‘KOTAK KOSONG’
Entah apa yang telah terjadi
dengan diriku, sungguh semuanya terasa sangat aneh bahkan aku merasa ini di luar kuasa dan kendaliku.
Ada sesuatu yang seperti menyentak-nyentak kalbu bahkan secara terus menerus
mengusik jiwa dan menguras pikiran serta waktu istiraratku. Apa ini? Bisakah
aku menjawabnya? Ah, jangankan menjawab memahaminya saja aku bahkan tidak
mampu.
Yang menjadi pertanyaanku apakah
selama ini aku mengharapkan hal ini menimpaku? Sungguh, ini tidak sama sekali!
Andaipun ada hal yang aku pikirkan selama ini bukan tentang itu. Tapi apa ini?
Adakah orang lain khususnya wanita lain mengalaminya juga?
Sungguh luar biasa pesona itu
sangat luar biasa, rasanya ingin sekali aku memaki dan menjerit sekuatnya
tentang rasa yang ada saat itu dan anehnya aku mengira ia punya rasa yang sama,
ah mana mungkin. Namun diluar dugaanku saat aku dan dia kala itu duduk di ruang
tamu sedang menonton acara televisi ia tiba-tiba menegurku dengan sebuah
permintaan.
“Boleh aku minta nomor teleponmu?”
“Untuk apa?” sahutku dengan
segera padahal dalam hati aku sudah mengira ia akan melakukan itu.
“Ya, biar nanti aku bisa memantau
kesehatan Mbah Kakung kalau aku sedang di luar kota.” Jawabnya
dan menurutku cukup masuk akal namun tetap saja aku merasa itu sebagai alasannya
namun begitu aku tetap memberikannya. Aneh.
Aku bekerja di sebuah rumah untuk mengurus seorang pria
lansia, ia sakit struk ringan yang mengharuskannya duduk di sebuah kursi roda.
Meski ia masih memiliki seorang istri yang kebetulan juga sudah tua dan tidak
memungkinkannya
untuk mengajak si Mbah Kakung jalan-jalan setiap pagi sekaligus terapi. Setelah
beberapa hari bekerja ada seorang pria bersama putri kecilnya datang dari luar
kota yang lumayan jauh, anaknya sudah duduk di bangku kelas 3 SD ternyata.
Dari Mbah, aku jadi tahu ternyata
pria itu sudah ditinggal istrinya dari anak mereka kecil sekali dan yang
mengurus putri kecil itu adalah ayahnya tanpa bantuan siapa pun dari hal terkecilpun.
Sungguh luar biasa apalagi dia punya usaha sebuah rumah makan di kota tempat
tinggalnya yang sekarang, pria itulah yang mengerjakan urusan masak-memasak sedang
karyawan yang
membantu hanya untuk urusan melayani pembeli saja. Bisa kubayangkan betapa pekerja
kerasnya pria itu, pagi-pagi sudah bangun untuk menyiapkan segala urusan isi
rumah makannya belum lagi harus mengantar anaknya sekolah. Sebagai seorang
wanita siapa yang tidak terkagum-kagum dengan pria seperti itu, belum lagi
penampilannya keren, pekerja keras, penyayang dan simpati. Aku ingat sosok
seperti itulah yang menjadi impianku selama ini.
Entah terdorong oleh kondisi
finasialku yang pas-pasan atau mungkin karena ada hal lain yang masih aku cari
alasannya. Aku punya satu putra yang masih TK kecil sedang suamiku bekerja
serabutan. Dari masih single aku
memang pekerja meski tidak bisa dibilang kerja kantoran tapi intinya aku sudah
terbiasa membantu keluarga dan otomatis selalu punya uang sendiri dan
seandainya saat ini aku punya pasangan yang mungkin bisa memenuhi kebutuhan
seorang wanita dalam arti yang tidak terlalu aneh mungkin tidak membuat rasa
ini menjadi sedikit bimbang atau bisa dibilang sangat bimbang. Hmmm…
Untuk makan sehari-hari kami
mungkin bisa tapi untuk yang lain tidak bahkan untuk membeli kebutuhan khsusus
seorang wanita saja aku harus berusaha sendiri, tidak pernah aku berpikir untuk
membeli hal yang berlebihan semisal alat Make-Up,
ponsel atau baju yang mahal. Karena bagiku kebutuhan anak lebih penting
sehingga mengabaikan underwear-ku
sendiri. Tapi kenapa sejak bertemu dengan pria itu semua kebutuhan itu seakan menjadi
lebih nyata sangat nyata.
Selama ini aku merasa yakin
perasaanku utuh untuk pasanganku tapi setelah bertemu dia ‘Pria itu’ dan
mendengar semua kisah dan perjuangannya ada perasaan yang kagum luar biasa,
apakah hanya sebatas kagum? Entahlah. Dan setelah mendengar sendiri ia mengutarakan
perasaanya saat itu, perasaanku makin tidak keruan.
“Dik, aku kok merasa nyaman dan
tenang ngobrol dengan kamu. Coba ya, kita ditemukan saat kamu belum punya
suami.” Ujarnya dengan nada seolah menyesali pertemuan itu padahal aku bisa
merasakan ada bias kebahagian saat kami bisa berbincang di sela-sela
kesibukanku mengurus Mbah Kakung dan anaknya si gadis kecil itu terlihat begitu
manis, mandiri dan bisa aku rasakan anak itu juga menyukaiku. Bukan tanpa
alasan karena gadis kecil itu pernah mengatakan ia mengidamkan seorang ibu
seperti diriku. Merasa tersanjung juga saat itu.
“Tidak, Mas Biyan, jangan
bicara seperti itu. Aku ini sudah punya suami dan bekerja di sini untuk
keluargaku. Untuk urusan itu aku doakan Mas Biyan bisa menemukan seorang yang
lebih pas untuk menjadi ibu dari putri Mas.” Sahutku mencoba menjadi seorang
yang tidak boleh dianggap spesial padahal saat itu hatiku sedang berbunga
begitu merekahnya seakan semua lagu-lagu indah dan melankolis sedang
berkumandang di telingaku yang mampu menutupi kenyataan diriku yang
sesungguhnya telah memiliki seorang putra kecil semata wayang dan seorang suami
yang begitu setia dalam segala kekurangannya selama ini. Pun mertua yang begitu
baik bukan saja pada diriku bahkan pada seluruh keluargaku yang selalu ringan
tangan membantu apa pun
yang berbentuk tenaga yang bisa mereka lakukan.
Semakin hari aku merasa
ketidakberesan perasaanku sudah mulai mengganggu ketenangan hingga akhirnya
memutuskan untuk keluar dari rumah itu walau susah sekali mencari alasan karena
Mbah Kakung merasa sudah cocok dirawat olehku begitupun istrinya merasakan Mbah
Kakung tidak akan pernah menolak atau cerewet kalau aku yang memintanya untuk
selalu latihan jalan setiap pagi. Namun dengan alasan yang pas karena saat itu ada tawaran untukku bekerja
di sebuah restoran dekat rumah, karena sebelumnya aku pernah lama bekerja di
restoran atau rumah makan di pinggir jalan menjadi juru masak yang sangat
diandalkan membuatku kembali tertarik dengan bidang itu.
Setelah keluar dari rumah Mbah
Kakung dilema baru aku hadapi, entah mengapa aku merasa ada yang hilang dari
diriku, apa itu? Karena sebelumnya Biyan pernah mengatakan ingin sekali melihat
aku bahagia di depan matanya, ia ingin membahagiakan aku dalam hal apapun
hingga aku berpikiran apakah di matanya aku begitu menderitanya? Entahlah. Aku
tidak pernah cerita tentang hidupku padanya selama ini selain mendengar
ceritanya dan aku merasa ceritaku dengannya selalu saja bisa nyambung dalam hal
pandangan hidup yang selama ini tidak aku dapatkan dari suamiku yang notabenenya
adem ayem saja, tidak pernah cerita tentang tantangan hidup, sedangkan
pria ini pandanganya
sangat luas ke depan dan itu bukan seperti mimpi-mimpi indah hanya saja aku
merasa ia punya wawasan yang begitu luas hingga bisa menyamai diriku, yang
membuat aku merasa tertantang yang sekaligus merasa bahwa kami sangat sepaham
dalam hal apapun. Entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering
membanding-bandingkan suamiku dengannya, itu bodoh sekali!
Aku tidak tahan lagi hingga akhirnya
hal ini aku ceritakan pada adik perempuanku yang masih single. Tahu apa tanggapan yang aku dapat? Aku diomelin habis-habisan yang
tadinya berharap respon bagus darinya atau setidaknya berkhayal ia mengatakan ‘Boleh tuh Mbak, orangnya keren, punya usaha
tidak malu-maluin diajak ke undangan dan bla bla bla….’ atau segala macam
yang ia punya sempat terlintas dibenakku ternyata tidak satupun aku dapat. Huh!
Apa ini? Mungkin seharusnya aku bersyukur karena tidak mendapatkan apa yang
seharusnya ingin aku dengar dengan begitu adikku punya sifat yang semua orang
mungkin membanggakannya atau mengacungkan jempol untuknya. Karena saat itu ia
mengatakan.
“Jangan Mbak, kasian Mas, suaminya Mbak karena
keluarga suami Mbak bukan saja baik sama Mbak tapi juga baik sama kita-kita.”
“Jangan, dia bukan pria yang
baik. Andai ia pria baik-baik maka ia tidak akan mendekati kamu padahal ia tahu
sudah punya suami. Siapapun dia kalau ia pria sejati ia tidak akan mencoba
masuk ke dalam hubungan kamu yang masih sah jadi istri orang.” Kata salah satu
temanku yang berada jauh di luar kota saat aku ceritakan semua permasalahan
yang sedang aku alami melalui telepon. Meski aku membantah karena Biyan adalah pria baik-baik
sebab jelas sekali ia mengatakan tahu posisi aku dan dia dan ia pun mengatakan
tidak ingin ini terjadi tapi apa hendak dikata, ia memang sangat mengharapakan
aku. Aku
sampai menangis karena merasa ada yang sesak di dadaku. Perasaan itu begitu kuat, ada
debaran yang aku rasakan setiap saat apalagi setelah Biyan dan putrinya kembali
ke kota tempat ia buka usaha. Terlintas
pikiran tidak warasku untuk mengikuti mereka dan mengurus mereka sampai Biyan
menemukan pengganti istrinya apalagi aku merasa sangat pas di sana karena aku
hobi masak. Jika ada orang yang tahu niatku maka mereka akan perkata satu kata, GILA!
Sepertinya aku memang sudah gila dengan
perasaan ini karena tidak lagi memikirkan keluarga kecilku sehingga dengan
naifnya berpikir akan mengurus mereka sedang aku sendiri punya sesuatu yang
wajib aku urus. Memang secara profesional aku akan digaji karena menjadi
karyawannya nanti dan pulang membawa uang dan bisa membeli apa yang aku
inginkan. Huh! apakah di sini aku yang hilang akal atau dia?! Apakah ini
cobaan? Rasanya sangat sulit untuk menghindar dan melawan perasaan itu.
Sebelumnya temanku pernah bilang.
“Sudah jangan menangis lagi,
nikmati saja perasaan itu dan biarkan ia mengalir hingga habis tak tersisa
karena bagaimanapun kamu tidak akan sanggup melawannya. Yang namanya perasaan
sesaat itu memang menggebu-gebu dan setelah kamu sadari bahwa semuanya hanya
kotak kosong yang tak bermakna. Kita masih punya perasaan dan itu manusiawi
tidak perlu dilawan. Menangislah dan dengan begitu bukan saja perasaan itu yang
besar karena sebagai wanita kita tidak akan bisa menghilangkan rasa dan
tanggung jawab kita sebagai istri dan ibu, menangis karena kita masih sangat
kuat mencintai keluarga kita yang sesungguhnya.”
Air mataku semakin deras mengalir
meski telepon genggam masih menempel di telingaku, aku masih saja memberontak
dengan apa yang aku alami. Aku membenci perasaanku yang sangat besar pada Biyan
karena setiap saat ia mengirimkan aku pesan dan meneleponku di waktu luangnya
dan sekali-kali memuji kerja kerasku untuk membantu keluarga.
“Aku tidak menyukai perasaan ini
tapi aku tidak mau kehilangan dia.” Sahutku di antara derai air mataku saat aku
menelepon sahabatku di luar kota waktu istirahat siang di pojok ruangan dapur
restoran.
“Ya, aku mengerti.. mengerti sekali dengan apa yang kamu rasakan saat
ini tapi kamu harus percaya bahwa yang kamu rasakan sekarang ini hanya sesaat…
dan akan hilang dengan sendirinya.”
“Sesaat? Tapi sampai kapan? Aku
rasanya tidak akan kuat.”
“Yaaaa… sebulan dua bulan atau
mungkin setahun, tidak akan melampau dua tahun.”
“Setahun? Ya ampun, itu bukan
sesaat dalam beberapa hari ini saja aku rasanya ingin mati.” Tangisku belum
bisa berhenti. “Sekali lagi aku katakan aku lelah dengan perasaan ini, benci
meski ini rasanya indah namun aku tetap ingin mendapatkan perhatiaanya, aku
tidak ingin kehilangan dia. Tadinya aku pikir ini hanya kekaguman atau perasaan
sesaat tapi mengingat sosok pekerja kerasnya membuat aku benar-benar kagum
dalam arti yang sesungguhnya.” Helaku yang masih ngotot menganggap kalau tidak
ada yang salah pada diriku.
“Oke, aku tahu, Dan aku pernah
berada dalam posisi kamu dan kamu pastinya masih ingat apa yang terjadi padaku,
kan? Sekarang tidak ada yang istimewa semuanya hilang tak berbekas hingga ke
hal terkecil sekalipun.
Aku akan menunggu kabar darimu selanjutnya.”
Sahabatku mengakhiri pembicaraan
itu dan aku tahu pasti ia pernah mengalami hal ini sebelumnya ia mengatakan
bahwa itu kegilaan yang saat itu tidak bisa ia tepis karena perasaannya begitu
kuat dan setelah mereka bertemu, tidak ada yang istimewa dan ia benar-benar
bisa melupakan perasaannya dan merasakan itu sama sekali tidak penting. Apakah
sesimpel itu?
Berkali-kali aku menghela napas
panjang dan hari-hari berikutnya aku tidak pernah lagi membalas pesan masuk
dari Biyan meski hanya sapaan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Meski hati
kecilku ingin sekali membalas pesan itu. Aku tidak ingin ia tahu bagaimana
jungkirbaliknya aku coba menjadi diriku yang dulu sebelum kenal dengannya. Bukan
aku ingin melupakannya hanya saja aku ingin meringankan beban hatiku yang masih
terasa terhempas ke pelabuhan asmara yang bukan dermagaku. Dan jujur aku tetap
ingin tahu kondisinya di sana hingga detik ini terasa terus menggelitik
keinginanku untuk tahu apakah Biyan dan putri kecilnya baik-baik saja? Tuhan
lindungi mereka, beri mereka kesehatan.
Entah selama ini ada yang kosong
di hatiku hingga bisa masuk perasaan lain dan berhasil mengguncang ketenangan
tidurku? Aku tidak ingin adik laki-lakiku tahu tentang semua ini apalagi sampai
suamiku tahu walau aku tahu betapa posesive-nya
dia. Taklama berselang si Mbah Kakung meninggal setelah seminggu dirawat di
rumah sakit dan sebelumnya aku beberapa kali berkunjung untuk melihatnya di
rumah sakit dan saat itu adalah pertemuan terakhirku dengan Mbah Kakung, aku
besuk sebelum berangkat bekerja dan sempat pamit dan Mbah Kakung hanya menjawab
meski tidak membuka matanya.
Si Biyan yang ada di luar kota di
Timur Indonesia sempat pulang tapi aku tidak ingin bertemu denganya karena aku
sedang menata hatiku, karena aku tidak yakin apakah aku sanggup bertemu
dengannya atau aku akan berjuang lagi dari nol untuk menata hatiku. Masa
bodohlah dengan kata-kata usang yang mengatakan ‘cinta tidak harus memiliki’
atau mungkin ‘puber kedua’ karena hanya aku yang bisa merasakan apa yang hatiku
inginkan!
Di kamar tidurku yang sederhana
aku merenung apa sesungguhnya yang aku cari di dunia ini? Uang? Keluarga? Cinta
atau kepalsuan? Uang tanpa keluarga pasti akan terasa hampa meski keluarga tanpa
uang akan susah dalam arti duniawi. Dinding kamarku seakan menjawab bahwa hidup
tidak hanya di dunia. Jika aku meninggalkan keluarga demi kesenangan duniawi
atau nafsu ingin memiliki baju baru maka aku hanya akan membawa kotak kosong
kehadapan Tuhan, nanti. Seketika mataku beralih pada bingkai foto putra kecilku
yang sedang tersenyum begitu manisnya, jagoan tampan yang sudah TK kecil itu
seolah sedang menatap wajahku yang sendu, dan saat mataku beradu dengan mata
indahnya hatiku berkata, dialah milikku yang lebih berharga dari apapun di
dunia ini dan uang satu milyar bahkan puluhan milyar rasanya tidak bisa
menggantikannya di hatiku. Perlahan aku beranjak dari tempatku dan menghampiri
foto itu, dia anakku, Tuhan telah mempercayaiku untuk merawatnya, jadi apapun yang
terjadi tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkannya, tidak ada yang bisa aku
lakukan sekarang selain berdoa semoga Tuhan membuka hati suamiku agar ia bisa
lebih giat bekerja untuk kebutuhanku dan anak kami, bukan sekedar mencari hari
ini untuk makan besok pagi, karena aku tahu ia punya tenaga yang lebih.
Semoga pikiran dan hatiku bisa
berdamai dengan perasaan yang sedang melandaku, karena aku percaya bisa
melewati semua ini karena orang-orang disekelilingku begitu menyayangiku meski
detik ini ada rasa yang masih bergejolak.. J
@@@
Helda Toen
Qeme
Posting Komentar untuk "Kotak Kosong"