Penulis : Lu'luun Nafisah - Editor: Endik Koeswoyo
Foto Oleh : Bagus Darianto |
“Aku pacar kamu, Mir!” tegas Reno saat Amira lebih memilih pergi bersama Andrian—laki-laki pilihan Papa yang dijodohkan untuk Amira.
“Bagaimana bisa kamu lebih memilih pergi dengan laki-laki asing daripada dengan pacar kamu sendiri?”
Amira terdiam. Bingung harus bagaimana lagi menjawab pertanyaan Reno. Ia sudah kehabisan alasan karena hampir setiap hari Amira diserbu pertanyaan yang sama oleh Reno.
Sedangkan Adrian, laki-laki sudah dijodohkan untuk Amira sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun setiap kali mendapati kondisi seperti ini. Seolah Adrian tidak peduli dengan kegelisahan yang dirasakan oleh Amira.
“Adrian mencintai kamu. Papa tidak mungkin menjodohkan kamu dengan laki-laki yang tidak menyukaimu, Amira”
Satu kalimat yang diucapkan Papa di saat malam pertama Amira bertemu dengan Andrian, membuat Amira merasa ragu. Jika Adrian benar-benar mencintainya, kenapa dia hanya diam saja ketika Reno berusaha untuk mengambil Amira darinya. Tidak jarang Reno melontarkan kata-kata kasar, atau bahkan memukul Adrian ketika Amira menolak ajakan Reno dan lebih memilih pergi dengan Adrian.
“Lain kali, kakak bisa balas pukul Reno kalau dia sudah kelewatan seperti ini,” kata Amira setiap kali ia mengobati luka di wajah Adrian karena pukulan dari Reno.
“Aku sudah bilang sama Reno kalau hubunganku dengan dia sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Tapi ya … seperti yang kakak tau, Reno belum bisa menerima keputusanku.”
Amira seperti berbicara dengan batu ketika sedang bersama Adrian. Laki-laki tersebut sangat irit bicara, bahkan dengan keluarganya sendiri. Amira mengakui jika Adrian memang tampan. Dengan ketampanan dan kehidupannya yang mapan, tentu membuat banyak perempuan ingin bersanding dengan Adrian.
Tidak heran jika teman-teman Amira merasa iri dengan kehidupan Amira. Iri karena Amira bisa mendapatkan calon suami setampan dan sekaya Adrian. Amira sendiri merasa bahagia karena Adrian lebih memilihnya, sedangkan banyak perempuan lain di luar sana yang lebih cantik daripada Amira.
“Kenapa memilihku?” pertanyaan tersebut tiba-tiba saja keluar dari mulut Adrian. Membuat Amira yang mendengarnya merasa terkejut sekaligus bingung.
“Kamu bisa saja menolak perjodohan ini, dan tetap berhubugan dengan Reno. Laki-laki yang sudah jelas kamu cintai,” sambung Andrian yang secara tidak sengaja membuat Amira tersenyum.
“Aku tidak bisa menolak permintaan Papa,” jawab Amira sambil menerawang ke atas. Menatap langit kota yang tampak cerah.
“Sebelum Mama meninggal, Mama berpesan kalau aku harus menjadi anak yang baik. Harus menuruti semua perintah dari Papa. Dan juga … Mama menegaskan kalau apapun yang Papa lakukan dan Papa suruh, tidak lain untuk kebaikan aku.”
“Mungkin sekarang kakak akan bilang kalau aku terlalu penurut. Terlihat kuno sekali pemikiranku. Tapi karena sudah bawaan dari lahir jadi usah untuk dihilangkan,” kekeh Amira menatap sekilas ke arah Adrian.
Untuk beberapa saat Adrian masih menatap lekat wajah cantik perempuan yang duduk di sebelahnya. Siapa sangka jika pertemuan tak terduga yang terjadi sepuluh tahun yang lalu membuat Adrian terus memikirkan Amira. Sosok perempuan yang berhasil menarik perhatian Adrian.
Hari terus berganti begitu juga bulan dan tahun. Kini Amira sudah lulus kuliah dan satu minggu lagi acara pernikahannya dengan Adrian akan dilaksanakan. Amira tidak menyangka jika selama ini ia mulai menyukai berbagai sisi yang ada dalam diri Adrian. Beberapa waktu yang lalu, Amira sempat mengutarakan pada Adrian kalau ia mencintai laki-laki tersebut. Namun respon yang diberikan Adrian hanya sebatas senyuman singkat. Tidak ada kata balasan yang menyatakan kalau Adrian juga mencintai Amira.
Hingga akhirnya hari pernikahan mereka berdua dimulai. Banyak tamu yang berdatangan baik dari keluarga dan kenalan Amira, maupun dari keluarga dan sahabat Adrian. Sampai petang datang, Amira baru bisa duduk santai setelah selesai membersihkan riasan di wajahnya.
“Ini,” Adrian menyodorkan sebuah bucket bunga mawar berwarna merah mudah di hadapan Amira.
“Dari Reno,” lanjut Adrian membuat Amira membulatkan kedua matanya.
“Ke-kenapa kakak bawa ke sini?” tanya Amira gugup.
“Reno memberikan bunga itu untuk kamu,” kata Adrian setelah mendudukkan dirinya di atas tempat tidur. Amira yang melihat hal tersebut hanya mampu menghela napas panjang. Bahkan saat ia sudah sah menjadi istri Adrian, laki-laki tersebut masih bersikap dingin padanya.
Melihat sikap Adrian yang tidak berubah sama sekali, membuat Amira heran mengapa Papa sangat yakin jika Adrian menyukainya? Bagaimana mungkin Adrian memperlakukan Amira sedingin ini jika ia benar-benar menyukai Amira.
“Ra …”
Panggilan tersebut membuat hati Amira bergetar hebat. Bagi Amira yang sudah cukup lama mengenal Adrian, hanya beberapa kali saja Adrian memanggil nama Amira. Itupun hanya saat ada keperluan penting.
“Amira,” panggil Adrian saat Amira belum merespon panggilannya.
“Sini,” Adrian menepuk tempak tidur di sebelahnya, memberikan kode pada Amira untuk duduk di dekatnya.
Dengan langkah perlahan, Amira berjalan mendekati Adrian. Gaun pengantin yang saat ini ia kenakan membuatnya sedikit kesulitan untuk berjalan. Alhasil, saat Amira hampir sampi di tepi tempat tidur, Adrian menarik tangan Amira dan membuat perempuan tersebut duduk di atas pangkuan Adrian.
“Katakan saja jika ada hal yang membuat kamu penasaran tentangku,” kata Adrian sebelum Amira selesai menormalkan degup jantungnya. Namun dengan cepat, Amira segera menyesuaikan diri dan menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan bagaimana perasaan Adrian padanya.
“Sebenarnya … kakak mencintai Amira atau tidak ya, Kak?” tanya Amira hati-hati. Takut jika pertanyaannya membuat Adrian salah paham.
“Aku tidak akan menikahi perempuan yang tidak aku cintai,” jawab Adrian membuat Amira mendongakkan wajahnya.
“Kenapa? Tidak percaya dengan jawaban dariku?” tanya Adrian.
“Kenapa baru sekarang?” Amira justru balik bertanya. “Maksuk Amira, kenapa kakak baru sekarang bilang kalau kakak mencintai Amira? Kenapa tidak dari dulu-dulu saja? Kenapa waktu Amira bilang kalau Amira suka sama kakak, kakak hanya diam saja?”
“Kalau tau kakak juga suka sama Amira, pasti akan lebih mudah untuk meyakinkan Reno kalau kakak adalah pilihan terbaik yang Amira pilih.”
Adrian tersenyum manis sembari mengusap lembut rambut panjang nan halus milik istrinya. “Tidak selamanya cinta harus diucapkan dengan kata-kata, Ra. Bagiku, dengan terus berada di sisi kamu, sudah menjadi bukti nyata kalau aku ini sangat mencintai kamu.”
“Maaf kalau tindakanku selama ini membuat kamu merasa tidak nyaman. Tapi jawabanku yang tadi benar-benar serius. Aku sangat mencintai kamu, Ra. Bahkan aku jauh lebih dulu mencintai kamu sebelum kamu mencintai Reno,” tutur Adrian berusaha meyakinkan perasaanya pada Amira.
“Kamu … masih tidak percaya dengan jawabanku, Ra?” tanya Adrian risau.
Amira menggeleng cepat. Ia tampak melingkarkan kedua tangannya di belakang tubuh kekar Adrian. Kepala Amira senaja ia letakkan di atas dada Adrian dengan senyuman yang belum juga hilang dari wajahnya.
“Amira percaya sama kakak. Amira juga percaya kalau kakak mencintai Amira,” ujar Amira membalas pertanyaan Adrian. Membuat Adrian yang mendengarnya merasa lega.
“Terima kasih. Terimakasih karena sudah mempercayaiku dan mencintaiku, Ra”
“Amira sayang Kak Adrian. Amira janji akan menjadi istri yang terbaik untuk kakak.”
Siapa sangka jika laki-laki asing yang dipilihkan oleh Papa justru berhasil menarik penuh perhatian Amira. Membuat Amira benar-benar yakin jika Adrian adalah pilihan terbaik yang tidak akan pernah ia sesalkan. Kini dan juga nanti. ( Purworejo, Jawa Tengah - @luluunafisah_ )
Posting Komentar untuk " Jodoh Pilihan Papa - Cerpen Oleh Lu'luun Nafisah"