Penulis : Kannethly Garry - Editor : Endik Koeswoyo
Aku menghembuskan napas berat ketika melihat rumah reyot bertuliskan "Kawashiri" di pagarnya. Rumah yang bahkan baru kuketahui ada bulan lalu. Peninggalan keluarga yang bahkan tak kuingat wajahnya. Ya, salju pertama merenggut mereka sejak usiaku dua tahun.
Aku tinggal di panti asuhan hampir seumur
hidupku. Bahkan nama keluargaku sudah berubah menjadi Kinjo, mengikuti nama si
pemilik panti. Aku tidak mengingat apapun tentang keluargaku atau asal-usulku.
Mereka bilang, mereka menemukanku nyaris
mati kedinginan di hutan di dalam sebuah mobil yang terbalik. Kata mereka, aku
selamat karena ada seseorang yang memelukku dengan erat seolah menjadi perisai
pelindung.
Kubuka pagar yang menghubungkanku dengan
pekarangan rumah tersebut. Kakiku melangkah di antara tumpukan salju. Rumah itu
benar-benar menyeramkan. Seperti rumah-rumah dalam film horor.
Sruk!
Sruk! Sebuah suara mengangetkanku. Dari semak-semak,
seekor rubah berlari kecil. Seperti anjing kecil yang lucu, ia tiba-tiba
menempelkan tubuhnya kepadaku. Aku terlonjak kaget. Kujongkokan tubuhku untuk
melihat rubah kecil itu. Ia terlihat jinak. Sepertinya, ia tersesat.
“Kamu tersesat?” tanyaku bingung.
Rubah itu jelas tak menjawab. Ia hanya
menempel di pangkal kakiku. Dengan cepat, aku menggendong rubah itu dan membawanya
ke dalam rumah yang gelap. Kunyalakan senter dari ponselku sembari melepas
rubah tersebut untuk berkeliaran di dalam rumah. "Ah, apa listrik di sini
benar-benar tak berfungsi?"
Kurogoh tas ransel untuk menemukan lampu
kecil yang sudah kupersiapkan. Sebenarnya, misiku hari ini adalah mencari
barang-barang peninggalan orang tuaku yang sekiranya penting untuk disimpan
sebelum rumah ini dirubuhkan besok lusa karena proyek pemerintah. Tapi
sepertinya, pekerjaan itu harus ditunda karena langit sudah menggelap.
Sepertinya juga, aku harus menginap di sini malam ini.
Tetapi kalau kupikir-pikir, setelah dua
puluh tahun berlalu, apa yang bisa disimpan? Mungkin semuanya sudah dimakan
rayap.
"Hai!" Sebuah gema suara
membuatku terlonjak. Dari arah jam dua belas, bayangan seorang laki-laki
seumurku muncul. Ia berjalan mendekat sambil tersenyum manis.
"K-kamu s-siapa?" tanyaku
terbata. Apa dia hantu? Apa dia selama ini tinggal di rumah ini?
Laki-laki itu tersenyum. "Aku Ren.
Terima kasih telah membawaku masuk."
"Eh?" Sejenak aku menatap
sekelilingku. Rubah tadi sudah menghilang. Tunggu, apa maksudnya, rubah itu
berubah menjadi laki-laki ini? Memang sih, aku sering mendengar legenda rubah,
tapi apa ini sungguhan?
"Namamu Sukai?" tanyanya lagi.
Aku membelalakan mata kaget. Bagaimana
dia bisa mengetahui namaku?
"Ah, benar? Ah, syukurlah!" Ia
tampak sangat lega melihat gelagatku. “Kamu hidup dengan baik, kan?”
Aku mengangkat alis sambil ingin
menertawakan diriku sendiri. Hidup dengan baik? Sama sekali tidak. Aku kini
menjadi pekerja penghancur bangunan di sebuah konstruksi. Aku tak bisa
bersekolah seperti anak-anak lain. Aku tak bisa menjadi karyawan kantoran
seperti orang lain. Apa baiknya?
“Kamu terlihat… sehat.” Ia berkata lagi.
Aku mendecakan lidah, tak mengindahkan
kalimatnya.
Ren terlihat masih tersenyum. Matanya
membentuk bulan sabit yang lucu. "Ada apa tiba-tiba ke sini?"
Aku terkaget dengan pertanyaan Ren. Ia
seolah telah mengenalku lama sekali. "Aku ingin mencari-cari barang
peninggalan ayah ibuku. Rumah ini akan dihancurkan lusa. Tepat di hari salju
pertama turun menurut ramalan cuaca."
"Dihancurkan? Kenapa?" Ren
terkaget.
"Entahlah, aku tak peduli."
kataku mengangkat bahu. "Lagipula, kompensasinya cukup besar."
Ren terlihat murung. Laki-laki itu duduk
di lantai sambil memeluk lutut. "Ah, aku akan kehilangan tempat
bermainku."
"Kamu kan bisa main di rumah
lain." Aku menjawab asal. Aku sudah tidak tau apakah ini halusinasi atau
sungguhan. Perjalanan dari Tokyo ke Fukuoka memakan waktu berjam-jam dan aku
tidak ingin menghabiskan tenaga untuk memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Tapi ini rumahku," ucapnya
bersikeras. "Kalau rumah ini hilang, aku pun akan pergi."
Aku mendesis tak peduli dengan
racauannya. Kutaruh tas di lantai lalu meletakan kepalaku di sana. "Aku
lelah. Aku ingin tidur." Aku berkata pada akhirnya. Aku tidak peduli jika
ia adalah hantu gentayangan yang akan membunuhku.
Ren menghela napas lagi. "Pergilah
ke ruang tengah. Di sana, ada sebuah laci. Kamu bisa menemukan sesuatu di sana.
Mungkin, kamu bisa menyimpannya."
Aku melirik Ren lalu melelapkan diri. Tak
ingin menggubris laki-laki itu sama sekali. Aku tertidur cukup lama hingga aku
terbangun akibat dinginnya salju yang turun. Waktu sudah menunjukan jam tujuh
pagi. Ren telah hilang sepenuhnya. Aku memijat keningku. Mungkin kemarin malam
hanya halusinasi dari diriku yang kelelahan.
Hanya saja, kalimat Ren masih membayangi
kepalaku. Dengan ragu, aku menuju ke ruangan yang dimaksud. Sebuah laci berdebu
tampak berdiri kokoh. Tanganku menarik salah satu laci. Mataku membelalak.
Selembar gambar anak-anak bertema keluarga berada di sana.
Kubalik lembar gambar itu untuk kemudian
nyaris melemaskan tungkai-tungkai lututku. Di belakang lembar itu, sebuah
tulisan yang seharusnya pudar tampak jelas di mataku. Tulisan yang ditulis dalam
hiragana: Kawashiri Ren & Kawashiri Sukai.
Mataku memanas, air mata turun perlahan.
"Ren!" teriakku. Aku berusaha memanggil laki-laki itu. “Ren!” pekikku
lagi.
Tak ada suara. Ren telah menghilang. Di salju pertama pada usiaku yang ke-22, aku
kembali kehilangan keluargaku. (Jakarta - @kannethlygarry)
Posting Komentar untuk "Rubah dan Kenangan - Cerpen oleh Kannethly Garry"