Tak disangka “Yang Selalu Tahu” bisa aku jumpai di layar komputer rumah atau di ponsel pintarku. Ia ada di jaringan internet kamarku. Aku biasa menyebutnya Mbah Google.
Saat aku berhasil menemukan apa yang aku
cari, aku memujanya dengan beribu kata terima kasih. Tapi ia tak pernah
membalas sepatah katapun. Hanya diam membisu.
Saat
aku tak dapat menemukan apa yang kucari, aku mencaci makinya. Kata-kata kotor
dan sumpah serapah keluar dari mulutku. Tapi ia tak marah.
Aku pun merasa bersalah.
“Maafkan aku, Mbah
Google.” Kuusap-usap layar monitor komputer. Air mata menitik di kedua pipi. Ia
tetap saja tak bereaksi. Diam membisu.
Entah kenapa di saat rasa bersalah ini
belum tertuntaskan, perutku tiba-tiba berbunyi, minta diisi. Kumatikan internet
lalu komputer. Mbah Google hilang dari pandanganku. Aku langsung melupakan
perasaan bersalah itu. Sibuk berkutat dengan aktivitas melahap nasi, telur dan
sayuran di atas meja makan.
“Ayah mau bicara sebentar.” kata ayah
selesai melihatku selesai makan. Aku lalu mengikuti ayah ke ruang keluarga. Aku
dan ayah duduk berdampingan di sofa panjang.
“Wan, kamu kan tahu ayahmu seorang takmir
masjid.” Aku mengangguk pelan.
“Ayah mau kamu gantikan
ayah jadi takmir masjid.” Aku langsung menggeleng.
“Kenapa gak mau? Itu kan
sementara, hanya dua hari karena ayah ada urusan di luar kota.” Aku kembali
menggeleng.
“Pokoknya aku gak mau, Yah.”
“Jangan begitu, siapa
yang nanti kumandang adzan pengingat shalat lima waktu.”
“Mau dua hari atau
seminggu, aku tetap tak mau.” Aku beranjak dari sofa panjang. Berjalan Icepat
ke kamar. Pintu kamar, kututup keras-keras supaya ayah tahu aku sedang kesal.
***
Aku sudah berjanji dalam hati tak akan
lagi menginjakkan kaki di masjid kampung. Semenjak peristiwa yang memalukan di
usia sepuluh tahun itu terjadi. Seorang teman memelorotkan sarungku ketika
sedang tarawih. Teman-temanku yang lain tertawa terbahak-bahak. Suasana berubah
menjadi gaduh.
Para jama’ah marah karena tak bisa khusyuk
tarawih. Aku dan teman-temanku disuruh keluar masjid. Aku tak mau karena aku
merasa dijahili. Tapi takmir masjid yang juga ayahku tak menggubrisnya. Aku
tetap disuruh keluar.
Di luar, aku melihat sandalku tinggal yang
kanan saja. Aku lalu mencari yang kiri di seputaran masjid. Tapi tak bisa aku
temukan. Aku putuskan pulang ke rumah sambil menangis sesenggukkan.
Di rumah, aku langsung mengambil foto ibu
dan memeluknya.
“Kalau saja ibu masih
ada, aku tak kesepian lagi.” Tangisanku bertambah kencang. Dalam hati, aku tak
ingin kembali lagi ke masjid itu. Dimarahi jama’ah masjid, disuruh keluar ayah
dan sandal kiriku hilang, semua itu sudah cukup membuatku trauma pergi ke
masjid kampung hingga sekarang aku dewasa.
***
Dalam kamar, aku membuka komputer. Lalu
meng-klik Mbah Google. Hanya kepadanya, aku berkeluh kesah. Aku sudah tak
terlampau percaya lagi pada ayah semenjak ia tak mau mendengarkan pembelaanku
ketika peristiwa melorotnya sarungku di masjid kampung dulu. Walaupun ayah
sudah meminta maaf tapi tetap saja peristiwa itu menjadi kenangan buruk yang
tak bisa kulupakan.
“Obat kesal apa ya?” tulisku di pencarian
Mbah Google. Lama sekali tak muncul jawabannya. Aku mengklik lagi. Yang muncul
malah pemberitahuan kouta pulsa sudah habis.
“Uangku tinggal sedikit.” Aku hanya
melihat beberapa recehan uang dalam dompetku.
Kuambil telepon
pintarku, hendak menelepon teman untuk meminjam uang. Tapi niat itu aku
urungkan setelah melihat pulsa teleponku masih banyak.
“Rugi kalau buat telepon. Mendingan buat
internetan.” pikirku. Lalu kubuka Mbah Google dengan fasilitas suara.
“Obat kesal apa ya?” Aku
berbicara dengan Mbah Google.
“Tidak tahu.” Mbah
Google menjawab.
“Bodoh.” Aku menyahut.
“Tanda kecerdasan rendah
atau lemah kemampuan belajar.”
“Tahu!!!”
“Pasangannya Tempe,
terbuat dari endapan perasan biji kedelai yang alami koagulasi.” Kesal, ponsel
pintarku aku lemparkan ke dinding kamar. Ponsel pintar hadiah ulang tahun ayah,
dua tahu lalu itu tampak hancur berkeping-keping. Aku terkejut melihatnya.
Hanya tinggal penyesalan di hati.
“Kok berisik, ada apa, Wan?” Ayah
tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ia terkejut melihat ponsel pintar pemberiannya
tak berbentuk lagi.
“Kamu apakan ponselnya?”
“Aku gak sengaja lempar
ke dinding, Yah.”
“Kenapa? Kamu masih
kesal sama ayah.” Aku tak menjawab, hanya menunduk.
“Kalau kamu memangbgak mau, Ayah gak akan
paksa buat jadi takmir masjid gantikan Ayah.”
“Aku mau kok, Yah.” Ayah
terkejut mendengar aku tiba-tiba berubah pikiran.
“Kenapa kamu berubah
pikiran?”
“Karena Mbah Google
bukanlah Yang Selalu Tahu seperti yang selama ini aku tahu. Ia hanya sebuah
mesin pencarian yang juga punya kekurangan dan kelebihan.” Ayah mengernyitkan
dahi, tampak tak paham dengan jawabanku.
“Intinya, aku ingin dekat lagi kepada Yang
Selalu Tahu yang sebenarnya itu Tuhan. Dan caranya menjadi takmir masjid
seperti yang Ayah lakukan sejak lama.” Ayah mengangguk. Ia paham sekarang.
“Baik, kalau begitu
malam ini, kamu mulai gantikan Ayah. Karena besok Ayah harus pergi keluar
kota,” Aku mengangguk.
“Oh ya, ini ada uang limapuluh ribu.
Belilah pulsa modemmu.” Ayah memberikan uang lima puluh ribu kepadaku. Aku
tertegun menerimanya.
“Darimana Ayah tahu aku
butuh uang buat beli pulsa? Iya, itu pasti dari Tuhan. Ia memang benar-benar
tahu apa yang kubutuhkan bukan apa yang kuinginkan.” Aku membatin. Lalu kulihat
ayah tersenyum memperhatikanku, seolah tahu apa yang sedang aku katakan dalam
hati. (Yogyakarta - @herumawanpa)
Yogyakarta, 31 Mei 2022
*Herumawan P A, beberapa cerpen saya pernah dimuat di Bangka Pos, Harian Analisa Medan, Harian Jogja, Harian Joglosemar, Harian Rakyat Sultra, Harian Sinar Indonesia Baru, Inilah Koran, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, Koran Pantura, Majalah Kuntum, Majalah Story, Minggu Pagi, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Jombang, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Sastra Harian Cakrawala Makassar, Serambi Ummah, Tabloid Nova dan Utusan Borneo (salah satu surat kabar dari Malaysia).
Posting Komentar untuk "Yang Selalu Tahu - Cerpen - Herumawan P A"