MENEMUI RONA
oleh Eka Budi
Dalam kamar yang tidak begitu gelap, Senja terbaring.
Menikmati cuitan burung malam yang bertengger di atas ranting pohon di dekat
jendela. Tatapan pemuda kurus itu nampak kosong. Hanya ada cengiran aneh yang
membayang samar. Seolah ia diam-diam ingat sesuatu lalu menikmati kebahagiannya
sendirian.
Malam ini adalah hari ketujuh sejak kematian Rona, bunga desa
yang diam-diam menjadi pacar rahasia Senja. Gadis cantik itu ditemukan mati
dengan luka tusukan. Tak ada tangisan. Beberapa pria yang pernah dikecewakan
Rona, meyakini kalau itu hanyalah hukum karma. Semua terjadi sebagai imbas atas
kesombongan juga mulut tanpa saringan.
Namun bagaimanapun, tetangga tetap tetangga. Senja tidak bisa
mengabaikan fakta tentang solidaritas sesama manusia. Saat mayat itu diangkat
dari dasar sungai, darah masih menetes dan kulit tubuh Rona belum terlalu biru.
Siapa bajingan yang tega menghabisi kembang desa? Bahkan Polisi masih menemui
titik buntu. Tidak ada jejak DNA atau petunjuk apapun. Perkara mengerikan itu
nyaris ditutup sebagai kasus bunuh diri dengan melompat. Tapi sekarang, media
sosial lebih tajam daripada ujung pena para wartawan. Terpaksa niat untuk lepas
tanggung jawab terhenti di tengah jalan.
Seperti dua hari sebelumnya, tepat pukul 12 malam, dering
ponsel Senja kembali memecah mimpi sang pemilik. Sudah terlalu larut untuk
bermain teka-teki. Suara si penelepon yang penuh manipulatif, tak lagi mampu
memancing rasa penasaran pria pengangguran itu. Ia memutuskan untuk tidak
peduli. Menarik selimut dan kembali membuai khayalannya dengan bidadari.
Siapapun si penelepon iseng, Senja yakin dia adalah saksi kunci. Atau pembunuh
itu sendiri?
Senja tertawa pelan, mengeratkan giginya sembari memanjatkan
doa sebelum tidur. Rahasia di balik kematian si jalang itu, tidak ada
hubungannya denganku, batinnya sinis. Kepuasan justru memenuhi dadanya
sekarang. Cara kematian seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Sudah
lama Rona menebar banyak garam di luka semua pria lajang. Tak cukup satu atau
dua, puluhan pria mungkin bisa berbaris untuk menuntut sebuah permintaan maaf.
Wajah rupawan benar-benar tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang.
Bukan salah Rona, tapi semua orang sengaja diam dan
melindungi pelaku sebenarnya.
----
03.00 pagi, 24 jam sebelum pembunuhan.
Saat itu, hujan belum sepenuhnya berhenti. Gerimis masih
turun membasahi jalanan desa yang sunyi dan gelap gulita. Rona berjalan
hati-hati, menerangi langkahnya dengan cahaya ponsel. Bunyi jangkrik dan katak
sawah kembali bersahutan, menyambut deru napas Rona yang mulai menjejaki
ladang.
“Mas? Kamu dimana? A-aku bawa uang buat barangnya,” kata Rona
mulai putus asa. Kaki gadis cantik itu gemetar menahan dingin juga keinginan
lain. Satu kantung penuh uang ditariknya keluar dari balik jaket. Sambil terus
meracau pada seseorang di ponsel.
“Dasar bodoh. Jangan bilang kalau salah tempat lagi, ya? Kita
kan sudah sepakat untuk bertemu di perbatasan,” keluhnya meradang. Bukan hanya
sekali kekacauan seperti itu terjadi. Tiga bulan terakhir, dosis kecanduan Rona
semakin parah. Pola pikir gadis itu berubah seperti lansia saat obat
terlarangnya telat datang.
“Ini yang terakhir. Kamu harus berhemat karena pasokan barang
mulai menipis. Salah satu dari kami ditangkap dan sedang diadili.” Rohim, sang
bandar bertubuh gempal, menyambut kedatangan Rona dengan paket kecil di
tangannya. Ia sendiri tidak habis pikir, kenapa jadwal pengantaran dimajukan
satu hari. Tengah malam pula.
Namun saat itu juga, kondisi Rona menjawab segalanya. Rohim
terkejut dan nyaris melupakan transaksi mereka. Walau cukup sering menyaksikan
pecandu dalam keadaan sakaw, ini yang paling parah. Kaki penuh darah dan wajah
sepucat kertas. Pasti Rona hanya menuruti insting dan pergi tanpa
mempertimbangkan masalah lain. Dalam keadaan tak sadar, gadis itu hanya
membicarakan tentang narkoba.
Malam belum sepenuhnya berakhir, Rona pulang, melompat ke
sisi pagar rumahnya. Masih ada waktu sebelum adzan subuh berkumandang. Satu jam
lagi, Mbok Laksmi, ibu Rona akan mengetuk kamar anaknya. Kegiatan sebagai
tukang sayur, menuntut janda itu untuk bekerja lebih keras.
“Nduk, ayo solat subuh,” ajak mbok Laksmi menghampiri tempat
tidur sang anak gadis. Rona bergumam di balik selimut, menyembunyikan jejak
darah dari telapak kakinya. Ia butuh 30 menit lagi agar obat yang baru ia
suntikkan, membuat tubuhnya kembali normal.
Lagi, jemari tua miliknya menepuk-nepuk punggung Rona. Hanya
ada lenguhan kesal, menyuruh agar ia ditinggalkan. Mbok Laksmi beringsut pergi,
membuka jendela dan saat itu juga melihat jejak kaki. Rupanya, ia tidak begitu
terkejut. Hanya ada tangisan dalam diam, menyentuh ujung keriput kelopak
matanya.
Apakah kematian akan membawa kedamaian? Bisik Mbok Laksmi
menatap sebuah jarum suntik yang gagal disembunyikan. Usianya sudah terlalu
renta untuk menafkahi Rona dan diam-diam ia muak karena kerja kerasnya tidak
berguna. Membesarkan anak gadis seorang diri, merupakan beban berat. Banyak
jejaka yang mendekati Rona, tapi bukan untuk sebuah pernikahan. Mereka hanya
kumbang pencari madu. Mana mau mereka dengan anak seorang janda miskin tanpa
pendidikan.
Pahit? Jangan ditanya. Selama 55 tahun, hidup mbok Laksmi
hanya dipenuhi hutang juga kurang pangan. Rona tidak mau bekerja atau
meringankan urusan rumah tangga. Gadis cantik itu menghabiskan waktunya untuk kongkow dan berdandan. Salahnya juga,
tak pernah bertanya darimana baju juga peralatan make up Rona. Barang mahal itu menguap seperti endapan pertanyaan
yang jawabannya justru tak ingin didengar.
Malam itu, seperti biasa, sebatang rokok terselip di jemari.
Sedang taburan bedak juga polesan gincu, telah menutupi seluruh wajah si gadis
semata wayang. Mbok Laksmi pura-pura tidur, melipat mukena tuanya terburu-buru.
Kali ini ia tidak boleh gagal. Terakhir kali mengikuti Rona,
Mbok Laksmi malah tersesat dan harus berjalan jauh untuk menemukan angkutan
malam. Pilihannya adalah Senja. Pemuda canggung yang sebenarnya kaya raya.
Ratusan hektar kebun teh diwariskan langsung padanya kelak, saat meminang
seseorang.
Tak lama, dengan sebuah motor tua, mereka melaju, membuntuti
taksi yang membawa Rona membelah hujan. Begitu sampai di jalan utama, kepadatan
kendaraan membuat taksi itu menghilang dari pandangan. Senja putus asa lalu memutuskan
untuk mencari Rona sendirian. Sedang Mbok Laksmi dipanggilkan ojek dengan
alasan kesehatan. Mana bisa ia berterus terang tentang hubungan gelap mereka? Rona
tak mau membuat pengakuan karena memang memalukan. Berpacaran dengan Senja,
hanya untuk sebuah keuntungan belaka.
---
Dua jam sebelum kematian.
Rohim berlari kencang, berbaur dengan puluhan orang yang
tengah menari di bawah lampu diskotik. Ia tengah mencari Rona, menagih sisa
pembayaran semalam. Tak jauh dari sana, tubuh kurus khas pemakai narkoba,
bersembunyi di balik sofa. Seorang bartender berniat menegur, tapi Senja keburu
datang dan menyembunyikan kekasihnya ke balik punggung.
Setelah dirasa cukup aman, keduanya keluar dan mulai adu
mulut. Kalimat kasar juga umpatan sudah sering terdengar, tapi untuk Senja, itu
sudah lebih dari cukup. Gadis cantik yang awalnya menarik di mata, kini hancur
bagai lumpur kotor di kakinya. Senja pergi setelah memberi tamparan keras di
kedua pipi Rona. Malam itu, ia tidak menyangka, tangisan memilukan dari mulut
si gadis nakal, adalah salam perpisahan.
__
Dua puluh menit menjelang ajal, rumah.
Langkah terseok Rona, terhenti tepat di depan pintu kamarnya.
Gadis itu terkejut melihat barang juga pakaian berserakan tak karuan. Sosok
Mbok Laksmi yang sering menunggunya pulang, tidak terlihat di manapun. Kemana?
Mustahil rumah ditinggal dalam keadaan kosong. Meski tidak punya barang
berharga, mengunci pintu sudah menjadi kebiasaan lama.
“Ibu!” teriak Rona tak terima. Sebenarnya ia jarang bersikap
kasar kalau tidak keterlaluan. Apa ada maling buta yang merampok rumah kayu?
Mencari emas dalam lemari reot yang sering disinggahi tikus?
Tak kunjung menemukan ibunya, ponsel Rona berdering. Itu dari
Rohim, memintanya untuk datang ke dekat bendungan hilir. Ternyata mbok Laksmi
ada di sana, mengejar dokumen tanah yang dibawa Rohim sebagai jaminan.
Rona kebingungan. Hasil menyanyi juga merayu para hidung
belang, tinggal separuh. Tanpa pikir panjang, ia mendatangi rumah Senja.
Mengetuk jendela kamar si pria dengan lemparan kerikil. Sebuah umpatan
terdengar, lalu kekehan penuh kemenangan. Ia tahu ada masa dimana gadis sombong
itu akan merangkak di bawah kakinya.
“Beri aku harga dirimu,” sahut Senja menawar balasan budi.
Harga diri? Sudah lama aku menjualnya kalau malam hari, batin Rona menatap
bulan dari balik nyiur kelapa. Bayangan Senja lalu melompat keluar,
melemparinya uang.
“Dasar sampah,” tawa Senja meludah ke rerumputan. Mulutnya
sudah sering mengeluarkan kata-kata busuk, tapi hatinya justru merasa sakit.
Sebagai teman masa kecil, ia menganggap Rona bisa menjadi seorang wanita luar
biasa. Tapi, takdir tertulis dengan berbeda. Pemerkosaan yang disembunyikan
adalah satu dari belasan luka milik Rona. Senja tahu itu, tapi hanya bisa
menutup mata. Kondisi keduanya lemah tanpa bukti maupun kekuasaan.
---
Waktu kematian.
Di antara kegelapan pohon mahoni, Mbok Laksmi termenung, menatap
tiupan angin dingin pada rerantingan. Tak jauh darinya, Rohim menggeliat tak
sabar, menguap dan sesekali menghisap nikotinnya.
“Lama betul! Melayani siapa sampai aku harus nunggu dua jam?”
gertak Rohim menyambut kedatangan Rona yang sudah setengah sakaw. Bohong kalau
hati mbok Laksmi tidak hancur. Tapi untuk apa ia bicara? Selama ini menjadi ibu
hanya sebatas status saja. Gadis kecilnya sudah menjelma menjadi wanita asing nan
menjijikkan.
“Dasar jalang! Kau punya harta juga rupanya. Bagaimana kalau
tukar dokumen rumahmu ini dengan satu kilogram ganja? Jual lagi dan kau bisa
kaya raya,” bisik Rohim buru-buru mengantongi uangnya ke dalam saku celana.
Rona terkekeh, menggaruki leher juga lengannya. Ia butuh obat
untuk menghilangkan efek itu. Sayangnya, rumah mereka berjarak lumayan jauh.
Kaki tua mbok Laksmi tidak akan mampu berjalan sekayuhan sepeda.
“Mbok! Anakmu butuh suntikan. Ambilkan atau dia akan mati
karena melukai dirinya sendiri,” kata Rohim menggeleng tak peduli. Satu jam
lagi adzan berkumandang. Mana berani ia ada di sana dengan pecandu narkoba?
Kasus Rohim sudah terlalu banyak.
“I-ibu,” rintih Rona mulai menggigil, menggigiti bibirnya.
Kini tinggal mereka berdua, menikmati kekosongan di antara bunyi air bendungan.
Mbok Laksmi tak bergeming, hanya menatap tubuh anak semata wayangnya.
Tergeletak tanpa daya.
Akankah kematian membawa kedamaian? Lagi, suara dari alam
bawah sadarnya berbisik, meminta keputusan terbaik. Mbok laksmi sudah terlalu
tua untuk mendidik wanita dewasa. Selama ini banyak kejadian pahit dan
memalukan. Bisa-bisa Rona hanya akan menjadi perawan tua dan sengsara setelah
kematiannya.
“Nduk, kita akhiri saja, ya?” Ia tersenyum getir, menahan
sesak di sekujur tubuh.
Rona tak bisa menyahut. Inderanya sudah sulit untuk
dikendalikan. Apa maksudnya? A-aku tidak ingin mati sebagai seorang pecandu,
batin Rona merasakan pelupuk matanya berair. Tak lama kemudian, rasa sakit
menyerang, membunuh setengah dari kesadaran.
Sayup-sayup, terdengar tangisan lalu nyanyian. Rona ingat,
itu suara ibunya. Semasa kecil, ada banyak lagu daerah pengantar tidur. Mereka
akan bersenandung hingga mengantuk. Aroma tanah juga jagung bakar buatan sang
ayah adalah pengganjal lapar terbaik. Kemana kenangan manis itu? Begitu dewasa,
jarak adalah bumerang paling berbahaya.
“Maafkan ibu, Nduk. Maaf,” isak mbok Laksmi menatap tangannya
yang kini telah berlumur darah. Mata Rona membeliak kosong, menikmati napas
terakhir pada ujung pisau. Saat nyanyian itu berhenti, jeritan memilukan
mengganti kesunyian kecil di pinggiran kali. Sambil terus tersedu, diikatnya
selendang ke ujung kaki Rona. Diseret hingga benar-benar menggelincir jatuh,
menembus kedalaman air.
Jangan tanya bagaimana rasa lega itu justru datang saat
menghabisi darah juga dagingnya sendirian. Mbok Laksmi tidak bisa
melukiskannya. Tapi sesaat kemudian, ia dengan anehnya menggila. Terduduk lemah
lalu memutuskan akan menyusul Rona ke bawah.
Suara adzanlah yang kemudian membuat Mbok Laksmi tersadar
lalu bergegas pulang. Sepanjang jalan menuju rumah, wanita tua itu mengambil
rute berbeda. Hujan kemudian turun, menghapus jejak kaki juga darah. Seluruh
bukti DNA mengalir terbawa air irigasi. Sedang pisaunya? Entahlah. Mungkin
seseorang kemudian datang untuk membereskan. Hari itu Mbok Laksmi mengurung
diri seharian.
----
Masa sekarang, seminggu setelah pembunuhan.
Senja sama sekali tidak terkejut mendengar kematian mbok Laksmi.
Di pagi buta, janda tua itu sudah terbujur kaku di sekitar makam anaknya. Riwayat
penyakit asma menjadi alasan yang digunakan untuk menutup kasus kedua. Mungkin
ada kesengajaan mengapa waktu kematian adalah malam berhujan. Aroma lembab
tanah persawahan, terasa unik sekaligus seram.
Senja menyeringai, menatap ponselnya yang tengah berdering.
Kerumunan warga mulai berdatangan, membantu polisi wanita untuk memindahkan
jasad mbok Laksmi ke tempat pemandian. Tidak ada olah TKP. Warga setuju menutup
kasus itu agar media tidak membual tentang keburukan desa. Sudah cukup dengan
Rona, si pecandu narkoba. Kini, ibunya harus dimakamkan dengan tenang.
“Bukannya sudah berakhir?” tanya Senja pada seseorang di
ponsel. Tatapan nanar si pemuda kurus itu, menghantam dedaunan lalu mengamati
angin.
“Benar, dia tengah menemui Rona sekarang. Bagaimana denganmu?
Apa kau tidak rindu?” Ia tertawa, seperti menemukan kalimat termanis untuk
mengancam.
Senja tergugu. Menebak siapa sebenarnya si peneror. Alih-alih
takut, tiba-tiba saja bibirnya mengulas senyum gamblang.
“Aku sudah menemuinya lebih dulu. Tiga hari lalu.” Lagi, ia
menyeringai. Tiba-tiba hening lalu terdengar bunyi pip. Sambungan seluler
ternyata terputus secara otomatis.
Di sana, di antara puluhan pelayat, Senja berdiri, memegang
ponsel juga sebuah peci putih. Meski terik, tubuh itu tidak menimbulkan
bayangan apapun. Seperti sebuah benda transparan yang berbaur dengan udara
panas.
Tak jauh dari sana, Rohim duduk dengan wajah melotot takut.
Ia mengeja sebuah portal berita online dan menemukan kasus lain sebelum mbok
Laksmi. Ya, tentang Senja yang tergelincir ke bendungan hilir. Tepat tiga hari
setelah kematian Rona, ia mati tenggelam karena berusaha mengambil ponselnya.
Apa kau ingin menemui Rona? Bisikan itu kembali terdengar.
Menjemput hujan di atas tiga nisan. Mungkin kini Rona tidak bisa menemui
siapapun. Kehidupan sebenarnya sedang dihadapinya di liang kubur.
SEKIAN
Posting Komentar untuk "[Cerpen] Menemui Rona karya Eka Budi"