Penulis : Siti Kumala - Editor : Endik Koeswoyo
Senyum gadis berlesung pipi itu terus mengembang sejak kedatangan sang kekasih beserta keluarganya. Mereka membicarakan perihal pernikahan kedua insan yang saling jatuh cinta itu.
"Gimana, Nis? Ijab kabul dilaksanakan tanggal 20 Mei, lalu resepsi seminggu kemudian," kata Dani, ayah Nisa sambil menatap putrinya.
Tanpa membuang waktu, gadis itu mengangguk tegas. "Nisa setuju, Yah."
"Jangan setuju-setuja aja, nanti waktunya udah tiba masih ini-itu." Yani, ibu Nisa mengomel dengan suara pelan, tetapi Nisa bisa mendengarnya jelas.
"Aman kok, Bu," balas Nisa tenang.
Setelah perbincangan hari itu, kebahagiaan Nisa meningkat drastis. Ia yang suka mengomel pada adiknya, kini berubah jadi lemah lembut. Ia juga lebih rajin membantu ibunya beres-beres rumah. Tak heran, efek jatuh cinta memang mujarab.
Gadis berwajah tirus itu telah lulus sarjana hukum tahun lalu dan kini ia bekerja sebagai konsultan hukum di kota kelahirannya, Jakarta. Selain wajah cantik, Nisa juga dikenal berperangai baik ditambah ia terlahir dari keluarga terpandang.
"Nis, kamu beneran nikah bulan depan?" tanya Mita, sepupu Nisa, anak dari saudara sang ibu.
"Iya, Mit." Nisa menjawab singkat, kemudian lanjut fokus pada layar komputer.
"Sama cowok kamu yang guru honor itu?" Pertanyaan Mita terdengar sinis, membuat Nisa sontak menatap sepupunya tajam.
"Emang kenapa kalau dia honor?" Nisa agak kesal dibuatnya.
Mita mengendikkan bahu, kemudian kembali berujar, "Mending nikah sama temenku yang CEO itu, penghasilan gede, hidupmu bahagia. Kalau honor, bisa apa? Jangan-jangan beli popok anak kamu aja nanti harus kredit." Mita terbahak, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Pasalnya belum lama ini teman Mita yang kaya mengaku menyukai Nisa saat pertama kali bertemu. Ia membujuk Mita agar mendekatkan mereka, jika berhasil Mita akan diberikan hadiah. Semacam kompromi. Akan tetapi, Nisa mengetahui hal itu saat mereka berbincang di depan rumah Mita saat ia akan berkunjung. Itu pula sebabnya hingga kini, Nisa kurang suka pada sepupunya yang mata duitan itu.
Nisa bangkit, menepuk meja dengan kasar. "Eh, Mita, kamu gak usah ngurus urusan aku. Urus aja kuliahmu yang gak selesai-selesai itu!" cibir Nisa yang membuat Mita terdiam dan langsung pergi.
Nisa menghela napas lega. "Menyebalkan!"
*
Seminggu sebelum pernikahan mereka, Aji-calon suami Nisa membawanya jalan-jalan ke Pantai Pramuka yang letaknya di kepulauan seribu, Jakarta Utara. Nisa yang memang sedang merindu begitu girang. Ia ingin melepaskan kerinduan yang telah terpendam, beberapa hari ini mereka hanya berkomunikasi via video call.
Jarak tempuh dari rumah Nisa ke pantai itu kurang lebih satu jam. Aji mengendarai motor, katanya biar lebih mesra.
"Kamu suka gak tempat ini?" tanya Aji saat mereka tiba di pinggir pantai, ia menggenggam tangan kekasihnya.
"Suka banget. Pengen sering-sering ke sini!" seru gadis itu lantang.
Aji terkekeh kecil, lalu menjawil hidung Nisa. "Setelah menikah, kita akan sering ke sini."
"Serius?" Nisa berbalik menatap wajah kekasihnya dan dibalas anggukan. Nisa berjingkrak-jingkrak dan hampir memeluk Aji.
"Eittss, tahan! Belum halal." Aji mendorong tubuh Nisa pelan.
Tentu saja hal itu membuat Nisa jengkel dan mencubit perut kekasihnya. "Biasanya juga dipeluk, giliran sekarang sok-sokan!"
"A-ampun, sakit, Sayang." Aji berlari menjauh, Nisa tak tinggal diam. Mereka saling kejar-kejaran.
Indahnya pemandangan pantai tak seindah cinta mereka. Nisa begitu bahagia setiap kali mendengar dan melihat Aji. Satu-satunya lelaki yang dicintai setelah sang ayah.
"Sayang," panggil Aji saat mereka berlindung di bawah payung pantai. Nisa yang bergelayut manja di lengannya pun menoleh.
"Aku ingin kamu janji satu hal padaku." Ucapan Aji tampak serius, membuat Nisa melonggarkan tangannya dari lengan Aji.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Berjanjilah untuk tetap bahagia, apa pun yang terjadi."
Nisa terkekeh, lalu kembali bergelayut. "Aku akan tetap bahagia selama ada kamu di sisiku."
"Bukan hanya selama di sisiku, tetapi selalu dan selamanya." Aji menambahkan.
Nisa menganggukkan kepala. "Iya, aku janji."
*
Hari yang paling ditunggu pun tiba, Nisa mengenakan gaun putih dengan mahkota di atas kepalanya. Berkali-kali ia menatap cermin dan tersenyum lebar. Menampilkan lesung pipi yang menambah manisnya gadis yang akan segera menjadi Nyonya Aji itu.
"Senyum aja dari tadi," tegur Yani yang baru masuk.
"Nisa bahagia banget, Bu. Akhirnya satu mimpi terindah Nisa terwujud, menikah dengan orang yang Nisa cinta dan mencintai Nisa."
Ibunya mencubit pipi anaknya gemas. "Lucunya anak ibu. Ibu juga turut bahagia."
Nisa memanyunkan bibirnya dan berucap manja, "Ibu jangan cubit pipi Nisa, nanti make-upnya luntur. Suami Nisa nanti gak muji, malah ngeledek."
"Emang suamimu, eh calon suamimu tukang ledek." Keduanya pun tertawa bersama.
Satu jam berlalu dari waktu yang ditentukan, Aji dan keluarganya belum kunjung datang. Semua cemas, takut terjadi apa-apa, terutama Dani. Beberapa kali ia menghubungi telepon Aji dan keluarganya, tak kunjung ada jawaban. Namun, mereka belum memberitahukan hal itu pada Nisa, takut ia bertindak gegabah.
"Yah, gimana?" tanya Yani cemas.
"Ayah juga bingung. Nomor Aji juga gak bisa dihubungi."
"Rumahnya?"
Dani seperti baru mendapat titik terang mendengar perkataan sang istri, tetapi jadi lebih cemas saat pekerja rumah keluarga Aji mengatakan mereka sudah berangkat sejak dua jam lalu.
"Gimana, Yah?" Ibu Nisa semakin khawatir.
"Ayah gak tahu. Sekarang ayah mau pergi dulu, semoga ada titik terang. Sebelum ayah perintahkan, jangan beritahu Nisa apa pun." Yani mengangguk pelan dan menatap kepergian suaminya dengan beberapa anggota keluarga lainnya.
Nisa yang merasa bosan menunggu pun menghidupkan televisi kamarnya. Berketetapan yang muncul adalah berita kecelakaan, ia hendak mengganti siaran karena kurang suka melihat hal berbaur musibah.
"Sebuah mobil dari arah Timur meledak diduga karena adanya korsleting listrik. Seisi mobil, sekeluarga dinyatakan tewas. Satu fakta yang mencengangkan, salah satu anggota keluarga yang diketahui berinisial A. M akan melangsungkan pernikahan, naas maut lebih dulu menjemputnya."
"A.M?" Nisa berlari keluar, berteriak memanggil ayahnya. Akan tetapi, yang ditemui hanya wajah Yang yang sendu.
"Aji dan keluarganya mengalami kecelakaan di jalan dan ...." Yani tak sanggup melanjutkan kalimatnya, tangisnya menderu.
Jantung Nisa seolah berhenti berdetak, tubuhnya kaku dan perlahan tatapannya menggelap.
*
"Kasihan, ya, pernikahannya berujung begini."
"Semoga segera menemukan pengganti yang lebih baik."
Kalimat-kalimat yang dilontarkan para tamu membuat kepala Nisa sakit dan memilih kembali ke kamar. Matanya terasa sakit dan berat. Sejak kemarin air mata tak mau berhenti. Lapar tak lagi dirasakan, tubuhnya terasa ringan dan melayang.
"Kamu kuat, Sayang," kata Yani sembari menggenggam tangan Nisa.
Nisa tak menyahut, semua kosong.
"Kamu makan dulu, ya. Dari kemarin perut kamu belum ada diisi apa-apa." Sang ibu bangkit, keluar dari kamar itu.
Tak lama kemudian, ia kembali membawa sebuah nampan berisi bubur dan segelas susu. Tarikan napas terdengar jelas saat ia melihat putrinya tak berganti posisi, pakaiannya pun masih baju pengantin yang kemarin dikenakan.
"Kenapa, Bu? Salah Nisa apa? Kenapa Tuhan mengambil kebahagiaan Nisa?" Suara gadis itu lemah, tak ada ekspresi.
"Kamu gak salah, Sayang. Ibu yakin, Tuhan telah menyiapkan yang terbaik. Nisa hanya perlu ikhlas." Sang ibu merengkuh tubuh Nisa lembut, menangis bersama.
Nisa mengurai pelukan dan segera menghapus air mata. "Nisa gak boleh nangis. Nisa udah janji sama Aji untuk selalu bahagia dan selamanya, apa pun yang terjadi. Aji bilang, Nisa cantik kalau senyum." Gadis itu terkekeh, tetapi matanya tetap berair.
Tangis Yani menderu, ia menarik kembali tubuh Nisa ke pelukannya. "Nisa pasti bisa menepati janji pada Aji." ( Subulussalam, Aceh - @sitikumala_30)
Posting Komentar untuk " Sayap yang Patah - Cerpen oleh Siti Kumala"