Matahari yang kelewat panas membakar tubuhku. Mungkin saja
punggungku sudah gosong saat aku berbincang di tengah sawah dengan seorang
lelaki berusia 40 tahun kurang dua bulan lagi. Kang Datam begitu aku memanggil
lelaki yang masih sibuk mencangkul dan membiarkan mulutku berbusa.
“Sebaiknya istirahat dulu, Kang di gubuk. Aku bawa tape dan es
cendol,” bujukku untuk ke sekian kalinya dengan logat Tegal yang ngapak
sekaligus menggelikan di telinga.
Kali ini Kang Datam mengangguk tanda setuju.
“Berapa bayaran sehari mencangkul di sawah milik juragan Kasro?” tanyaku sesudah duduk di gubuk sawah sambil menyembur langit
dengan rokok kretek yang baru aku beli di warung.
“Lima belas ribu,” jawabnya singkat.
“Apa cukup untuk makan sehari, Kang? Belum lagi beli bedak untuk istrimu
dan anak gadismu yang sudah remaja.”
Kang Datam menggeleng sambil memenuhi mulutnya dengan bako dan asap
rokok keluar dari lubang hidungnya.
“Ya, beginilah nasib kuli, mau bagaimana lagi rezekinya sudah diatur
Gusti Allah. Paling nanti sore cari kayu bakar buat dijual, lumayan bayarannya.”
“Kang Datam tidak merasa diperas tenaganya?” tanyaku sebelum melanjutkan, “Kalau ada bisnis, Kang. Bayarannya lima juta kira-kira Kang Datang mau.
Tapi ada syaratnya.”
Kini Kang Datam menatapku penasaran.
“Kalau kerja ikut sampean ke Jakarta aku tidak bisa.” Kali ini ia memenuhi mulutnya dengan tape.
“Justru aku pulang kampung karena mau mengajak bisnis dengan Kang
Datam di desa.”
“Ya, sudah apa syaratnya? Kalau ijazah aku tidak punya.”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya yang lugu.
“Tapi ini rahasia ya, Kang,” ucapku sambil celingukan. Kemudian aku berbisik, “Menghabisi nyawa juragan Kasro.”
“Sinting.” Langkahnya begitu kerap meninggalkanku dan kembali ke tengah sawah
melanjutkan pekerjaannya.
“Kang Datam tidak usah khawatir. Pokoknya aman. Lima juta itu duit,
bukan lempung. Apalagi daun jati,” teriakku.
“Sampean serius?”
“Ya, serius. Untuk apa aku datang dari Jakarta kalau bukan untuk
mewujudkan rencana itu.”
“Terus kenapa harus bunuh juragan Kasro?”
“Semua orang di kampung ini juga tahu bagaimana sejarah hidupnya
dulu. Bagaimana kelakuan dia pada istri pertamanya.”
Kang Datam diam memandangku kemudian ia mendekatiku dan menjabat
tanganku sambil berujar yang membuatku girang, “Kapan mau dibunuh? Aku juga enek dengan kelakuannya.”
“Hari Senin. Sebelum Magrib. Nanti aku atur rencananya. Aku, Kang
Datam dan Kang Ratmo yang menghabisi juragan sombong itu.”
“Kang Ratmo kuli bangunan?”
“Ya, dia juga punya dendam dengan juragan Kasro. Juminten istri
ketiga juragan, itu kan kekasihnya Kang Ratmo.”
“Tapi...”
“Apalagi?”
Kang Datam diam. Segera saja aku meninggalkannya sebelum ia berubah
pikiran. Aku menengoknya ke belakang dan kulihat Kang Datam masih mematung di
tengah sawah persis seperti orang-orangan sawah: tidak berkutik kecuali
rambutnya yang gondrong berkibar bagai bendera menantang angin.
Jujur sudah lama aku merencanakan ini. Sudah tiga puluh tahun
sebagaimana usiaku hari ini. Lima belas tahun lagi menyemai usia ibuku saat
diceraikan dan diusir dari rumah juragan Kasro. Sebab itulah aku sudah tidak
kuat merawat dendam untuk membalas perbuatan juragan Kasro yang menyakiti anak
dan istrinya demi biduan. Demi wedok. Demi kawin lagi.
Sebagai perempuan yang menolak di madu, ibuku terpaksa menanggung
akibatnya. Masih terngiang cerita ibu yang kelewat pahit aku simpan dalam
hidupku, yakni saat ibu diceraikan dan di usir hanya karena kecantikannya sudah
layu diserap usia. Barangkali itu hanya satu alasan juragan Kasro dari sekian
banyak alasan.
Ibu tak punya kuasa kecuali bersumpah di hadapan anaknya yang sudah
dua hari kelaparan: “Nak, jika sudah dewasa bunuhlah bapakmu juragan Kasro.”
Sejak saat itu ibu menyuapiku dengan dendam dan rasa sakit hatinya.
Atas alasan itu beberapa kali aku pulang kampung untuk mengamati juragan Kasro.
Kini waktu pembalasan sudah semakin dekat. Aku sudah tidak bersabar
menghabisinya. Terlebih bila kuingat ucapan juragan Kasro beberapa waktu yang
lalu: kesombonganku masih di bawah uangku.
Esok harinya Kang Datam dan Kang Ratmo sudah menemuiku. Keduanya
datang lebih cepat dari waktu yang sudah disepakati. Jelas ini bukan watak
orang Indonesia. Ini watak kapitalis. Uang segalanya dan persoalan harus cepat
diselesaikannya. Kira-kira begitu saat keduanya sudah tidak sabar ingin
mendapatkan uang yang telah kujanjikan.
“Senin besok juragan Kasro akan mengambil uang di bank. Aku sudah
mengamatinya sejak tinggal di kampung. Dan, juragan Kasro akan lewat jalan
merebah yang diapit hutan jati sebelum azan magrib berkumandang. Itu
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk sampai ke Desa Manggar. Jadi, kita
akan menyergap juragan Kasro tepat di tengah hutan. Kita bunuh dan ambil
uangnya,” kataku memberi instruksi dan kedua orang miskin yang hidupnya
hanya bermodalkan tenaga mengangguk tanpa berpikir. Paling tidak konsekuensi
setelahnya. Baginya dapur harus tetap ngebul mengingat jeritan anak kecil yang
minta jajan lebih mengerikan dari seruan khotbah di masjid-masjid yang
mengingatkan balas di akhirat.
“Terus mayatnya mau di sembunyikan di mana?” tanya Kang Datam sedikit gugup terlihat dari cahaya matanya yang
tampak pudar.
“Kalau ketahuan warga bagaimana?” sambung Kang Ratmo.
Aku juga tidak tamat SMP, tapi tidak sebodoh kalian. Gumamku dalam
hati.
“Kuburkan mayatnya di tengah hutan. Tidak akan ada yang tahu.
Apalagi hutan Lampir di desa ini terkenal angker. Aku yakin tidak akan ada yang berani
mencarinya di tengah hutan di malam hari.”
“Betul. Lagian istri juragan Kasro banyak, paling-paling warga akan
berpikir juragan sedang di rumah istrinya di desa seberang,” timpal Kang Ratmo.
Aku tidak salah memilih dua orang ini. Begitulah kemiskinan telah
membuat orang hilang akal sehatnya. Di hadapan uang iman seseorang akan roboh.
Begitulah sejarah uang dari dulu: mencetak para pengkhianat. Dengan iming-iming
uang lima juta rupiah menghabisi nyawa seseorang bagai menghabisi seekor ayam.
Bisa jadi saat ini keduanya sedang berpikir bahwa dosanya sama saja. Tapi
baguslah aku tidak perlu repot-repot mencari pembunuh profesional yang
bayarannya kelewat mahal. Dua tenaga orang ini cukup untuk meringkus juragan
Kasro.
“Jadi besok kita sudah harus berkumpul di hutan menunggu juragan Kasro
lewat,” perintahku
menutup perbincangan.
***
Matahari hampir tergelincir ke peraduan malam. Cahaya senja mulai
redup saat kami bertiga bersembunyi di balik pohon jati menunggu juragan Kasro
melewati jalan merebah ini. Akhirnya setelah setengah jam menunggu, juragan
Kasro menampakkan batang hidungnya yang besar seperti jambu mede. Seperti biasa
juragan Kasro menggunakan becak dan menyembunyikan uangnya di dalam karung yang
ditutupi rumput.
Dengan satu gerakan cepat seperti kijang kami bertiga langsung menyergap
juragan Kasro. Mula-mula Kang Datam menjunjung tukang becak yang kerempeng dan
melemparkannya ke semak-semak. Juragan Kasro terlihat panik sambil memeluk
karung dengan erat seperti pemuda memeluk tubuh kekasihnya yang bohay. Segera
saja aku memerintahkan Kang Ratmo meringkus tubuh juragan Kasro. Hanya butuh
sekian menit juragan Kasro sudah dalam kendali lengan tangan Kang Ratmo yang
kekar. Tanpa ampun aku melayangkan puluhan bogem ke perut dan wajahnya hingga
babak belur.
Juragan Kasro tersungkur. Darah mengalir dari bibirnya yang jontor:
Ampun... Ampun.. Ampun.. Begitulah rintihannya. Sebelum ia berteriak minta
tolong aku sudah menarik bajunya dan mengacungkan golok di hadapan keningnya.
Tiba-tiba ia meronta seperti kerbau yang menolak disembelih dan berhasil
melepaskan topeng ninja dari wajahku.
“Sanuri... anak setan,” ucapnya sebelum golok menembus perutnya. Seketika ia meregang
nyawa dan tewas setelah sekian menit kelojotan seperti ayam habis disembelih.
“Kang Datam, kuburkan,” perintahku sedikit panik.
Setelah menenangkan diri segara aku memanggil Kang Ratmo untuk
menghitung uang di dalam karung.
“Banyak sekali uangnya juragan Kasro pantas saja istrinya banyak.
Rumahnya besar dan sawahnya luas,” seru Kang Ratmo girang alang kepalang yang seumur hidupnya baru
pernah melihat uang sebegitu banyaknya. Kalau aku pernah melihatnya di film
India.
“Berapa upahmu?” tanyaku.
“Lima juta,” balasnya cepat lebih cepat dari cahaya, barangkali.
“Aku kasih dua kali lipat,” bisikku.
“Serius, Kang.”
“Tapi..”
“Tapi apa, Kang?”
Aku melirik ke Kang Datam yang sedang bersusah payah menguburkan
mayat juragan Kasro.
“Kalau mau jatahnya Kang Datam untukmu, habisi dia.”
Kang Ratmo diam memandangi temannya yang dipertemukan atas dasar
persamaan nasib: sama-sama miskin.
“Ini sepuluh juta,” kataku sambil menyodorkan uang kertas merah. “Masih kurang? Kamu takut? Kepalan tanganmu lebih besar dari Kang
Datam. Sekali pukul pasti tewas Kang Datam.”
Kang Ratmo mengangguk.
Dengan langkah pelan ia menghampiri temannya kemudian langsung
memukul Kang Datam dari belakang. Seketika Kang Datam tersungkur tak sadarkan
diri.
“Maafkan aku, Kang,” kata Kang Ratmo tampak menyesali perbuatannya. Namun, nasi telah
menjadi loyang.
Segera saja aku menghampiri Kang Ratmo dan melemparkan uang ke
bawah kakiku. “Bagianmu, Kang,” kataku.
Kang Ratmo mengambilnya seperti pengemis memunguti recehan koin
yang dilemparkan orang dari dalam mobil. Hal itu mengingatkan pekerjaanku
ketika masih kecil demi bertahan hidup untuk membalas dendam rasa sakit ibu.
Sayang ibu sudah meninggal sebelum melihat anaknya berhasil membunuh suaminya.
“Aku jadi orang kaya,” kata Kang Ratmo setengah berteriak sambil memunguti uang di bawah
kakiku.
Dengan satu gerakan aku menyabetkan golok yang kusembunyikan di
balik baju ke arah kepala Kang Ratmo. Seketika Kang Ratmo menemui ajalnya.
“Di hadapan uang semuanya menjadi iblis. Uang tidak mengenal saudara
apalagi teman,” pikirku dalam hati.
Langsung saja aku melemparkan golok ke semak-semak untuk
menghilangkan jejak. Dengan terburu-buru aku membereskan uang dan memasukkannya
kembali ke dalam karung supaya mudah kubawa.
Aku harus meninggalkan desa. Secepatnya aku harus ke kota dan
langsung ke pergi ke makam ibu. Mak sudah kutuntaskan dendamu. Sudah kutepati
sumpahmu. Sudah kutunaikan janjiku.
Dengan langkah cepat aku bergegas pergi sambil menggendong uang
sekarung. Belum lima meter aku melangkah, tiba-tiba kepalaku seperti hendak
pecah. Darah membanjiri kepalaku. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Kemudian
aku jatuh tersungkur mengerang menahan sakit. Dan, saat aku membalikkan badan
sambil memegangi kepalaku yang sepertinya retak mau pecah, kulihat seorang
lelaki tua berdiri di depanku dengan golok penuh darah di tangannya.
“Aaaaaa...” teriakku menahan sakit yang luar biasa. Lelaki tua bangka itu
membiarkanku meraung-raung kesakitan.
“Mampus...” Sepotong kata itu yang aku dengar dari mulutnya yang mancung.
Tanpa pikir panjang langsung saja dia menyambar karung yang di
dalamnya berisi uang ratusan juta dan menaruhnya di becak. Setelah itu ia
meninggalkanku sambil menggenjot becaknya dengan cepatnya seperti orang
kesetanan. Dalam pandanganku yang sudah mulai kabur aku melihat juragan Kasro,
Kang Datam, dan Kang Ratmo secara membabi buta membacok-bacok tubuhku dengan
golok tanpa ampun. Itulah yang kulihat sebelum semuanya menjadi gelap gulita. (Jakarta Selatan - @ademulyono_ )
Posting Komentar untuk "Dendam Kesumat - Cerpen – Ade Mulyono"