CHAPTER 4
Seorang pria berseragam perwira
menengah berdiri gagah 2 meter di depanku. Aku tertegun beberapa saat ketika ia
berjalan mendekat dan mata kami saling menatap. Ingatanku mundur jauh ke
sepuluh tahun yang lalu. Seorang prajurit tentara yang selalu menjadi tumpuan
dari harapanku di Apau Ping, kini ia
berdiri di hadapanku di tanah Pasudan yang ribuan kilometer jauhnya setelah 10
tahun kemudian. Aku langsung mengenali padahal dulu hanya sesekali kulihat
wajahnya itupun hanya beberapa detik saja. Aku yang kala itu masih naïf tak
pernah hirau memandangnya lama-lama. Wajahnya yang dulu kusam kini terlihat bersih
dan segar, tak lagi setirus dulu, ada senyum di wajahnya yang dulu tak pernah
kulihat tersungging. Senyum yang membuatnya makin terlihat rupawan.
Seragam lorengnya yang fasih berkamuflase di antara rapatnya pohon dan semak
belukar hutan Bahau kini berganti jas perwira berwarna hijau tua dengan pangkat
kapten yang tersemat gagah dipundaknya.
“Dokter Danum..” sebutnya pelan masih
terlihat tak percaya saat kami berdiri berhadapan. Aku tertawa kecil melihat
ekspresinya yang speechless bertemu denganku hari ini, aku mengangguk-angguk
mengiyakan apa yang dipikirkannya. Kami berjabat tangan menanyakan kabar
masing-masing. Kapten Rian tertawa dan menyatakan keberatannya saat aku masih menyapanya
dengan sebutan “Pak” seperti yang
kuucapkan saat di Apau Ping dulu.
“Mas Rian aja..saya belum setua
Komandan…”katanya menyerempet umur Ayah. Aku tertawa tak bersuara sambil
mengangguk.
“Baiklah… Mas Rian?”
Ia
menawarkan makan siang di courtyard yang tak jauh dari rumah sakit. Aku pun
setuju. Menikmati makan siang yang lezat aku dan Kapten Rian terlibat obrolan
yang akrab, aku bertanya tentang sakit ibunya, pekerjaannya, dia pun bertanya
banyak hal yang kualami setelah aku meninggalkan Apau Ping.
“saya pernah mencari kamu..” lanjutnya
melambatkan tempo bicara.
Aku
melirik sedikit terkejut. “o..ya? kapan?”
“tiga
tahun setelah kamu pergi, tugas di Apau Ping selesai. Sebelum kembali ke
Bandung saya mampir ke Jogja untuk melihatmu, tapi kita ga pernah bertemu.. ”
“mas tau saya dimana…” jawabanku
mengingatkan.
“itu
dia… saya yakin kamu sudah hidup dengan baik, setelah saya memastikan kamu berada dilindungan keluarga komandan, saya…” ucapnya
kemudian terputus.
“saya
kenapa Mas?”
“saya
belum punya keberanian menemui kamu karena komandan..”
Aku
agak heran mendengarnya.
“tapi
saya sudah tenang memastikan kamu hidup lebih bahagia sekarang”
tanganku
berhenti mengaduk mango squash dihadapanku.
“makasih Mas…”
ucapku
diiringi senyum mengembang. Barang beberapa saat kami saling memandang.
“sudah menikah lagi?” tanyanya
memecah selera makanku.
Aku
menggeleng kepala merapatkan kedua bibir. Tanganku menyingkirkan piring ke sisi
sebelah kanan. Tatapannya membuatku gugup. Rian mengangguk sekali sambil
mengaduk-aduk secangkir kopi espresso panas yang baru dipesannya. Aku tak
bertanya hal yang sama padanya. Waktu makan siang berlalu lebih dari sejam,
kami kembali ke rumah sakit.
“aku kenalkan kamu sama Ibu?”ucapnya
dalam perjalanan kembali ke rumah sakit.
“sekedar bertemu siapa tau kalian
bisa ngobrol kalau bertemu di rumah sakit lain kali” lanjutnya lagi.
Rian tesenyum sumringah dibalik kemudinya saat aku mengangguk bersedia. Siang itu Aku berkenalan dengan ibu, ayah dan juga kakak laki-lakinya. Mereka hangat menyapaku saat pertama kali Rian mengenalkan.
Rian tesenyum sumringah dibalik kemudinya saat aku mengangguk bersedia. Siang itu Aku berkenalan dengan ibu, ayah dan juga kakak laki-lakinya. Mereka hangat menyapaku saat pertama kali Rian mengenalkan.
“Rian kok gak pernah bilang Mama punya
teman dokter cantik?” lirih Ibunya yang terbaring di tempat tidur.
Pipiku
memerah mendengar sanjungannya. Aku dan Rian saling memandang sebentar.
“kita baru ketemu lagih Ma…” elaknya
seraya duduk disamping sang ibu.
“apa kabar Bu…?” sapaku usai mencium
telapak tangannya yang putih dan halus.
“Ibu
rada betah sekarang mah kalo dokternya seperti Danum…”
selorohnya
lagi membuat yang lain tertawa. Aku turut tersipu dan mengatakan akan
mengunjunginya setiap hari. Tak lama aku berpamitan pada semua dan Rian mengantarku
keluar.
“makasih ia?” ucapnya. Aku
mengangguk turut senang.
“saya antar sampai ke ruangan kamu?”
tanyanya menawarkan diri
Aku
menggeleng dan mengatakan tak perlu. Kamipun berpisah. Sejujurnya ada yang
mengganjal di pikiranku sampai aku berlalu, aku tak melihat istri dan anak Rian
tadi. Setiap hari sesuai janjiku aku selalu mengunjungi ibunya meski hanya
sebentar sebelum bertugas atau menjelang istirahat makan siang. Kami lekas
akrab satu sama lain. Tapi masih belum kulihat sosok istri Rian selama seminggu
terakhir ini. Hari ini, pagi-pagi sekali
Kapten Rian sudah berdiri menanti kedatanganku di depan lobby rumah sakit. Aku langsung
melihatnya. Pak Gatot dan Rian saling memberi hormat dan senyuman.
“Mas…”sapaku.
Dia
menjawab dengan kata “Hai” yang hampir
tak terdengar.
“aku
pikir Ibu sudah pulang Mas… aku ketemu dokter Ariantana katanya Ibu Mas sudah
pulang kemarin sore..”
“ya
Mama ada dirumah.. Dia sudah sehat. Saya kesini buat kamu..”
“hemm…” aku mendesah bingung harus mengatakan
apa.
“saya
harus tugas” katanya lagi sambil mengangkat jam ditangannya.
“Sore
nanti saya jemput pulang, komando Pak Gatot sudah diambil alih” katanya lagi
sambil memakai kaca mata hitam.
Aku
tercekat. Semudah itukah birokrasi pedekate
di dunia militer. Belum kukatakan ya atau tidak dia sudah beranjak jauh
meninggalkanku. Padahal hari ini aku akan ada meeting dengan dokter senior dari
Singapura.
Sore
yang melelahkan, langit kota Bandung terlihat lebih gelap dari biasanya,
gerimis kecil mengguyur jalanan memaksa para pengendara memacu kendaraan lebih
lambat. Jam di tanganku menunjukkan pukul 18 lewat 5menit. Perawat Alice
memanggilku dengan isyarat tangan dan suara pelan saat melihatku datang. Gerak
geriknya membuatku mengerungkan dahi heran. Saat aku sampai di mejanya, perawat
Alice menyodorkan sebuah bucket besar yang sangat indah. Puluhan bunga mawar berwarna
merah muda dengan baby flower di sekelilingnya. Tak bisa kusembunykan ekspresi
senang saat menerimanya. Alice memicingkan matanya, dengan setengah berbisik dan
senyum yang nakal dia mengatakan aku kedatangan tamu spesial.
“siapa Sus?”
“Kakang Prabu!!” lanjutnya lagi
cengar-cengir.
“yang bener!!” ucapku sambil
mencubit kecil pinggangnya. Ia melonjak kaget sekaligus mengerang sakit.
“tentara ganteng Dok…” lanjutnya
memegang pinggangnya yang barusan kucubit.
Aku
mendesah sumringah tahu siapa yang dimaksud. Mendadak hatiku dag dig dug
seperti anak perawan yang mau bertemu kasih pujaan.
“chiiiyeeee….Dokteeerrr…” goda
perawat Alice lagi, aku kembali menengok kepadanya sambil menempelkan jari
telunjuk ke bibirku. Dia mengangguk-angguk setuju tutup mulut lewat bahasa
isyarat.
Kapten
Rian berdiri gagah dengan kacamata hitamnya menungguku di depan ruangan kerja
pribadiku.
Dia
membuka kacamata hitamnya saat aku sampai dihadapannya, melihat sorot matanya yang
fokus rasanya membuat tebing salju di
Karpatia yang dingin meleleh dalam hitungan detik. Tak pernah berani kutatap mata
seorang pria sedekat dan sedalam ini sebelumnya.
“Mas…” sapaku sedikit gugup.
“trimakasih bunganya.. cantik
sekali…” lanjutku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia.
“masih lebih cantik mata kamu” katanya dengan ekspresi innosence.
Aku
tersipu dengan pipi pink merona dan pulang bersamanya petang itu. Semesta mendukung sepertinya, dibawah rintik
gerimis, romansa cinta tumbuh subur di hati kami berdua. Pada akhirnya aku tahu
Kapten Rian telah kehilangan istrinya yang juga seorang tentara dan calon anak
mereka dalam sebuah kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu.
“Arini
sendiri gak sadar dirinya sedang hamil, saya baru tahu saat BASARNAS menemukan
jenazahnya dan hasil otopsi menunjukan ada janin 9 minggu di rahimnya”
kenangnya sedih.
Aku
merasakan ada duka yang dalam saat ia menceritakannya. Aku terdiam takut salah
berbicara. Tangannya menggenggam tanganku kemudian. Menurutnya semua yang terjadi
adalah skenario Yang Maha Kuasa. Kesedihannya segera berlalu karena Tuhan
mempertemukan kami lagi saat ini.
“saya
pernah mencintai seorang perempuan yang sudah menjadi istri orang, dan membiarkannya
pergi agar dia bahagia, tapi bertahun-tahun melewati setiap hari dengan
bayangannya, terasa sama beratnya dengan perang melawan musuh Negara” ungkapnya saat kami semakin dekat.
“kali
ini saya gak akan melepaskanmu lagi Danum…dari Apau Ping…”
Aku
membeku diam menyimak pengakuannya. Ucapan terakhirnya menyadarkanku tentang
jati diriku yang sebenarnya. Aku menyadari sesuatu telah salah kujalani selama
ini. Dan Rian lebih mengenalku dari siapapun. Tangannya makin erat menggenggam
tanganku. Dunia seperti terhenti sesaat ketika mata kami saling menusuk jauh ke
dalam hati. Kenapa dia tak mengatakannya sejak di Apau Ping dulu. Mungkin waktu
itu aku tak akan merasa sendiri. Rian lalu memelukku erat seperti melepaskan
semua beban rindu yang selama ini terkungkung di hati kecilnya.
**
Mataku
terasa berat ditambah rasa letih yang menyasar seluruh badan. Sementara hari
masih sangat pagi, baru masuk pukul 06 pagi dan rumah sakit masih lengang. Beberapa
hari terakhir fajar selalu terlambat menyingsing di musim penghujan ini, diluar
angin berhembus senyap dan dingin, kabut tipis masih menyelimuti kota. Aku tugas
malam di IGD seminggu terkhir ini. Ditemani perawat Alice aku kembali ke ruang
kerjaku.
“Negara
aja dijagain apalagi kamuuuu….” Selorohnya sembari mesam-mesem.
Dia
masih saja menggodaku soal Rian. Dia makin terbahak saat melihatku linglung
salah masuk ruangan.
“Dokter
Sara ini kena demam Malarindu terjangkit nyamuk aides ailopyu “ katanya masih cekikan.
Mukaku merah padam karena malu. Aku memaksanya
berhenti meledek dengan menutup mulutnya dengan tanganku. Meski begitu dalam
hatiku yang tertutup aku terang-terangan mengakui tebakannya. Sebulan ditinggal
Rian bertugas ke Bayah aku dilanda cemas dan rasa rindu.
“Dokter Sara…masa ga sadar satu
rumah sakit hype soal ini” Alice
kembali berbicara sambil merapikan bajunya.
Aku
yang sudah duduk santai di belakang meja
hanya menggelengkan kepala tanpa melihatnya.
“Dokter
Sara ga pernah keliatan deket ma cowok, tiba-tiba digandeng tentara ganteng..
Dianter jemput, dikasih bunga segede gabang… trending topik no.1 di grup Dok…”
paparnya ekspresif.
Alice
berhenti cerita ketika tiba-tiba ponselku berdering.
“hallo Yah..? Iya Yah..!? ada apa? tapi ada apa Yah..?”
Aku
bertanya-tanya kenapa Ayah berbicara dengan intonasi yang terdengar serius di
telepon. Dia menyuruhku pulang hari ini juga dan telah memerintahkan Pak Gatot
mengurus semua. Aku jadi khawatir. Mataku yang tadinya berat setelah jaga malam
mendadak ‘terang’ lagi. Belum sempat ku telepon, Pak Gatot sudah di depan lobby
rumah sakit menungguku keluar.
“ada
apa Pak Gatot?” tanyaku diliputi cemas.
“saya
tidak tahu Mbak Sara… ini tiketnya. Bapak sudah pesankan dari Jogja”
“hahh??
jam berapa saya take off?” tanyaku sambil masuk mobil.
“jam
08.05 Mbak Sara..” jawab Pak Gatot. Aku melihat jam tangan 07.36
“ayo
Pak!”seruku, Pak Gatot mengangguk.
Dua
jam perjalanan pesawat aku tiba dirumah sebelum dzuhur, ayah sudah menungguku
di ruangannya. Aku menemui Ayah langsung sesuai instruksinya. Tanpa basa-basi Ayah
to the point langsung menyasarku dengan pertanyaan berat
dan tajam.
“sejak kapan kamu mengenal Kapten
Rian, Sara?”
Aku
terdiam beberapa saat. Lalu kujawab sejak di Apau Ping. Ayah bertanya banyak soal
ini dan itu termasuk pertanyaan apa Rian turut membantuku kabur dari desa waktu
itu, dan akhirnya kuceritakan yang sejujur-jujurnya pada Ayah tanpa bisa
berkelit.
“sudah berapa lama kalian bertemu
lagi?” tanya ayah kemudian.
“tiga bulan..”
Ayah
menghela nafas panjang. Ia lalu duduk di kursi seberang meja. Baru kali ini aku
seperti sedang dihakimi. Aku masih berdiri didepannya dengan kepala tertunduk
ke buku yang masih ku pegang dari Bandung. Aku bahkan tak berani menatap
wajahnya.
“kemarin pagi Kapten Rian menghadap
Ayah”
Aku
terkejut mendengarnya.
“dia
meminta izin untuk melamarmu”
Cessssshh……jantungku
yang mengepul panas seperti dicelupkan ke air es. Makin tak karuan perasaanku. Campur
aduk tak bisa kugambarkan. Aku senang dengan berita ini tapi takut menghadapi apa
reaksi Ayah setelah ini.
“Sara…?” Ayah memanggilku. Ia tau
aku tak fokus mendengarkannya.
“ya?”
“Ayah
cukup kaget dengan keberaniannya melamarmu langsung pada ayah, dan juga… tentang
kisah pribadi yang kalian miliki
sebelumnya”
Aku
terdiam.
“bagi
Ayah ini sangat krusial. Ayah butuh jawabanmu segera!”
Ayah
memandangku seksama, buku yang kupegang jatuh karena tanganku licin dan basah
oleh keringat dingin saking gugupnya.
“Ayah…aku…” aku tergagap.
“diterima
saja…dari ceritanya, Kapten Rian sepertinya laki-laki yang baik dan bertanggung
jawab, sudah dia pasti akan selalu melindungi dan menjaga kamu, Sara…”
tiba-tiba
Bunda masuk membawakan teh tawar dan gula merah kawung. Dia meletakkan teh
didepan ayah, kulihat senyumnya mengembang lebar kepadaku. Ayah melirikku
dengan pandangan penuh tanya. Aku kembali tertunduk. Tak ada yang bisa
kusampaikan selain anggukan kecil disertai malu-malu. Ayah dan Bunda tertawa
melihatku. Bunda merangkul bahuku, membiarkanku hangat memeluknya.
“percayalah…
hari ini kami sangat senang..” ucapnya sambil mencium rambutku.
“Kami
senang akhirnya menemukan Kapten Rian yang sangat mencintaimu, dia bersedia
menjaga dan melindungimu seperti pengabdiannya pada negara ” bisik bunda.
Aku
juga sesenang mereka. Rasanya sejuta bunga menghujaniku saat ini. Taka lama setelah
meninggalkan ruang kerja ayah, ponselku berdering mataku berbinar teriring senyum
mengembang saat kulihat Kapten Rian Calling…
Sesuai
permintaanku sebelum pernikahan kami, aku ingin kembali ke Apau Ping menemui
keluarga. Rian hampir tak mengiyakan hanya diam tapi aku memaksanya dan dia
akhirnya berangkat bersamaku kesana. Tak kupercaya perjalanan ini sangat
melelahkan. Rasanya dulu tak kurasakan hal ini, barangkali rasa lelah itu
terbenam oleh kuatnya tekad meninggalkan penderitaan. Sepanjang perjalanan
Kapten Rian tak pernah melepaskan genggamannya barang sedetikpun. Dia bertanya
apa aku baik-baik saja saat aku dilanda cemas memikirkan apa yang akan
kulakukan saat kembali bertemu Amei.
Dan
akhirnya setelah perjalanan panjang aku sampai di tanah kelahiranku, rasanya
ada sesuatu yang kembali masuk ke jiwaku. Namun dahiku berkerut saat kulihat rumah
tempat tinggalku kini telah berubah menjadi rumah semi permanen berwarna putih.
Bentukannya seperti sebuah puskesmas di desa. Lalu beberapa orang menyambutku dengan
sukacita. Seorang wanita tua memelukku sambil menangis dan menyebut-nyebut
namaku, dia bersyukur aku masih hidup.
Aku
sedikit bingung, kutoleh Rian dengan penuh tanya. Aku bertanya dimana rumahku
aku lupa. Rian menunjuk puskesmas itu. aku berkerut dahi. Hatiku cemas tentang
Amei dan Uweq. Lalu Rian menuntunku pelan menjauhi kerumunan warga, membawaku
menyusuri tepi sungai Bahau, dan kami berhenti di depan 4 buah pusara. Darahku berdesir
dan mataku nanar membaca tiap nama dalam nisan batu yang menancap diatasnya. Aku
terjatuh, bersujud diatas tanah berderai tangis. Penyesalan berkecamuk karena
telah meninggalkan mereka. Dadaku sesak tak mampu menahan kesedihan melihat mereka
telah terbujur berkalang tanah. Rian membangunkan tubuhku yang pasrah tak
berdaya, dia memelukku mengalirkan cintanya yang sangat kuat sampai kulepaskan semua
beban kesedihan saat itu.
Rian
menceritakan uweq sakit keras setelah aku
pergi dan tak lama ia meninggal. Kedua adikku diracun oleh Amei hingga Ayah
membawa aparat berwenang untuk mengadili semua perbuatannya. Tapi Amei justru
memilih meninggal dalam keadaan dzolim, ia pergi selamanya karena overdosis
miras. Darisana Ayah mengubah rumah panggungku menjadi puskesmas desa, dokter
tentara ditempatkan disana. Ayah tak pernah mengatakan apa-apa soal ini
padaku, dan selama ini Ayah sangat menyayangiku menggantikan kewajiban yang tak pernah dipenuhi Amei kata Rian. Karena dia tahu apa
yang terjadi dalam kehidupanku yang kuceritakan padanya semua adalah benar.
Berdiri
diatas aliran sungai Bahau yang jernih diantara bebatuan, ketenangannya meresap
naik ke pikiranku. Aku bersandar di batu kali yang sangat besar. Batu yang sama
tempatku membaca surat balasan dari Laras dulu. Mataku luas memandang sekeliling.
Begitu banyak yang telah kulalui hingga aku sampai di titik ini. Aku tak akan
pernah bertanya “kenapa” lagi pada Tuhan. Semua yang terjadi adalah kehendakNya,
yang terbaik sesuai kekuatan kita sebagai seorang hamba.
Rian
menghampiriku, dia merapikan rambutku dan menyeka sisa airmata yang masih nampak
di wajahku. Aku bersyukur karena Tuhan memberikannya sebagai hadiah terindah seumur hidupku.
“kita
pulang..?” ajaknya.
Rian
menggendongku, dia tahu sebelah kakiku sudah tak mampu lagi menopang tubuh ini.
TAMAT
Posting Komentar untuk "Danum dari Apau Ping ( Last ) oleh Rafahlevi"