"Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan! Boleh jadi kesempatan baik tak datang dua kali. Mungkin di lain waktu ia akan menghampirimu dengan wujud yang berbeda"
Sepertinya pepatah itu tertanam kuat di benak seorang Mariska Anggraini, gadis kelahiran Palembang 24 tahun silam. Membagi waktu di tengah padatnya aktivitas memang tidaklah mudah. Namun ketika kesempatan datang, Mariska tidak berpikir dua kali. Gadis ulet ini rela menempuh jarak yang lumayan jauh demi kuliah di dua fakultas sekaligus terlebih di semester tiga ada program beasiswa double degree dari almamater tempatnya menimba ilmu meski cuma satu semester saja.
Mengutip dari penuturannya lewat percakapan Whatsapp, Mariska bercerita bagaimana dirinya bisa terjun ke dunia kepenulisan. Ternyata kecintaannya pada dunia tulis-menulis sudah nampak sejak ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu ia sering membaca puisi yang ditulis oleh seorang kakak bernama Arliansyah. “Puisi yang ditulisnya indah dan menarik hati sehingga saya sering terbawa suasana ketika membacanya,” tuturnya mengenang.
Selama berkecimpung di dunia kepenulisan, ada hal yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh gadis si penyuka bakso ini. Untuk pertama kalinya Mariska merasa sangat senang dan tersanjung karena pada saat cerpennya dimuat di majalah sekolah, banyak teman yang ingin berkenalan dengannya. Namanya semakin berkibar seiring dengan karnya yang terpampang di mading sekolah. Tapi, untuk menjadi terkenal, tentu banyak tantangan yang harus ia jalankan. Satu contoh sewaktu mencoba membuat sebuah novel, tiba-tiba saja ia selalu berhenti di separuh jalan cerita. Penyebabnya tak lain karena sesuatu yang bagi sebagian orang (penulis) dianggap mengerikan. Writer’s block atau ide mentok tak hanya menimpa pada penulis pemula saja, bahkan beberapa penulis terkenal baik di dalam ataupun luar negeri pernah dihadapkan pada kondisi semacam itu. Belum lagi fluktuasi mood yang tiba-tiba menyerang membuatnya sadar bahwa menjadi novelis tidaklah mudah. Beruntung pihak keluarga dan orang-orang terdekat sangat mendukung apapun pilihan Mariska dan selalu membuatnya semangat untuk terus menulis.
Komunitas dan Karya
Sejak SMA, Mariska sudah bergabung dengan Grup JPI yang ada di bawah komando Endik Koeswoyo, dkk. Saat ditanya apa keuntungan yang didapat? Ia pun menjawab “Dengan bergabung di JPI, saya merasakan banyak manfaat yang didapat, salah satunya bisa belajar lebih dalam lagi tentang kepenulisan dan bisa saling berkenalan sama penulis-penulis dari berbagai kota.”
Sejak SMA, Mariska sudah bergabung dengan Grup JPI yang ada di bawah komando Endik Koeswoyo, dkk. Saat ditanya apa keuntungan yang didapat? Ia pun menjawab “Dengan bergabung di JPI, saya merasakan banyak manfaat yang didapat, salah satunya bisa belajar lebih dalam lagi tentang kepenulisan dan bisa saling berkenalan sama penulis-penulis dari berbagai kota.”
Terinspirasi dari tulisan-tulisan Salim A. Fillah yang bisa membuatnya “baper", Mariska cenderung lebih memilih menulis cerita fiksi terutama puisi. Terbukti dari beberapa karya yang pernah dibuat, puisi menjadi karyanya yang paling mendominasi. Meski hanya belajar autodidak, Mariska kerap mengasah keterampilan menulisnya dengan mengikuti beragam lomba, walaupun kemenangan belum berpihak padanya. Buatnya menang atau kalah dalam pertandingan bukanlah masalah, karena ia adalah petarung yang terus tertantang untuk berkarya lebih giat lagi.
Antologi yang ditulis oleh Dewi ‘Dee’ Lestari, Fira Basuki, dkk |
Cerpen karya Mariska yang terbit di majalah Melati |
'Mondok Tiga Hari' dibukukan dalam kumpulan kisah inspiratif bersama karya terpilih lainnya.
|
Setelah menulis kisah inspiratif, Mariska sempat vakum dan tak lagi mengikutsertakan tulisannya ke berbagai lomba ataupun dikirim ke penerbit. Namun, kevakumannya tersebut bukan mengartikan bahwa ia benar-benar berhenti dari dunia yang dicintainya. Mariska tetap menulis walaupun hasil tulisannya sekadar menjadi koleksi pribadi. Saat ini, Mariska ingin fokus pada kuliahnya. Jarak antar tempat tinggal dengan kampus yang cukup jauh ditambah sulitnya transportasi membuatnya terpaksa harus memilih antara menulis atau kuliah. Ia menyadari, konsen kuliah adalah skala prioritas dalam hidupnya saat itu.
*foto koleksi pribadi/ instagram Mariska Anggraini |
Lulus di pertengahan tahun 2015, Mariska berhasil menambahkan dua gelar di belakang namanya, S.E dan S.E.Sy. Dua gelar yang disandangnya sudah pasti membuat dirinya dan keluarganya bangga. Kini, selepas kuliah di Universitas Muhammadiyah Palembang, Mariska mulai disibukkan dengan aktivitas lain, yakni mencari pekerjaan. Namun, di saat Mariska tengah gencar mencari pekerjaan, tahun 2016-2017 ibunya terserang penyakit tumor otak. Mariska pun kalut dan bingung dihadapkan pada situasi yang genting saat itu. Mariska kemudian memilih untuk fokus pada pemulihan ibundanya tercinta. “Hal itu membuat saya mesti benar-benar menjaga kesehatan beliau,” ujarnya.
Setahun berlalu, Mariska pun mendapatkan kesempatan baru yang ditunggu-tunggu. Barulah di tahun 2018 Mariska mendapatkan pekerjaan. Di saat yang sama, kondisi kesehatan ibunya juga mulai membaik meskipun indra penciumannya tidak berfungsi sama sekali. Situasi demikian membuatnya bisa sedikit bernapas lega dan ia pun mulai melirik hobinya dengan mencari info lagi tentang komunitas menulis, Jaringan Penulis Indonesia. Dengan kemantapan hati, Mariska memutuskan bergabung di grup Whatsapp JPI setelah beberapa tahun tidak berkecimpung di dunia tulis-menulis.
Seperti kebanyakan penulis, Mariska memiliki trik supaya ide-ide yang muncul di kepalanya tidak sekadar numpang lalu. Menurutnya, ide menulis itu datang secara spontan yang jika dipaksakan untuk mencari ide, tulisan tidak akan ada jiwanya. Ketika ditanya tentang bagaimana Mariska menumbuhkan semangat menulis, ia menyatakan bahwa pada dasarnya apa yang dia lakukan tidak jauh berbeda dengan penulis lainnya. Ia akan mencatat setiap ide yang didapat secara spontan, lalu dikembangkan menjadi sebuah kerangka tulisan, dan dikembangkan lagi hingga menjadi sebuah karya yang patut diapresiasi.
Sulung dari tiga bersaudara ini menegaskan, bahwa menulis masih ia jadikan sebagai hobi. Meski demikian, ia tak menampikan jika suatu saat nanti tulisannya mempunyai nilai jual tinggi, maka ia tak ragu menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Kini, Mariska tengah sibuk dengan aktivitas sehari-harinya yang terbilang cukup padat. Ia bekerja sebagai tenaga honorer di Polda Sumatera Selatan dan aktif di perguruan seni beladiri pencak silat Tapak Suci Muhammadiyah (2008), serta mengolah online shop pribadinya.
Bersama teman-teman seperguruan pencak silat Tapak Suci Muhammadiyah |
Di sela-sela kesibukannya, Mariska tetap akan mencuri waktu untuk menulis. Biasanya, malam hari ia jadikan sebagai waktu favorit untuk menulis sambil melepas penat dan menumpahkan segala rasa ke dalam tulisan. Ia yakin, pada malam hari akan selalu muncul ide tulisan yang menarik. Jika ia mengalami kebuntuan atau kesulitan dalam menulis, maka Mariska akan memilih untuk berhenti sejenak dan mencari hiburan lalu kembali menulis lagi jika rasa bosan sudah hilang. Kemalasan dan ketidakdisiplinan diri dalam mengatur waktu menulis juga menjadi tantangan tersendiri. Kembalinya Mariska ke dunia literasi membawa secercah harapan, kelak tulisan-tulisannya tak sekadar bisa dinikmati, tapi mampu menginspirasi para pembacanya. Semoga saja ya Mariska.
Kesempatan Raih Beasiswa Dua Fakultas
Menyinggung beasiswa kuliah yang telah diterimanya, Mariska memaparkan lika-liku perjuangan memperoleh kesempatan itu. “Double degree itu program khusus yang ditawarkan untuk kelas unggulan, berhubung saya di kelas unggulan, jadi saya terima aja tawaran itu karena kesempatan tidak datang dua kali.”
Dipersatukan dengan sesama pengejar beasiswa dalam kelas unggulan, Mariska dan teman-temannya mengirim berkas persyaratan beasiswa melalui kampus. “Dari kampus terserah mereka mau dikirim ke program beasiswa apa. Bisa juga program beasiswa dari perusahaan ternama tapi saya kebetulan dapat beasiswa lokal dari kampus,” paparnya.
Kisah miris turut mengiringi perjalanannya memasuki kelas unggulan. Di hari pertama ujian semester dua, ia ditimpa kejadian buruk. Kecopetan dua handphone (untuk bisnis dan pribadi) membuatnya sulit mengatasi rasa sakit itu. Perasaan sedih dan kalut jadi campur aduk hingga tangis pun luruh. Sementara waktu itu, ia tetap harus berkonsentrasi untuk menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS) karena masuk kelas unggulan adalah prioritasnya.
Mariska juga menjelaskan bahwa program beasiswa di kampusnya bisa diajukan jika ia memiliki nilai IPK di atas 3 dan tidak pernah mendapatkan nilai C. Untungnya, Mariska memenuhi kriteria itu hingga akhirnya ia putuskan untuk menerimanya (beasiswa) meski hanya satu semester.“Tiap semester bisa mengajukan beasiswa kampus tapi gantian sama adik tingkat. Kalau yang sudah dapat, ya sudah nggak bisa lagi ngajuin. Beasiswanya bukan yang sifatnya continue,” imbuhnya.
Ketika itu Mariska mendapat IPK 3,38 untuk akuntansi dan 3,36 untuk ekonomi syariah. Nilai yang terbilang memuaskan. Namun gadis imut itu tetap saja merendah, ia bahkan mengatakan kalau Indeks Prestasi Kumulatif-nya terbilang standar.
Meski memenuhi kriteria untuk mendapatkan beasiswa kampus, bukan berarti jalan Mariska melenggang di dua fakultas di Universitas Muhammadiyah Palembang terbilang mulus. Banyak batu sandungan merintangi jalannya termasuk jarak dari rumah ke kampus A, ia harus menempuh sekitar 6,4 km perjalanan ditambah lagi jarak dari kampus A ke kampus B kurang lebih sekitar 0,1 km. Itu artinya, jika ia masuk jam 8 pagi, ia mesti pergi dari rumah satu jam sebelumnya. Setiap harinya Mariska berjalan kaki kira-kira 300 m ke jalan utama. Belum lagi ia juga masih harus menunggu bus kota yang tidak bisa ditebak kapan datangnya.
“Kalau sudah dapat bis, biasanya langsung bergelantungan soalnya bangku sudah penuh dan baru bisa duduk kalau sudah mendekati kampus bahkan pernah sama sekali tidak kebagian tempat duduk.” Terang saja sampai kampus badannya sudah capek, tapi Mariska tetap semangat karena ia petarung yang pantang menyerah demi mengejar cita-cita yang diimpikan.
Semenjak kuliah di dua fakultas, nyaris setiap harinya ia pulang bertepatan dengan waktu magrib. Tak jarang Mariska salat di kampus dulu dan di jam-jam itu, ia bisa sedikit lega karena tak harus menunggu bus lagi. Justru biasanya sehabis magrib bus suka ngetem (menunggu penumpang) di depan kampus. Lamanya perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke rumah bisa sampai dua jam karena angkutan yang ditumpanginya kerap terjebak macet.
Pengalaman tak mengenakkan lainnya yang sering ia hadapi seperti tiba-tiba saja diturunkan sopir di tengah jalan lalu di-over ke bus lain yang kadang membuatnya terpaksa mengeluarkan ongkos tambahan. Parahnya, lagi-lagi ia pun harus berdiri karena tak kebagian kursi.
Menyebrangi jalanan yang cukup ramai di malam hari bukanlah pilihan tepat. Jujur, ia sedikit takut dan khawatir. Demi faktor keamanan, ia pun memilih alternatif lain dengan menyetop angkutan di jembatan penyeberangan umum sebagai tempat pemberhentian terakhir. Dari sana ia jalan kaki sekitar 450 m, menembus pasar untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, rasa capek, lapar, haus dan ngantuk pun menyatu. Namun, ternyata ujian tak berhenti sampai di situ. Ia mesti bergadang mengerjakan tugas kampus dan suatu ketika pernah sampai jam tiga subuh dirinya baru tidur. Akibat porsi tidur yang tidak teratur, wajahnya pernah sampai berjerawat parah.
Mengenai uang sangu, meski bapaknya bekerja sebagai tenaga pendidik (guru olahraga) di salah satu Sekolah Dasar, ia mengaku hanya diberi jatah ongkos pas-pasan. Karena itulah kadang ia juga pernah ditambahin seribu-dua ribu oleh temannya untuk ongkos pulang. Ia sadar dan tak ingin memberatkan orangtua apalagi ia juga memiliki dua adik kembar (laki-laki dan perempuan) yang sama-sama butuh biaya dan kebetulan saat ini keduanya sedang menempuh pendidikan di semester empat. Jatah ongkos yang pas-pasan tentu berpengaruh pada jatah jajan (makan siang). Ia mengakalinya dengan membawa bekal dari rumah atau bila terpaksa ia beli di kampus dan makan di rumah temannya itu. ”Kadang juga beli lauknya aja, nasinya minta sama temanku itu. Rasanya mau nangis kalau ingat itu karena selalu meminta.”
Selain jarak tempuh, ternyata jadwal kuliah yang tidak tentu karena diatur dosen (khusus kelas unggulan) mengharuskannya untuk pandai-pandai membagi waktu. Satu hari dibagi empat sesi mata kuliah. Sesi pertama mulai jam 07.30-10.00 WIB, Sesi kedua dari jam 10.00-12.30 WIB, Sesi ketiga jam 13.00-15.30 WIB dan sesi keempat jam 15.30-18.00 WIB.
“Jadwal kuliah saya bisa sesi satu, sesi duanya kosong lalu lanjut di sesi tiga. Pernah juga kuliah di sesi satu terus sesi dua dan tiga kosong, lanjut lagi di sesi empat. Kalau tiba-tiba jadwal kuliah begini, biasanya saya istirahat di kost teman yang suka ngasih uang seribu rupiah itu, nggak tiap hari kok, kalo tiba-tiba kurang aja hehe...,” selorohnya. Ia beralasan jika pulang akan jauh lagi dan mesti menyebrangi sungai. Berbeda jika mampir ke kost teman, dari kampus ia dan temannya itu cukup berjalan kaki sekitar 500 m.
Kesempatan Raih Beasiswa Dua Fakultas
Menyinggung beasiswa kuliah yang telah diterimanya, Mariska memaparkan lika-liku perjuangan memperoleh kesempatan itu. “Double degree itu program khusus yang ditawarkan untuk kelas unggulan, berhubung saya di kelas unggulan, jadi saya terima aja tawaran itu karena kesempatan tidak datang dua kali.”
Dipersatukan dengan sesama pengejar beasiswa dalam kelas unggulan, Mariska dan teman-temannya mengirim berkas persyaratan beasiswa melalui kampus. “Dari kampus terserah mereka mau dikirim ke program beasiswa apa. Bisa juga program beasiswa dari perusahaan ternama tapi saya kebetulan dapat beasiswa lokal dari kampus,” paparnya.
Kisah miris turut mengiringi perjalanannya memasuki kelas unggulan. Di hari pertama ujian semester dua, ia ditimpa kejadian buruk. Kecopetan dua handphone (untuk bisnis dan pribadi) membuatnya sulit mengatasi rasa sakit itu. Perasaan sedih dan kalut jadi campur aduk hingga tangis pun luruh. Sementara waktu itu, ia tetap harus berkonsentrasi untuk menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS) karena masuk kelas unggulan adalah prioritasnya.
Mariska juga menjelaskan bahwa program beasiswa di kampusnya bisa diajukan jika ia memiliki nilai IPK di atas 3 dan tidak pernah mendapatkan nilai C. Untungnya, Mariska memenuhi kriteria itu hingga akhirnya ia putuskan untuk menerimanya (beasiswa) meski hanya satu semester.“Tiap semester bisa mengajukan beasiswa kampus tapi gantian sama adik tingkat. Kalau yang sudah dapat, ya sudah nggak bisa lagi ngajuin. Beasiswanya bukan yang sifatnya continue,” imbuhnya.
Ketika itu Mariska mendapat IPK 3,38 untuk akuntansi dan 3,36 untuk ekonomi syariah. Nilai yang terbilang memuaskan. Namun gadis imut itu tetap saja merendah, ia bahkan mengatakan kalau Indeks Prestasi Kumulatif-nya terbilang standar.
Meski memenuhi kriteria untuk mendapatkan beasiswa kampus, bukan berarti jalan Mariska melenggang di dua fakultas di Universitas Muhammadiyah Palembang terbilang mulus. Banyak batu sandungan merintangi jalannya termasuk jarak dari rumah ke kampus A, ia harus menempuh sekitar 6,4 km perjalanan ditambah lagi jarak dari kampus A ke kampus B kurang lebih sekitar 0,1 km. Itu artinya, jika ia masuk jam 8 pagi, ia mesti pergi dari rumah satu jam sebelumnya. Setiap harinya Mariska berjalan kaki kira-kira 300 m ke jalan utama. Belum lagi ia juga masih harus menunggu bus kota yang tidak bisa ditebak kapan datangnya.
“Kalau sudah dapat bis, biasanya langsung bergelantungan soalnya bangku sudah penuh dan baru bisa duduk kalau sudah mendekati kampus bahkan pernah sama sekali tidak kebagian tempat duduk.” Terang saja sampai kampus badannya sudah capek, tapi Mariska tetap semangat karena ia petarung yang pantang menyerah demi mengejar cita-cita yang diimpikan.
Semenjak kuliah di dua fakultas, nyaris setiap harinya ia pulang bertepatan dengan waktu magrib. Tak jarang Mariska salat di kampus dulu dan di jam-jam itu, ia bisa sedikit lega karena tak harus menunggu bus lagi. Justru biasanya sehabis magrib bus suka ngetem (menunggu penumpang) di depan kampus. Lamanya perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke rumah bisa sampai dua jam karena angkutan yang ditumpanginya kerap terjebak macet.
Pengalaman tak mengenakkan lainnya yang sering ia hadapi seperti tiba-tiba saja diturunkan sopir di tengah jalan lalu di-over ke bus lain yang kadang membuatnya terpaksa mengeluarkan ongkos tambahan. Parahnya, lagi-lagi ia pun harus berdiri karena tak kebagian kursi.
Menyebrangi jalanan yang cukup ramai di malam hari bukanlah pilihan tepat. Jujur, ia sedikit takut dan khawatir. Demi faktor keamanan, ia pun memilih alternatif lain dengan menyetop angkutan di jembatan penyeberangan umum sebagai tempat pemberhentian terakhir. Dari sana ia jalan kaki sekitar 450 m, menembus pasar untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, rasa capek, lapar, haus dan ngantuk pun menyatu. Namun, ternyata ujian tak berhenti sampai di situ. Ia mesti bergadang mengerjakan tugas kampus dan suatu ketika pernah sampai jam tiga subuh dirinya baru tidur. Akibat porsi tidur yang tidak teratur, wajahnya pernah sampai berjerawat parah.
Mengenai uang sangu, meski bapaknya bekerja sebagai tenaga pendidik (guru olahraga) di salah satu Sekolah Dasar, ia mengaku hanya diberi jatah ongkos pas-pasan. Karena itulah kadang ia juga pernah ditambahin seribu-dua ribu oleh temannya untuk ongkos pulang. Ia sadar dan tak ingin memberatkan orangtua apalagi ia juga memiliki dua adik kembar (laki-laki dan perempuan) yang sama-sama butuh biaya dan kebetulan saat ini keduanya sedang menempuh pendidikan di semester empat. Jatah ongkos yang pas-pasan tentu berpengaruh pada jatah jajan (makan siang). Ia mengakalinya dengan membawa bekal dari rumah atau bila terpaksa ia beli di kampus dan makan di rumah temannya itu. ”Kadang juga beli lauknya aja, nasinya minta sama temanku itu. Rasanya mau nangis kalau ingat itu karena selalu meminta.”
Selain jarak tempuh, ternyata jadwal kuliah yang tidak tentu karena diatur dosen (khusus kelas unggulan) mengharuskannya untuk pandai-pandai membagi waktu. Satu hari dibagi empat sesi mata kuliah. Sesi pertama mulai jam 07.30-10.00 WIB, Sesi kedua dari jam 10.00-12.30 WIB, Sesi ketiga jam 13.00-15.30 WIB dan sesi keempat jam 15.30-18.00 WIB.
“Jadwal kuliah saya bisa sesi satu, sesi duanya kosong lalu lanjut di sesi tiga. Pernah juga kuliah di sesi satu terus sesi dua dan tiga kosong, lanjut lagi di sesi empat. Kalau tiba-tiba jadwal kuliah begini, biasanya saya istirahat di kost teman yang suka ngasih uang seribu rupiah itu, nggak tiap hari kok, kalo tiba-tiba kurang aja hehe...,” selorohnya. Ia beralasan jika pulang akan jauh lagi dan mesti menyebrangi sungai. Berbeda jika mampir ke kost teman, dari kampus ia dan temannya itu cukup berjalan kaki sekitar 500 m.
Selain menulis puisi, Mariska juga menulis cerpen. Salah satu karyanya pernah terbit di majalah Melati edisi XII, yang berjudul ‘Berkah Ramadhan dari Mimpi’ serta kisah inspiratif ‘Mondok Tiga Hari’ dalam kumpulan kisah inspiratif ‘Pelangi Ramadhan’ (AG Publishing: 2012).
Profil
Nama: Mariska Anggraini, S.E., S.E.Sy.
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 24 Maret 1994
Agama: Islam
Pendidikan Formal:
- Univ. Muhammadiyah Palembang, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Agama Islam (2011-2015)
- SMA Muhammadiyah 1 Palembang, Sumatra Selatan (2008-2011)
- SMP Negeri 26 Palembang, Sumatra Selatan (2005-2008)
- SD Negeri 240 Palembang, Sumatra Selatan (1999-2005)
Pendidikan Non Formal:
Pelatihan Berbasis Kompetensi di UPTD. Balai Latihan Kerja Industri Disnakertrans Prov. Sumsel (2016)
Karya:
• Puisi: Angin, Hembus Masalahku (Palembang Ekspres: 2010)
• Antologi puisi & cerpen : Sebilah Sayap Bidadari (Pustaka Fahima).
Organisasi & Komunitas:
- Anggota Bidang Pendidikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2011-2012)
- Anggota perguruan seni beladiri pencak silat Tapak Suci Muhammadiyah (2008-Sekarang)
- Anggota Jaringan Penulis Indonesia (JPI) 2009-Sekarang
- Anggota perguruan seni beladiri pencak silat Tapak Suci Muhammadiyah (2008-Sekarang)
- Anggota Jaringan Penulis Indonesia (JPI) 2009-Sekarang
Kerja:
Magang di PT Columbia cabang Palembang, sebagai Finance Accounting dan Customer Service Marketing Officer selama 1 bulan (2014)
Media Sosial:
FB: Mariska Wardhani
Email: Mariska.wardhani@yahoo.com
Posting Komentar untuk "Sempat Vakum Karena Kesibukan Kuliah di Dua Fakultas, Mariska Anggraini Kembali Menekuni Dunia Literasi"