihat satu obyek dengan dua sudut pandang."
Matanya terlihat sedikit terbelalak, retina coklat itu membesar. Wow kawah didalam sana tampak agak jelas menunjukkan guratan yang tak beraturan. Hitam kecoklatan berkilat, seolah bergerak maju-mundur.
"Menatapmu dengan tidak fokus pada keakuan," katanya dengan lirih
"Di hadapanku sama dengan di hadapanmu ." Aku membalas ucapannya tanpa melepas tatapan tajam nya.
"Tapi bagaimana mungkin? Orang lain pasti memandang lain. Mereka pasti akan memperolok kita. Bukankah apa yang terlihat menunjukkan hal yang sesungguhnya?" Kataku sambil berpaling darinya. Aku meraih sebuah buku, lalu kembali menuju kepadanya yang ternyata dia memegang buku yang sama dan menunjukkan padaku juga.
"Lihat! Aku melakukan hal yang sama dengan kamu kan?" Tanyaku kepadanya
"Yah, akupun tak bisa mengelak, aku menyaksikan dan melakukan hal yang kamu lakukan. Kamu dan aku menyaksikan apa yang terjadi," jawabnya sambil tersenyum puas mengejek.
"Aku melihat buku ini," kataku sambil menatapnya
"Aku baca," sergahnya cepat.
Aku tak menatap matanya, yang kulihat dia membuka lembar demi lembar buku itu dengan cepat. Lalu dia menatapku dan berkata:
"Apa yang ada di buku, apa yang ku baca dan apa yang orang lain baca dari buku itu semua memiliki dimensi yang berbeda."
"Bahkan Penulis buku ini pun memiliki dimensinya sendiri." Jawabku tak mau kalah
"Aku ini ngomong apa?" Tiba-tiba aku tertawa kecil.
"Okelah, selamat menikmati waktu. Sukses dan sehat selalu" Jawabnya dengan cepat.
Wajah itu sangat nikmat ku lihat. Aku berpaling darinya dan pergi keluar dari kamar.
Hari itu hari-hari miliknya yang ku jalani, aku melihat anak-anak kecil yang berlarian sambil tertawa riang tanpa ku tahu apa yang mereka tertawakan, aku melihat lalulalang orang dijalan tanpa ku tahu tujuan mereka, aku lihat hari ini tanpa tahu apa yang terjadi pada kejadian yang aku tak melihat. Sampai tiba-tiba aku menyapa, "Hei, mau kemana?"
"Aku mau lihat diriku di cermin orang lain," jawabku ketus dan terus berjalan. "Aku ingin pemikiranku juling" kata "dia" sambil tersenyum dikaca mobil yang sedang parkir.
Posting Komentar untuk "Monolog"