Penulis: Fatimah Astudy
Tiga remaja
dengan langkah tergesa berjalan memunggungi sesosok wanita separuh baya nun di
bawah rindang pohon mahoni. Wanita itu terpekur. Genangan di sudut matanya
tumpah meleleri masker biru yang menutupi sedikit garis kerutan yang membingkai
tulang pipinya.
“Buk, kami
permisi! Fauzan dimintai abangnya pulang membantu mengangkat pelepah sawit!” Anak berbaju merah membuka
suara.
“Bagaimana
denganmu?” mata wanita yang disapa ibu itu menyelidik penuh arti, menyiratkan
binar pengharapan.
“Saya juga ikut
membantu mereka.”Si anak menimpali pertanyaannya sambil menyentuh ujung
hidungnya yang tak gatal.
“Pergilah!
Ingat belajar untuk persiapan ujian esok yah!” Tanpa menunggu penjelasan si
anak ke-3 yang merupakan adik kandung Fauzan, Si Ibu yang rupanya guru dari ketiga remaja tanggung tadi, serta
merta mengizinkan. Lengkungan menanjak
pada kedua sudut matanya, menandakan ia sedang tersenyum dari balik maskernya
sambil memaknai gelagat si pembicara.
“Tuhan, saya
gagal!”
Batinnya hampa.
Tentu hal itu bukan karena permintaannya untuk ditemani ke kota tertolak oleh
ketiga remaja tadi. Pun atas intuisinya yang membaca tabiat dari ketiga remaja
yang menjadi tumpuan harapan terakhirnya saat ini. Bahkan, sejak dia untuk
pertama kalinya mengutarakan maksud mengajak ketiga remaja tadi, hatinya sudah
meragu. Pantaskah ia memanfaatkan profesinya untuk kepentingannya sendiri?
Ataupun mengatasnamakan berkah mengistimewakan seorang guru dengan menaati
peintahnya atas alasan apapun? Seorang guru sepertinya yang dinilai berdedikasi lemah lantaran kurang
merespon laporan berbulan-bulan. Di bilik nuraninya, ada tabir akan perasaan kesepian
dalam mengambil beberapa keputusan kilat yang mesti dia pertanggungjawabkan sendiri
demi masa depan siswa-siswanya. Mundur ke belakang, dia menyadari penurunan
reputasinya sebagai seorang pendidik atas beberapa respon sekitar yang tidak
kondusif, semisal kelas onlinenya senantiasa
kosong, homevisit yang tidak diindahkan, dan pengurusan pelengkap admininstrasi
siswa yang mengharuskannya memeras otak dalam mengumpulkan semua dokumen yang
enggan diberikan oleh si-empunya dengan secepat kebutuhannya. Tambahan lagi,
terkadang dia terpaksa meluruhkan gengsinya untuk mengemis dan meminta-minta
kepada siapa saja yang punya kuasa demi memuluskan usahanya dan berakhir gagal.
Sebuah kegiatan yang meluruhkan benteng idealismenya dan sederetan tetek bengek
kurikulum, pola pengasuhan karakter, ataupun alternative penggalian bakat minat
demi merebut hati para buah hati kesayangannya pun sudah dijabaninya dengan
jatuh bangun berujung hasil dikali nol.
“Sekali lagi
ini bukan salah mereka! Anak tidak pernah salah, begitupun siswa.”
Wanita berbalut
dress pink berjilbab abu-abu dan sepatu kets senada, perpaduan pink dan abu-abu
itu, mengembuskan napas berat. Refleks, dia lalu mengucek pangkal kelopak mata
kanannya. Mungkin ada debu yang tetiba masuk ke sana, sebab air matanya sudah
dikeringkan oleh angin sedari tadi. Diperbaikinya kembali posisi ranselnya yang
bersandar di batang mahoni. Lalu, dia menata dua buah laptop berdaya full, satu
map cokelat berisi beberapa berkas penting, sebuah modem, sebuah dompet pink
dan sepasang baju ganti yang semuanya satu di dalam ransel hitam dengan brand
Adidas, sembari menelisik gawainya yang masih menunjukkan sinyal edge. Tak
lama, ia berjalan di bawah terik memasang mata awas pada plat kendaraan umum
yang mungkin sudi mengantarnya ke kota. Sesungging senyuman khas lagi-lagi
merekah di wajahnya. Namun, senyumannya kali ini berbeda dengan senyuman tadi
saat hampir dua jam menunggui kendaraan bersama ke-tiga muridnya. Senyumannya yang
ini tersungging tanpa bumbu keraguan ataupun rasa bersalah akan kemungkinan
menanggung pertaruhan nyawa tiga anak yang tak jadi membersamainya.
“Seharusnya
memang rencanaku bukan pada hari ini atau tidak pernah sama sekali!” Tangannya
mengibas udara di depan pelupuk secara asal. Tadinya, ia berniat menunaikan
rencananya menghadiahi paket jalan-jalan ke tempat wisata untuk ketiga siswa
yang terbilang sedikit rajin mengumpulkan tugas-tugas harian serta memiliki
dokumen bepergian lengkap, di antara puluhan siswanya yang lain. Setali tiga
uang, ia juga bermaksud mencari jaringan selular untuk memperbaiki beberapa
data-data siswa lainnya secara online yang hari ini merupakan deadline setelah
dua hari berturut-turut dia bolak-balik ke kota atas pekerjaan yang sama nan
belum kelar serta menyisakan memar di kedua punggungnya yang sudah tidak sekuat
baja akibat menanggung beban si adidas hitam.
Akh, andai
mereka tahu, gerangan apa yang meresahkan benak perempuan separuh baya yang saat ini sedang datang bulan
sambil menanggung pekerjaan serba multi dan masih berusaha beradaptasi dengan
beberapa kebiasaan baru demi bertahan hidup sendiri di negeri orang. (Fatimah Astudy)
Posting Komentar untuk "AIR MATA BERKAH! - Cerpen Fatimah Astudy"