Penulis: Windu Syahfitri
Suasana senja sore bertabur kilau cahaya syahdu, pojok meja sebelah utara di lantai dua, tempat paling sepi bagi Kafe Kenangan. Tempat yang tak terlalu menarik bagi pengunjung lain namun engkau menjadikannya sangat favorit. Aku heran mengapa kau memilih duduk di meja ini sembari menunggu kedatanganku.
“Duduklah! Aku hampir menunggu setengah jam,” ucapmu tanpa menoleh ke arahku.
“Yaa,” ucapku peluh menghela nafas dan terpana melihat parasmu yang semakin bersinar dengan kemilau cahaya mentari senja.
Ardian Prasojo, pria idaman yang selalu menarik wanita yang berada di sekitarnya. Aura parlente dengan parfum wangi entah berapa ratus ribu atau jutaan harganya. Bahkan sengaja ribuan palang besi ku coba untuk menutup hati terpaksa harus roboh ketika aku menatap matanya.
“Besok kujemput di depan kontrakkanmu, jam delapan pagi tepat. Ingat, aku tak suka menunggu.”
“Mengerti.”
“Billnya sudah kubayar, minum lattemu dan pergilah.”
Kau pun berlalu tanpa mengucap selamat tinggal padaku. Semakin berdebar, aku tak pernah tau apa yang akan terjadi esok hari.
***
Hawa embun pagi masih terasa, gemericik air jatuh dari atap asbes kontrakkan masih sering terdengar. Hiruk pikuk lalu lalang depan gang kontrakkan dengan sedikit tatapan heran sengaja menoleh ke arahku. Aku menjadi salah tingkah, apa ada yang salah dengan penampilanku. Apa aku memakai baju kurang sopan atau mereka sengaja menoleh karena aku terlihat cantik. Aku tertawa kecil berharap Ardian akan bertingkah seperti mereka ketika melihatku.
Brmmm brmm… tin tin.. bunyi klakson mengagetkanku. Mobil hitam jenis R*nge R*ver yang hanya biasa kulihat di parkiran Kafe Kenangan mengapa bisa berhenti depan gang kontrakkan sempit ini.
“Masuklah,”jelas suara pria bersamaan jendela mobilnya bergerak turun.
Aku tertegun, ternyata pemilik mobil adalah Ardian Prasojo. Berulang kali aku curi dengar dari pengunjung kafe jika pemilik mobil ini adalah pria yang tampan namun berhati dingin. Banyak pengunjung kafe dari mahasiswi, karyawan kantor, atau gadis belia seusia SMA mencoba berkenalan namun semua diacuhkan. Sekarang pemilik mobil ini malah menjemputku. Kaki kupaksa maju mendekat dengan sembari tangan memegang tali tas kecil di pundakku.
Aku bingung bagaimana aku bisa masuk, sebelah mana handle pintunya, apakah bisa terbuka jika ku menariknya atau malah berbunyi alarm maling seperti yang kulihat di TV. Lamunanku hilang, kesadaranku kembali ketika aku sudah duduk di sebelah kemudi. Ardian tak berucap, dia menginjak pedal gas nya dan menatap jalanan di depan. Aku pun diam sebari menikmati duduk di mobil mewah. Entah, material kulit apa yang ada di jok kursinya, terasa sangat nyaman. Ku lirik interior kabin sembari melihat ke kiri jendela, kulihat seorang ibu yang hampir terpental dari jok motor karena polisi tidur. Aku terkejut apa aku akan terpental sepertinya, ku pejam mataku namun tak terasa apapun. Apakah ini rasanya naik mobil mewah dan berasa seperti kaum sosialita.
“Turunlah,” pinta Ardian.
“Baik. Bukankah kita akan ke rumah kakekmu di Malang? Mengapa berhenti di butik?”
“Kakekku bakal mengusirmu jika melihat dandananmu hari ini,” ucap Ardian sembari mendekatkan bibirnya ke arah pipiku. Aku memejam mata, berpikir dia kan mencium pipi kananku.
“Masuk, suruh pegawai pilih baju paling mahal, jangan lihat tag, suruh MUA hapus make upmu, suruh make over natural, bayar semua ini kartunya!” bisik Ardian. “Lagi, waktumu hanya 30 menit.”
Aku bergegas masuk ke dalam butik menuruti perintah Ardian. Waktu setengah jam terasa setengah hari baginya. Aku takut membayangkan bagaimana dia akan marah jika terlalu lama menunggu. Setengah berlari menuju mobil Ardian setelah aku merubah penampilan. Hampir saja aku masuk pintu belakang karena panik.
“Bagus!” Ardian tersenyum tipis sembari mengaitkan seat belt milikku. Hampir saja kami beradu bibir, terlihat jelas betapa halus dan bersih kulit pipinya dengan tindik kecil di telinga. Tuhan, mengapa kau ciptakan dia begitu sempurna.
Mobil Ardian melaju kencang, memasuki pintu tol Darmo Satelit berlanjut ke arah Malang. Ku pandangi jalanan, betapa panjang dan lebar jalan. Seingatku dulu bus yang kunaiki selalu macet dan memakan waktu lama jika akan ke Malang. Pikirku berapa lama lagi aku akan duduk dengan canggung. Ah, anggap biasa saja seperti naik angkot ketika aku pulang ke Lamongan.
Pandanganku tertuju pada rumah-rumah ketika jalanan terasa mendaki dan sesekali ku berpikir jika pemerintah sengaja membelah gunung membangun jalanan, memisahkan guyup rukun tetangga desa demi menciptakan keefisienan mobilitas warganya. Bunyi lantunan musik klasik sering kali berpindah setelah tangan Ardian menyentuh bagian layar yang ada di kiri setirnya. Alunan melodi dari pianis entah siapa namanya membuat mataku redup. Hilang keasadaran dan terasa begitu tenang. Aku begitu lelap mengingat kemarin aku hanya tidur tiga jam saja.
***
Kling kling
Bunyi pesan hapeku nampaknya memaksaku membuka mata. Entah berapa lama aku tertidur. Rasanya nyaman walau hanya bersandar pada kursi mobil dengan hembusan air conditioner tepat di depanku. Aku tertegun melihat halaman luas dengan rumah berpilar tinggi menjulang. Putih bersih warna cat hampir menyeluruh tiap sisinya.
“Sudah bangun?” tanya Ardian. Aku pun mengangguk dengan mengusap mata dengan tisu. Takut maskaraku beleber karena tidur.
“Nanti jika ditanya kita bertemu dimana, jawab saja di kafe tengah kota. Jangan cerita jika engkau bekerja sebagai office girl, bilang saja engkau mahasiswi tingkat akhir!”
“Siap, tuan muda,” sahutku untuk memecah kecanggungan namun Ardian hanya melirik tanpa tersenyum sedikit pun.
Kami berjalan beriringan, hatiku gugup dan ragu. Takut jika aku menjadi gagap ketika berbicara. Aku harus pede, bukankah aku mahasiswi jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Bahkan aku sudah selesai praktek mengajar di sekolah swasta terkenal dan mendapat nilai terbaik. Bukankah aku sudah terbiasa menghadapi pengunjung kafe. Langkah Ardian begitu cepat membuat jarak beberapa langkah di depanku.
Halaman rumah terpampang luas. Ku nikmati tanaman hijau yang ada di sekitar parkiran mobil. Tampak berjejer gantungan anggrek entah berapa jumlahnya. Rupanya sang pemilik rumah menyukai tanaman anggrek. Yah, mungkin harga satu tanaman anggrek baginya tak begitu mahal. Tapi jika dihitung jumlah semua anggrek dikalikan harga di pasaran waw pasti cukup untuk membayar uang kuliahku dari semester satu hingga wisuda. Hehehe
Kami terus berjalan hingga ke dalam rumah. Langkah Ardian terhenti tepat di samping kolam ikan sambil terus menatap seorang pria yang sibuk menabur pakan ikan. Tampak seorang pria tua dengan guratan keriput di wajahnya, rambutnya hampir putih semua, sambil sesekali memegang kursi di sebelah kolam tempatnya berdiri. Pria itu tersenyum melihat betapa lahap ikan-ikannya menangkap bulir-bulir dari tangannya.
“Oh, kau sudah datang Ardian. Kakek pikir kau sudah lupa dengan kakekmu ini.”
“Aku datang bukan untuk melihat kakek melainkan untuk merayakan birthday mama.”
“Ahaha, iya iya. Kakek sudah menyiapkan di meja makan.”
Kami bertiga menuju meja makan, kulihat kakek Ardian begitu antusias menceritakan kegiatan paginya. Sengaja menyiapkan makanan demi cucu kesayangannya. Pecel Kawi ini terasa nikmat di lidah ditambah senyum kakek ketika menceritakan perjuangannya membeli dan mengantri pecel Kawi. Warung makanan khas Malang yang selalu rame pengunjung. Begitu yang sering ku dengar ketika beberapa teman asli Malang yang sering bertukar cerita di kampus.
Rrrrr rrrrr, Ardian merogoh saku dan mengambil handphonenya. Meminta ijin untuk keluar sebentar. Setelah selesai berbincang di telpon, Andrian kembali ke meja makan. Tak banyak bicara dan segera menyelesaikan makan siangnya.
“Kakek, paman Handoyo memintaku untuk bertemu di kantornya.”
“Pergilah, biar gadis manis ini menemani kakek berbincang di kolam.”
Ardian memandangku, menyakinkanku bahwa kakeknya akan mengajaknya berbincang dan takkan membuatku merasa bosan selama dia pergi. Benar saja, kakek Ardian sangat pandai mencari topik pembicaraan. Bagiku lebih nyaman bersama kakeknya dibanding dengan cucunya. Gumamku lirih.
Kakek Ardian mengajakku untuk berbincang di samping kolam koi tak jauh dari meja makan. Kakek Ardian memandangi lukisan di tembok sesekali menoleh ke arahku. Kakek pun tiba-tiba memintaku duduk dan mendengar ceritanya. Kakek bercerita awal mula betapa acuhnya Ardian kepadanya. Alasan mengapa Ardian yang dulu begitu ceria berubah menjadi sosok yang dingin. Sesekali aku pandangi lukisan wanita di tembok itu. Tampak familiar dan tak asing bagiku.
Kakek menerawang jauh dengan menyeka air matanya. Tepat di hari ini pada dua puluh tahun lalu menjadi hari bahagia sekaligus kelam bagi keluarganya. Ibu Ardian memutuskan mengakhiri hidupnya karena depresi yang dideritanya. Ayah Ardian pergi dengan wanita lain dan memilih berpaling hati dari istrinya. Ibu Ardian depresi, menyalahkan dirinya atas keretakan rumah tangganya. Suami yang dia cintai berpaling karena merasa terintimidasi olehnya. Ibu Ardian menyalahkan suaminya karena keuangan keluarganya ,modal usaha, dan bisnisnya hancur imbas dari krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1998. Sedangkan kakeknya tidak mampu mendamaikan malah meminta ayah dan ibu Ardian berpisah. Kakek Ardian tak menyangka anaknya malah mengakhiri hidupnya di saat Ardian yang berumur lima tahun sedang menyiapkan pesta untuknya.
Kakek memegang tanganku, berkata jika aku tampak hampir mirip dengan anaknya. Bahkan berkata mungkin saja aku adalah reinkarnasi anaknya sambil tertawa. Aku pun menahan tawaku. Andai benar jika aku reinkarnasi ibunya maka Ardian harus memanggilku dengan sebutan ibu. Sejenak aku teringat ucapan Pak Miko, owner Kafe Kenangan, jika Ardian tiap datang memintaku secara khusus untuk menemaninya minum kopi hanya dengan alasan aku mirip dengan seseorang yang berarti baginya.
Satu jam kemudian, Ardian pun datang. Kami berpamitan pada kakek untuk segera pulang ke Surabaya. Kakek berpesan agar kami sering-sering mengunjunginya. Aku hanya bisa mengangguk, tak berani menyanggupi janjinya. Sementara Ardian tidak menjawab dan tetap berjalan keluar rumah. Mungkin bagi Ardian kakeknya menjadi penyebab ibunya meninggal sehingga sikapnya begitu dingin. Punggungnya tampak begitu lebar terasa terbiasa menanggung segunung kesedihan.
Mobil Ardian melaju kencang, masih dengan perangainya yang dingin, membuatku membayangkan apakah kelak bisa merubahnya menjadi sosok yang hangat. Segala sesuatu tentunya mungkin saja bisa terjadi. Walau dia telah membuat gunung es selama dua puluh tahun, aku yakin aku mampu mencairkannya.
***
Beberapa bulan kemudian, pak Miko mengajakku ke Malang. Ardian secara khusus meminta pak Miko menjemputku. Hatiku berdebar gelisah tak karuan, pak Miko yang biasanya banyak bicara mendadak menjadi seorang yang bisu. Bahkan tak keluar sepatah kata pun dari bibirnya. Sesampainya di rumah kakek Ardian, pak Miko menunjuk sebuah kamar di lantai atas. Aku pun berjalan ke kamar sesuai arahan pak Miko. Benar dugaanku, Ardian sedang duduk di samping ranjang kakek, memegang erat tangan kakek sambil menahan air matanya. Ruangan itu cukup luas, cat putih dengan kelambu putih terkesibak angin semilir terasa begitu dingin. Aku tau Malang berhawa dingin tapi bukan dingin yang seperti ini.
“Dewi, kakek menunggumu dari kemaren loh,” suara lirih kakek. Aku tau dia menahan sakit demi berusaha berbicara padaku.
“Iya, kek. Kemaren Dewi ujian proposal. Dewi pingin dari kemaren kesini tapi dosen Dewi menyuruh segera revisi,” candaku mencairkan dinginnya suasana.
“Kakek tak bisa lama-lama ngobrol denganmu, padahal kakek sedang kangen. Tapi sebentar lagi kakek bisa berkumpul dengan nenek dan ibu Ardian.”
“Kakek jangan bercanda dong! Dewi kangen makan pecel Kawi loh kek, ayo gih kita makan lagi kaya pertama dulu,” tak terasa air mataku ikut berlinang.
“Kakek boleh tidak minta tolong. Nanti tiap hari buatkan Ardian caffe latte ya, temani tiap sorenya! Jangan pernah buat dia bersedih, buatlah dia marah agar dia mau berbicara padamu. Jadilah orang yang mau menerima keluh kesah Ardian karena kakek tidak pernah bisa begitu padanya.”
Aku benar-benar hancur, entah betapa tak karuan hatiku. Benar aku bukan siapa-siapanya. Bahkan hanya beberapa kali bertemu setelah pertemuan pertama itu. Semenjak pertemuan pertama itu, tiap minggu Ardian memintaku menemaninya menemui kakeknya. Melihat pria rentah itu tak bernafas membuatku semakin rapuh. Tuhan, aku turut merasakan penyesalannya. Betapa dia menyesal karena tidak membuat cucunya bahagia.
***
Beberapa bulan setelah kepergian kakek Ardian, kami tak pernah bertemu. Aku hanya mendengar sesekali dari pak Miko. Berulang kali ku coba menghubunginya namun sia-sia. Pesanku memang terbaca tapi tak berbalas. Sore ini, aku menunggu pesannya sambil menikmati caffe latte di meja pojok favorit Ardian. Masih terasa aroma semerbak parfum, senyum dingin itu menggerogoti hatiku. Seakan hatiku larut tersapu deburan rindu layaknya aroma caffe latte yang hilang tertiup angin.
Tiit tiit..
“Dia membalas pesanku,” gumamku.
Selamat ya! Semoga acara wisudanya lancar. Maaf aku takkan datang. Terima kasih untuk bantuannya selama ini. Sebagai hadiah sejumlah uang sudah ku transfer ke pak MIko. Semoga bisa digunakan menggapai cita-cita.
“Bukan ini yang aku ingin. Pesan kakekmu apakah kau lupa? Aku ingin menjadi orang yang selalu menemanimu. Orang yang menghibur di kala kau sedih. Bukan seperti ini,” aku terisak begitu tega dia terhadapku.
***
Waktu berlalu, tak terasa sudah sepuluh tahun dia tak menghubungiku. Aku tetap setia menunggunya. Tak sedikit pria yang mencoba mendekatiku namun aku tak pernah bisa membuka hatiku. Aku tak pernah ingin sosoknya digantikan yang baru. Aku tak pernah rela. Aku hanya ingin dia yang datang dan mengisi hatiku.
Ku pandangi cangkir caffe latte, uap meletup menandakan begitu panas airnya. Namun tak mampu menghangatkan hatiku yang dingin. Ku pejam mataku, kudengar lagu sedih dari Justin Bieber dan mataku takkan mampu menahan air mata ini.
Cause nothing can ever, every replace you
Nothing can make me feel like you do, yeah
You know there’s no one, I can relate you
I know we won’t find a love that’s so true
Aku percaya dia pasti datang. Aku tetap menunggu dan akan menunggunya. Secangkir coffe latte menepis sedikit rinduku. Aroma coffel atte akan terbang membawa rinduku. Terbawa semilir angin mengetuk pintu hatinya. Menarik dan membawanya kembali ke hadapanku. Aku rindu serindu rindunya. Ribuan cangkir caffe latte tidak akan bisa menghapus rasa perih ini.
The End
Posting Komentar untuk "CAFFE LATTE RINDU"