“Untuk
apa kita hidup?”
Satu kalimat tanya yang
simpel tapi bisa menghadirkan sejuta jawaban. Saat ditinjau dari sisi agama,
kita akan menjawab “ya, kita hidup untuk mempersiapkan kehidupan selanjutnya”.
Saat ditinjau dari sisi materi, kita akan menjawab “apalagi kalau bukan untuk
memperkaya dan membahagiakan diri. Lain lagi saat kita tinjau dari sisi filsuf,
“tak lain untuk menjalani takdir”. Salah? TIDAK! Tidak ada jawaban yang salah
atas hal ini. Yang salah adalah saat kita tak memiliki tujuan apapun dalam
menjalani kehidupan.
Dalam
sudut pandang ini, sebagai manusia tentunya kita tak akan lepas dari namanya
kesalahan dan kelalaian. Tapi jika langkah stuck menjadi solusi maka selamanya
tak akan berkembang dan menemukan titik spketakularyang bisa menjadikan kita
sebagai manusia yang hebat. Hal ini seringkali kita jumpai dalam pencarian
solusi menghadapi masa depan. Setelah menemukan langkah apa yang harus dilalui
untuk mencapai sebuah harapan, ketakutan dan kekhawatiran akan berbagai hal
akan muncul. Padahal belum tentu ini menjadi rintangan, justru bisa menjadi
tantangan yang siap memberikan hadiah saat kita berhasil melaluinya.
Sebagai
calon pemangku nasib di masa depan tentunya kita bertanggungjawab penuh atas
hal ini. Membangun peluang seluas mungkin yang tak hanya memberikan dampak bagi
diri sendiri, tapi juga orang lain. Tentunya ini bukan saja bicara soal profit,
tapi juga soal nilai sosial yang erat kaitannya dengan hukum aksi reaksi. Saat
kita melakukan suatu aksi, tentunya reaktan akan memberikan reaksi sesuai
dengan apa yang kita perbuat.
Hukum
yang menjadi salah satu elemen kehidupan inilah yang harus kita pegang teguh
selama membangun motivasi dan rencana hidup. Bukan saja berjalan lurus dan
bersikap acuh, tapi juga menengok sejenak untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan
bisa membawa dampak positif bagi orang lain. Dari sinilah secara tidak langsung
kita membangun trust yang bisa membawa arus energi positif ini lebih besar
terhadap diri kita.
Lantas
apa kaitannya dengan dunia bisnis?
Tentunya saat kita
memutuskan untuk menjadi seorang pebisnis, ada resiko besar yang akan kita
hadapi. Kalau bukan untung, ya buntung (baca: rugi). Resiko buruk inilah yang
menjadikan seseorng akhirnya takut untuk mengambil langkah. Padahal jika kita
kaitkan pada hukum aksi reaksi tadi hendaknya kita tak perlu khawatir dengan
resiko ini. Semakin banyak kita menebar kebaikan, maka akan semakin banyak pula
peluang kebaikan yang akan menghampiri. Semakin banyak kita bangun kepercayaan
orang lain terhadap produk yang kita tawarkan, semakin besar pula peluangnya
yang akan kita dapat bahwa produk tersebut suatu saat bisa melejit pesat.
Memang
untuk mendapatkan titik nyaman ini butuh perjuangan dan pengorbanan ekstra. Ada
nilai kesabaran yang harus kita tangguhkan dalam diri. Bukan satu dua tahun,
bahkan bisa sepuluh sampai dua puluh tahun jika tetap konsisten kita bisa dapat
apa yang sudah kita tanam sepanjang waktu itu. Oleh karenanya, sebagai calon
pebisnis hebat mari kita tanamkan dalam diri bahwa apa yang kita perjuangkan
saat ini bukan sekedar untuk kebaikan diri di saat ini, tapi juga kebaikan anak
cucu kita serta masyrakat di masa mendatang.
Tak
ada salahnya kita menebar benih di lahan 10 hektar. Tak ada salahnya juga kita
jumpai masa gagal panen. Tapi ingat, jangan sampai kita berhenti menebar untuk
selanjutnya sehingga lupa kalau masih ada kesempatan untuk mendapatkan peluang
panen besar di masa selanjutnya.
Oleh : Zhivna Afniza
Posting Komentar untuk "Hukum Alam vs Bisnis"