JIKA SENJA MENCINTAI JINGGA
Karya Umy Nasrukhah
sumber gambar : pikbest.com
Di taman belakang rumah, seorang gadis cantik dengan netra cokelatnya tengah memandangi senja yang terhampar indah di langit sore. Warna senja itu mengingatkan kepadanya tentang seseorang. Seseorang yang diabaikannya tetapi orang tersebut telah rela berkorban untuknya.Tak terasa buliran bening membasahi pipi chubby-nya ketika memori tentang seseorang itu terus berputar di otaknya bagaikan kaset rusak.
Jakarta, 8 Maret 2016
"Dia siapa, Bun?" tanya Senja ketika menyadari Bunda Dila bersama seorang gadis yang ia perkirakan usianya lebih tua darinya.
Bunda Dila merangkul bahu gadis yang bersamanya tadi.
"Senja perkenalkan ini adalah Jingga," ujarnya lembut.
Bunda Dila menatap Jingga lekat dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya.
"Jingga dia adalah Senja. Adik kamu," ujar Bunda Dila seraya menyentuh bahu Senja.
Senja membeliakkan matanya tak percaya akan pernyataan Bunda Dila yang mengatakan bahwa dirinya adalah adik dari gadis asing di depannya, juga berarti orang asing itu adalah kakaknya. Jingga tersenyum manis seraya mengulurkan tangan kanannya sebagai salam perkenalan.
“Hai Senja,” sapanya ramah.
“Aku senang sekali bisa bertemu denganmu. Ternyata, apa yang dikatakan oleh Bunda benar, kamu sangat mirip dengan Ayah,” lanjutnya.
“Ayah? Apa dia mengenal Ayah? Siapa sebenarnya orang ini?” batin Senja bertanya-tanya.
Senja menatap sinis tangan Jingga yang masih menunggu dirinya membalas uluran tangannya.
“Adik? Apa maksud Bunda?” tanya Senja bingung karena Senja tidak juga membalas uluran tangannya.
Akhirnya Jingga pun menarik tangannya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, ia merasa sedih. Ternyata, Senja tidak bisa menerima kehadiran dirinya. Bunda Dila tersenyum getir, ia tidak tahu harus menjelaskan apa kepada putri bungsunya.
“Senja, nanti kita bicarakan lagi ya. Sekarang, kamu antar Kak Jingga ke kamar kamu dulu,” ujar Bunda Dila mengalihkan pembicaraan.
“Apa Bun? Senja tidak salah dengar? Senja harus tidur sekamar dengan orang asing ini?!”
“Senja! Jingga bukan orang asing, dia adalah kakak kamu.” Bunda Dila mencoba member pengertian kepada Senja.
“Kalau begitu, Bunda jelaskan siapa sebenarnya wanita ini?!”
“Bunda akan jelaskan semuanya. Tapi, nanti ya? Sekarang, biarkan Kakak kamu istirahat dulu.”
“Bun, kalau memang Senja tidak ingin tidur sekamar dengan Jingga, Jingga bisa tidur di mana saja kok, Bun.” Jingga menyela pertengkaran antara Bunda Dila dan Senja.
“Bagus deh, kalau kamu peka. Aku tidakmau sekamar sama kamu dan … aku juga tidak mau menerima kamu. Apa pun alasannya,” ucap Senja sarkastis.
“Senja!” Suara Bunda Dila menggelegar ke seluruh penjuru rumah.
Senja tersentak, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak menyangka bunda yang selama ini memperlakukannya dengan lembut, sekarang membentaknya hanya karena seorang gadis asing yang tiba-tiba muncul dan menganggu hidupnya.
“Bunda bentak aku? Ini kali pertamanya Bunda bicara dengan nada keras. Aku benci dibentak!”
Senja berlari keluar rumah, ia tak memedulikan Bunda Dila yang meneriaki namanya berulang kali.
***
Sebuah mobil sedan hitam melaju cepat ke arahnya dan …
Braaakkk!
Jakarta, 12 Mei 2016
Bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman ketika Senja mulai membuka matanya.
“Kamu sudah bangun, Sayang?” tanya Bunda Dila yang berada di sampingnya.
Secara refleks, buliran bening membasahi pelupuk mata Senja. Ia melepas alat bantu pernapasan yang melekat pada hidungnya lalu beranjak dari posisinya untuk memeluk Sang Bunda.
“Bun… Senja bermimpi dunia ini gelap, Bun. Senja tidak bisa melihat apa pun,” ujar Senja semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Bunda Dila.
Air mata Bunda Dila pun ikut mengalir. Bunda Dila melepaskan pelukan Senja. Lalu menangkup pipinya.
“Itu semua bukan mimpi, Sayang.” Senja terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh bunda-nya.
“Ma … maksud Bunda apa?”
“Tiga bulan yang lalu kamu mengalami kebutaan karena kecelakaan yang menimpa kamu. Kornea mata kamu mengalami kerusakan. Seminggu setelah kecelakaan, kamu sempat sadar dan tidak bisa menerima keadaan kamu. Mungkin kamu sudah lupa karena kamu mengalami koma,” jelas Bunda Dila yang masih tidak dimengerti oleh Senja.
“Mata yang saat ini kamu gunakan untuk melihat adalah mata Kakak kamu, Jingga,” lanjut Bunda Dila.
Senja membekap mulutnya rapat-rapat, air matanya kembali jatuh.
“Bunda bercanda ‘kan?”
“Bagaimana mungkin Bunda bisa bercanda kalau ini menyangkut putri Bunda?” Bunda Dila menghapus air matanya yang telah beranak sungai.
“Orang yang kamu benci dan tidak bisa kamu terima kehadirannya. Dia yang telah mendonorkan matanya untuk kamu karena dia tidak ingin kamu hidup dalam kegelapan.” Penjelasan Bunda Dila membuat tangisan Senja semakin keras.
Ia telah salah menilai Jingga. Dia hanya bisa menangis meraung-raung menyesali sikapnya yang sangat buruk terhadap Jingga.
“Kak Jingga?” jerit pilu Senja menggema di dalam ruangan.
****
“Senja?” Pikirannya tentang satu tahun silam dibuyarkan oleh panggilan lembut Sang Bunda.
Senja menghapus air matanya cepat agar Bunda Dila tidak mengetahuinya. Senja menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya.
“Bunda?” Bunda Dila ikut duduk bersama Senja di kursi kosong di sampingnya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Bunda Dila sembari mengusap lembut pipi putri bungsunya.
“Kamu merindukan Kakakmu?” lanjutnya.
Senja terisak pelan.
“Kenapa Bunda mengizinkan Kak Jingga mendonorkan matanya untuk adik tak tahu diri seperti Senja ini, Bun?”
“Jingga mengalami pneumonia akut. Itu sebabnya dia ingin bertemu dengan kamu sebelum dia pergi untuk selama-lamanya dan …,” Bunda Dila tak kuasa melanjutkan ceritanya.
“Dan … dia memutuskan untuk memberikan matanya untuk kamu. Dia bilang bahwa sebentar lagi matanya tidak akan berguna lagi karena dia akan pergi. Apa yang dikataknnya memang benar, dia meninggal sebulan setelah mendonorkan matanya,” jelas Bunda Dila dengan air mata yang merebak dari pelupuk matanya.
“Bunda juga tidak pernah cerita bahwa Bunda pernah mempunyai suami sebelum alm. Ayah dan memiliki seorang anak.”
“Bunda mengira tanpa kamu tahu, kamu akan menerima kehadiran Jingga di tengah-tengah kita. Tapi, nyatanya tidak,” ujar Bunda Dila pilu.
“Bunda merasa kasihan kepada Jingga, setelah Bunda bercerai dengan suami Bunda sebelumnya, dia harus tinggal bersama nenek buyutnya dan Bunda tidak pernah lagi menjenguknya setelah Bunda menikah dengan alm. Ayah kamu.”
“Apa almarhum Ayah telah mengetahuinya?” Bunda Dila mengangguk samar.
Senja memeluk tubuh rapuh Bunda Dila. Ia merasa bersalah kepada Bunda Dila karena Jingga tidak bisa merasakan kebahagiaan sebelum ia pergi karena dirinya.
“Kak Jingga, aku akan menggunakan mata ini untuk selalu mengawasi dan juga menjaga Bunda. Maafkan aku, Kak. Jika saja aku bisa menerima Kakak, semua ini tidak akan pernah terjadi. Aku selalu mendoakan agar Kakak bisa beristirahat dengan damai di sana.Aku merindukanmu, Kak.” Doa Senja dalam hati.
****
SEKIAN.
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Umy Nasrukhah
Pekerjaan : Editor AT PRESS MAKASAR
Media Sosial
>>Instagram : @umy.nasrukhah
Posting Komentar untuk "Cerpen Mengharukan UMY NASRUKHAH [EDITOR AT PRESS MAKASAR], "JIKA SENJA MENCINTAI JINGGA""