Penulis : Endah Nisrinasari - Editor : Endik Koeswoyo
Foto oleh : Bagus Darianto |
Angkot Pak Sadimen melaju di jalan raya sepi, empat penumpang yang biasanya memang menaiki angkot tersebut heran dengan jalan yang mereka lalui, pasalnya belum pernah Pak Sadimen mengantar mereka pulang melalui jalan raya ini.
“Pak, kita lewat mana ini?” tanya Panji yang merupakan siswa SMA.
“Tenang, nanti juga sampai,” jawab Pak Sadimen santai sambil mengemudi.
Ketiga penumpang lain, yang merupakan adik-adik dari Panji mulai merasa resah. Empat anak ini memang bersaudara, kandung. Tegar yang masih SMP melihat melalui kaca bening yang ada di kirinya, nampaklah mobil-mobil mewah berjajaran, sedang menunggu penumpang-penumpang berdasi yang hilir mudik mencari mobil yang masih kosong, ia lalu menoleh ke kanan, diintipnya melalui celah kedua adiknya yang masih SD, di sana juga ada banyak mobil mewah berjajaran dan orang-orang berdasi yang mencari mobil kosong.
“Pak, ini di mana? Kanan-kiri ada mobil mewah semua, penumpangnya rapi-rapi, berjas, berdasi,” Tegar merasa benar-benar aneh.
“Kita ini di tengah, aman,” jawab Pak Sadimen.
“Aman bagaimana, Pak? Dari tadi angin kencang ke kanan-kiri, angkot oleng-oleng,” Fajar murid SD mengeluh sambil berpegangan pada Senja, saudara perempuannya, mereka kembar.
“Pak, mandek, Pak! Ngiri, kita turun di sini saja, Pak Sadimen nggak jelas hari ini.” Panji menepuk-nepuk bahu supir angkot itu. Pak Sadimen menurut, ia pun perlahan menepi ke kiri. “Adek-adek di dalam dulu, Mas cek keadaan dulu.” Ia pun turun dari angkot.
Angin yang tak beraturan menghantam Panji, membuatnya kesulitan untuk tetap tegak berdiri. Matanya menyipit untuk dapat melihat papan reklame besar yang menunjukkan berbagai tujuan yang tidak ia ketahui. “Guendheng! Pak, ini kok malah ada China, Korea Utara, Kuba, Uni Soviet? Pak?!” Panji menoleh ke Pak Sadimen sambil berteriak di akhir dengan ekspresi gusar.
“Makanya, sudah Bapak bilang, di tengah saja, nanti sampai di tujuan dengan selamat,” jawabnya tenang—sekali.
“Ganti, Pak.” Panji naik kembali dan duduk, ia memang duduk di kursi berbusa tipis yang paling dekat dengan pintu. “Jalan, Pak.” Pak Sadimen pun kembali mengemudi di tengah.
“Nja, tadi kamu dapat hukuman, kan? Disuruh menghafal Pancasila.” Fajar dan Senja masih saling berpegangan agar tidak terjungkir, karena angkot yang terus oleng karena hembusan angin yang terus saling menarik angkot ke kanan dan kiri.
“Dek, Pancasila kok nggak hafal?” tanya Tegar yang duduk di depan Senja.
“La memang nggak hafal, Mas.” Senja tak mau disalahkan.
“Mas bantu nanti di rumah.” Panji memberi bantuan. “Dek, Pancasila itu nggak hanya dihafal, tapi juga dijalani, dihayati,” imbuhnya.
Mata Panji kembali menangkap papan reklame besar di sisi kanan jalan. “Pak, mandek, nganan, Pak.” Ia menepuk bahu Pak Sadimen cepat. Supir umur lima puluhan itu menurut, ia pun menepikan angkotnya ke kanan.
Panji keluar dari angkot, ia berjalan ke arah depan badan angkot dengan susah payah karena angin masih terus saja berhembus ganas, anehnya, orang-orang berdasi yang ia lihat tadi dan sekarang terlihat anteng , berjalan dengan santai, membawa tas besi yang isinya entah apa, siapa mereka? Pikir Panji.
“Nemen , Jerman, Italia, Jepang, Pak?!” Di akhir ia menoleh ke Pak Sadimen sambil berteriak dengan mimik muka tidak mengerti. Ia pun kembali naik ke angkot. “Pak, ini di mana, Pak?” tanyanya sekali lagi.
“Sudah tadi Bapak bilang, kita di tengah. Tapi, entah nantinya ke kanan atau ke kiri, itu terserah orang-orang yang Mas Panji lihat tadi,” jawabnya.
“Mereka siapa, Pak?” tanya Tegar.
“Mereka itu orang-orang atas, elit. Masa depan bangsa ini mau dibawa ke mana, tergantung mereka, tapi sejatinya, masa depan bangsa Indonesia ini mau dibawa ke mana ada di tangan kalian, penerus bangsa ini, kalian itu harta bangsa, tapi sayang ditelantarkan mereka, nyatanya kalian naiknya angkot, mereka pakai mobil mewah.” Pak Sadimen fokus menyetir.
“Pak, saya nggak mudeng ,” sanggah Tegar. “Fajar, Senja, pasti juga nggak tahu. Ya to?” Tegar menatap kedua adiknya bergantian.
“Iya,” jawab kembar dengan bebarengan.
“Panji tahu?” tanya Pak Sadimen.
“Tidak sepenuhnya, Pak,” jawab Panji. “Panji tahunya, kalau kiri dan kanan kita itu adalah ideologi yang dikelompokkan berdasar hal yang bertolak belakang, Pak. Pak Sadimen bilang kita untuk selalu di tengah, Bapak ingin bilang Pancasila, kan?”
“Tahu dari mana, Nji?” Pak Sadimen menaikkan kecepatan, sedikit.
“Saya baca buku, Pak. Saya dikasih buku sama Mas Sapto yang kuliah di Sastra, tetangga saya, Pak. Katanya itu buku bukan dari kampus, Mas Sapto beli sendiri,” jawab Panji.
“Sistem sekolah kalian ini memang hanya ingin menjadikan kalian manusia pintar, bukan manusia berakal budi. Pak Sadimen mau bilang, kalian itu banyak-banyak baca buku, punya buku tapi nggak dibaca itu dosa besar terhadap pengetahuan, dunia ini luas, kalian bisa menjelajahinya lewat buku, dengan membaca kalian akan tahu seperti apa dunia ini, bukan hanya buku, tapi membaca apa saja, situasi, keadaan, alam. Hidup ini cuman sekali, kita menulis sejarah kita sendiri, kalau dulu sejarah ditulis sama penjajah yang menang. Paham to?” Pak Sadimen menoleh sebentar ke belakang lalu kembali fokus ke depan.
“Saya paham, Pak. Ternyata kita ini anak bajang , ya? Dibuang karena cacat, tapi saat butuh barang cacat maka akan dipungut. Saya tidak mau adik-adik saya dibodohi elit dunia, Pak, saya akan jaga adik-adik saya,” balas Panji, sedangkan adik-adiknya masih diam sambil geleng-geleng.
Jegagik.
Pak Sadimen mengerem dengan kasar, angkot mandek tiba-tiba.
“Pak, mandek bilang-bilang, to!” protes Tegar yang membentur Panji di sebelahnya.
“Sudah sampai, itu rumah kalian, rumah yang di depannya ada tiang bendera merah-putih, ada lambang Garuda Bhineka Tunggal Ika di atas pintu.” Pak Sadimen menunjuk rumah empat bersaudara itu, aneh, ini benar-benar aneh, tiba-tiba saja mereka benar-benar sudah sampai. “Pancasila dihayati, dijalankan, dipanuti, jangan hanya dijadikan pajangan seperti orang-orang atas sekarang, UUD 1945 juga dipanuti, jangan hanya jadi bantal alas kepala kosong, biar UU, Perpres, Perda, dan per-peran yang lain nggak terus-terusan dipakai dolanan orang-orang atas. Pancasila dan UUD 1945 sekarang ini mandek, kalian harus bisa menggerakkannya lagi.” ( Ngawi, Jawa Timur - @endahnisrinasari )
Posting Komentar untuk " Mandek - Cerpen oleh : Endah Nisrinasari"