Pulang
adalah kata kesekian yang akan aku pikirkan, untuk sebuah perayaan besar
tahunan yang identik dengan ketupat dan opor ayam. Lebih sering aku memilih
menghabiskan libur nasional itu sendiri di rumah kontrakan. Atau sesekali ikut
pulang ke kampung teman. Mendatangi tempat baru, mengenal budaya baru, dan
bertemu orang-orang baru yang tidak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
konyol. Hal yang seolah menjadi fardu ain
untuk diajukan oleh orang-orang di tempat aku lahir dan dibesarkan. Pertanyaan
menyebalkan yang menjadi alasan paling besar aku enggan menghabiskan waktu
liburan di sana. Diawali dengan basa-basi yang benar-benar sudah basi, dan
ekspresi wajah naif yang benar-benar memuakkan. Tapi kali ini aku harus
menyingkirkan semua keengganan itu, dan pulang ke kampung halaman yang sudah
lama kulupakan. Nenek ku sedang sakit keras, dan aku tidak bisa mengabaikannya
begitu saja. Ia adalah seseorang yang berjasa besar dalam hidupku. Yang
membuatku tetap bisa menggapai mimpi-mimpiku setelah perpisahan kedua
orangtuaku. Setelah kepindahanku ke kota ini, nenek tinggal bersama adik
perempuanku yang saat ini sudah memasuki bangku SMA. Mau tidak mau kali ini aku
harus pulang.
Tanah
basah, 15 menit sudah hujan deras mengguyur kota. Mungkin sebentar lagi akan
muncul notif di media sosial, yang berisi berita banjir di beberapa sudut kota.
Aku bersandar malas, memandangi kaca jendela kereta api yang buram karena air
hujan. Sepanjang jalan pikiranku mengawang. Mencoba mengingat kali terakhir aku
menaiki kereta yang sama untuk menuju satu kota. Mungkin 3 atau 4 tahun yang
lalu, sudah cukup lama ternyata. Tanganku mulai gatal ingin menyulut sebatang
rokok, mulutku pun mulai terasa pekat, dan tidak ada satu permen pun yang
tertinggal di dalam saku. Jika tak ingin diturunkan sebelum sampai tujuan, aku
harus menahannya sampai 5 jam ke depan.
“Mbak,
sudah sampai di mana? Kalau sudah di stasiun bilang ya, biar nanti aku jemput
naik motor.”
Suara
adikku Ratna nyaring bersahutan dengan suara hujan dan mesin kereta di telepon
genggam. Jika ia menjemputku menggunakan motor bebeknya, aku harus menunggu
kurang lebih 20 menit di stasiun. Waktu itu bisa aku gunakan untuk menghisap
rokok beberapa batang. Aku tidak ingin mendengar gosip-gosip murahan jika ada tetangga yang melihatku ngudud di depan rumah.
“Eh,
itu cucu perempuannya Mbah Sumini ngerokok lo, Bu. Tadi saya lihat di depan
rumah.”
“Oalah,
anak perempuan kok ngerokok, to. Pasti itu di kota kerjaannya nggak bener.”
“Atau
jangan-jangan jadi perempuan panggilan, Bu.”
“Hiiihh,
kok nyeremin ya. Padahal cantik, kok kerjanya nggak bener.”
“Iya,
katanya sekolah tinggi, bukannya kerja di kantoran malah jadi perempuan nggak
bener.”
Kalimat
seperti ini pasti akan keluar dari mulut tetangga usil yang lebih suka
mengurusi hidup orang ketimbang hidupnya sendiri. Mereka tidak tahu saja betapa
asap rokok yang mereka cap sebagai barang haram untuk disentuh oleh mahluk
hidup bernama perempuan itu, bisa membantuku merampungkan beberapa judul buku
yang bisa mengisi saku dan perutku sebagai seorang editor. Aku memilih untuk
menghindarinya, karena memang benar-benar malas.
Adikku
tiba di stasiun setelah aku menunggu kurang lebih 30 menit. Selama itu, aku
benar-benar memenuhi kerongkongan dan paru-paruku dengan asap rokok, berharap
bisa bertahan selama beberapa jam ke depan, setidaknya sampai hari menjadi
gelap. Malam sepertinya akan menjadi waktu paling aman untuk aku kebas-kebus di
teras rumah, tanpa harus was-was lihat sana-sini untuk memastikan tidak ada
tetangga yang lewat. Pukul 9 sudah menjadi jam tidur masal untuk seluruh warga
di kampungku. Hidup teratur dengan tidur cepat dan bangun cepat, rasanya masih
menjadi moto hidup yang dipegang teguh sampai hari ini. Dan hal ini memberi
keuntungan tersendiri untuk aku yang biasa tidur di bawah jam 3 pagi.
“Bagaimana
keadaan Mboke, Ndhuk?”
“Masih
belum ada perubahan, Mbak. Kemarin itu ngeluh nafasnya sesak, tapi pas Ratna
ajak ke puskesmas untuk periksa, Mboke malah ndak mau. Katanya di rumah saja.”
“Sudah
manggil mantri?”
“Sudah,
mbak. Tapi ya cuma di tensi terus dikasih obat atau disuntik gitu aja. Seperti
biasanya. ”
Percakapan
ini berlangsung selama perjalanan kami dari stasiun menuju rumah.
“Assalamualaikum.”
Kubuat
suaraku sehalus mungkin. Agar tidak membangunkan nenek ku yang Ratna bilang
sedang tidur.
“Waalaikumussalam
warah matullah.”
Ada
jawaban, sepertinya nenek ku sudah bangun dari tidurnya, atau terbangun karena
suraku. Kusambut ia yang sedang terbaring lemah di kamar. Hatiku seketika
ngilu, sedih melihat nenek ku yang ringkih terbaring tak berdaya. Tubuhnya
terasa hangat. Tubuhnya yang dulu padat berisi, kini tinggallah tulang
diselimuti kulit yang juga mulai kendur dan bergelambir. Untuk beberapa saat
aku merasa sangat menyesal. Bertahun-tahun sudah aku tidak mengunjunginya. Aku
lupa, kalimat baik-baik saja yang selalu ia ucapkan lewat telepon, bisa jadi
karena ia tidak ingin aku terlalu mengkhawatirkannya. Aku menyesal karena baru
menyadari kebodohan dan keegoisanku.
“Oalah,
putuku wedok wes teko. Piye kabarmu, Ndhuk? Kok yo lama sekali kamu baru pulang. Mboke kangen banget sama kamu.”
Tangisku
seketika pecah dalam dekapannya. Perempuan hebat yang telah membesarkanku itu,
memelukku dengan sangat erat. Makin kurasakan panas di tubuhnya. Oh Tuhan,
sungguh berdosa diri ini.
“Saya
sehat, Mbok. Alhamdulillah. Mboke bagaimana, kok bisa sakit begini?”
“Oalah,
yo piye. Mboke yo memang sudah tua, sudah jadi tempatnya penyakit.”
“Mboke
harus sehat, jangan sakit-sakit begini. Kita ke puskesmas ya? Biar mboke bisa
dapat perawatan. Biar bisa tahu sakitnya apa.”
“Ora usah, mboke di rumah aja. Ndak usah ke puskesmas. Nanti malah
ngabis-ngabisin uang.”
“Ndak
usah mikirin soal uang, biar Dewi yang urus masalah biaya. Yang penting
sekarang mboke sehat, ya?”
“Ora usah, Ndhuk. Mbokmu ini cuma kangen
sama kamu. Sekarang sudah ketemu, sudah lihat cucu perempuannya mboke. Sudah, habis ini mboke pasti sehat, ndak usah khawatir.”
Aku
sangat mengenalnya. Nenek ku adalah perempuan yang cukup keras kepala. Jika ia
mengatakan tidak, maka sebanyak apapun cara yang digunakan untuk membujuk, ia
akan tetap mengatakan tidak. Namun kali ini aku harus bisa membujuknya. Aku tidak
ingin menjadi bodoh dengan begitu saja mengikuti kemauannya, saat aku tahu jika
itu adalah sesuatu yang tidak benar.
“Gimana,
Mbak. Mboke tetep ndak mau di bawa ke
puskesmas.”
“Tenang
saja, biar nanti mbak cari cara lain untuk bujuk Mboke.”
Perjalanan
panjang yang terasa sangat melelahkan. Setelah sekian lama, akhirnya aku
kembali ke rumah ini. Seperti ada kenangan lama yang memanggil-manggil di
setiap sudut ruangan. Ada kerinduan meletup-letup, berdesir dalam dadaku. Tidak
ada yang berubah. Rumah ini masih sama seperti saat terakhir kali aku
melihatnya. Setelah puas berputar di dalam rumah, aku keluar, duduk di kursi
kayu tua di teras depan. Sangat nyaman. Udara terasa sejuk. Alangkah indah jika
aku bisa ngudud sebatang.
“Loh,
Dewi. Kapan kamu datang? Kok ya baru kelihatan.”
Suara
dari seberang jalan terdengar, terasa mengganggu kenyamanan. Arah percakapan
yang aku tahu akan kemana jika diteruskan. Karenanya aku hanya membalas dengan
senyum dan anggukan kepala. Beruntung ia begitu saja melanjutkan perjalanannya.
Aku bisa bernafas lega. Meskipun sekilas kudapati raut mukannya yang
menyiratkan ketidak sukaan. Namanya Sri, tetangga jauh yang rumanya berselang 5
rumah dari sebelah kanan rumahku. Usianya 3 tahun lebih tua dariku, dan bisa
dikatakan sebagai kembang desa saat usianya masih remaja. Aku tidak pernah
akrab dengannya sejak kecil. selain karena kami tidak seusia, juga karena aku
tidak pernah suka dengan cara bicaranya yang kasar dan terkesan congkak.
Tidak
terasa tiga hari sudah aku di rumah. Nenekku masih tidak mau dibawa ke
puskesmas, sementara keadaannya semakin memburuk. Hanya mantri yang aku minta
datang setiap hari saja yang memantau kondisinya. Bahkan si mantri sudah
berkali-kali menyarankan untuk membawanya ke puskesmas, karena keadaannya semakin
payah. Tapi nenek ku tetap berkeras untuk tinggal di rumah, apapun yang aku
katakan sama sekali tidak diindahkan olehnya. Aku tidak tahu lagi bagaimana
harus membujuknya. Sampai di satu titik, aku merasa nenek ku mafhum jika
usianya mungkin tidak lama lagi. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku
berusaha keras menepisnya, takut kalau-kalau pikiran itu benar terjadi. Aku
belum bisa membahagiakannya Tuhan, masih banyak yang ingin aku lakukan
dengannya, tolong jangan dulu Kau ambil dia dariku. Doa ini kupanjatkan setiap
saat, dalam kebisuanku.
“Tadi
mbak Eni nanyain kamu, Mbak. Katanya kok ndak pernah kelihatan.”
Ratna
adikku, yang baru saja kembali dari warung membeli telur memberikan laporan.
Pertanyaan yang selalu aku dengar setiap kali ia kembali setelah keluar membeli
sesuatu. Tentu saja mereka tidak pernah bertemu denganku. Aku memang tidak
pernah keluar rumah, kecuali saat malam, itupun hanya di teras depan rumah,
untuk menghisap sebatang dua batang rokok. Jelas jika mereka tidak pernah
melihatku keluyuran di luar. Lagipula apa yang akan mereka lakukan jika bertemu
denganku? Paling-paling menghujaniku dengan pertanyaan seputar pekerjaan,
pasangan, dan lain-lain, dan lain-lain.
Hari
demi hari berlalu dan berganti. Hari ini panas terik, besok hujan gerimis, lusa
hujan deras dan angin kencang. Tidak ada yang bisa memprediksi tangan Tuhan.
Pun aku, yang sama sekali tidak pernah bisa meramalkan, siapa yang akan datang,
dan siapa yang akan pergi dari hidupku. Setelah hampir dua minggu ia berjuang.
Nenek ku akhirnya menyelesaikan perjanjiannya dengan Tuhan di dunia. Dan
kembali menghadap-Nya, yang telah menjadikannya ada. Tidak dapat kugambarkan
bagaiamana perasaanku saat itu. Sungguh, belum pernah aku merasa sekacau itu
sebelumnya. Aku bahkan tidak dapat mengeluarkan air mata. Hanya duduk mematung,
menatap tubuh yang telah terbujur kaku dengan kain jarik menyelimutinya dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Adikku Ratna duduk di dekat kepala, dan terus
menangis. Aku ingin memeluknya, tapi tubuhku rasanya tidak memiliki tenaga,
bahkan untuk sekadar mengatakan, “Sabar, Nduk.
Sabar... Mboke sudah tenang
sekarang.” Benar-benar tidak ada yang mampu aku lakukan selain duduk diam,
seperti orang bodoh yang menunggu kematian.
“Oalah,
liatin itu si Dewi. Mboknya meninggal tapi dia sama sekali nggak kelihatan
sedih, nangis aja enggak. Padahal mboknya lo yang sudah ngebesarin dan
nyekolahin.”
“Yaahh,
orang kalau udah kenal kota ya begitu, Bu. Sombong, nggak peduli sama orang
lain.”
“Dewi
kan memang sebelumnya ndak pernah pulang to, Bu. Dia pulang inikan karena
simboknya sakit. Kalau ndak ya ndak pulang. Padahal dia bisa sekolah sampai ke
kota yo karena mboknya. Eh, dateng nengok aja endak.”
“Yaah,
maklum to, Bu. Lihat to bagaimana kelakuan ibunya, main gila sama laki-laki
lain sampai akhirnya diceraikan sama suaminya. Beruntung si Dewi dan adiknya
itu dirawat sama mboknya. Kalau ndak ya ndak tahu jadi apa dirawat sama
perempuan kayak ibunya itu. Eh, yang dirawat malah ndak tahu diri.”
“Iyo,
kasian. Mbok Sumini itu pasti sakit-sakitan karena mikir, cucu perempuannya
ndak pernah pulang, ndak pernah nengok dia.”
“Iya,
Mbok Sumini juga pasti mikir, takut kalau cucu perempuannya jadi orang ndak
bener di kota karena ndak pernah ada kabar.”
“Oalah,
kasian yo.”
BRENGSEK!!!
Dalam
keadaan seperti ini pun mereka masih bisa menggunjingkanku dan keluargaku.
Terbuat dari apa sebenarnya mulut dan otak mereka? Jika memang ingin bergunjing
setidaknya lakukanlah dengan suara yang lebih pelan, agar aku tidak perlu
mendengarnya. Kubur nenekku bahkan belum digali, tapi mereka sudah membicarakan
keluarganya kesana kemari, dengan embel-embel rasa kasihan, padahal sedang
mengolok jenazah yang menurut mereka
tidak becus merawat anak perempuannya. Ingin sekali rasanya aku merobek mulut
mereka satu persatu. Sungguh. Jika bukan karena Ratna yang melihat gelagatku
memegangi tanganku, mungkin bekas tanganku sudah sampai di pipi mereka satu
persatu.
“Sabar
mbak, sabar, sabar mbak.”
Suara
adikku lirih, diiringi isak tangisnya. Dan aku benar-benar tidak bisa
mengeluarkan air mata.
Tiga
hari setelah kematian nenekku, aku mengajak Ratna untuk ikut bersamaku ke
Jakarta. Aku tidak mungkin membiarkannya tinggal sendiri di rumah ini. Rasanya
lebih baik jika aku membawanya, tinggal seadanya di rumah kontrakanku yang ada
di sana.
“Besok
kita berangkat ke Jakarta ya, Rat. Kamu ikut mbak saja kesana. Nanti sekolah
sampai kuliah di sana, sama mbak.”
“Loh,
ndak nunggu sampai tujuh harinya mboke to, Mbak?”
“Ndak
usah, yang terpenting dan terbaik yang harus kita kasih buat mboke sekarang ini
adalah doa, bukan selamatan atau kendurian. Kita bisa berdoa di mana saja, ndak
harus duduk di samping makamnya. Lagian mbak ndak akan rela kalau kamu tinggal
sama ibu dan laki-laki gendeng itu.
Sampai hari ketiga mboke saja dia
sama sekali ndak muncul. ”
“Terus
urusan pindah sekolahku gimana, Mbak?”
“Sudah
kamu tenang saja, biar mbak yang urus semua itu. Sekarang kamu beresin
barang-barangmu yang mau dibawa ke Jakarta. Yang penting-penting saja. Baju
ndak usah dibawa semua.”
Pagi
telah menyambut di ambang jendela, memberikan satu kekuatan untuk melangkah
keluar, meninggalkan kepengapan dari ruangan lembab yang dipenuhi kenangan.
Telah mantap hatiku untuk benar-benar pergi dari tempat ini dan tidak akan
pernah kembali. Tidak ada lagi alasanku untuk pulang. Satupun. Aku tidak
memiliki satu alasanpun untuk kembali ke tempat ini.
Ratna
mondar-mandir keluar masuk rumah untuk membawa barang yang akan kami bawa,
sementara aku merapikan beberapa hal penting, sembari menunggu angkot yang akan
membawa kami menuju stasiun kereta. Dalam kesibukan itu, Mbak Mus tetangga
samping rumah keluar, entah mengapa mulai membuka percakapan dengan adikku,
yang sudah pasti tidak bisa terlalu banyak memberi tanggapan.
“Loh,
Rat. Kamu mau kemana? Kok bawa tas-tas besar gitu.”
“Oh,
mau ikut Mbak Dewi ke Jakarta, Mbak. Ini lagi beresin barang-barang yang mau
dibawa.”
“Ooowwhh,
kamu mau ikut mbakmu ke Jakarta to?”
“Iya,
Mbak. Mbak Dewi ndak ngizinin untuk tinggal sendiri.”
“Oowh,
iya. Memang lebih bagusnya begitu sih. Tapi ya hati-hati selama di sana, jangan
sampai kamu ikut-ikutan di pergaulan ndak bener.”
“Oalah,
ndak perlu khawatir, Mbak. Kan saya juga di sana sama Mbak Dewi, jadi ada yang
jagain.”
“Iyasih,
tapi pergaulannya kakakmu kan juga ndak ada yang tahu.”
Aku
benar-benar gerah menyaksikan hal itu. Setelah ibu, aku, dan nenekku, kini
mereka bahkan mengincar adikku. Tidak akan aku biarkan ia mengusik ketenangan
adikku juga.
“Oalah,
Mbak Mus. Pagi-pagi kok udah ribut. Coba lihat dulu di dapur, jangan-jangan
tempe yang lagi digoreng gosong karena ditinggal ngusilin orang.”
“Aku
ndak ngusilin kok, Wi. Aku cuma mau kasih nasehat aja sama adekmu.”
“Maaf
lo sebelumnya, Mbak Mus. Tapi saya dan adik saya sepertinya ndak perlu nasehat
orang yang kerjanya setiap hari cuma ngomongin orang.”
“Loh,
kamu jangan sembarangan ngomong lo, Wi. Siapa yang kerjanya ngomongin orang?
jangan kurang ajar kamu. Baru tinggal di kota berapa tahun aja udah sombong.”
Tetangga
menyebalkan itu akhirnya melengos masuk dengan wajah di tekuk, dan bibirnya
yang komat-kamit ngedumel ngalur ngidul. Aku bernafas lega, karena tak lama
setelahnya mobil yang akan mengangkutku dan adikku ke stasiun tiba. Setelah
mengunci pintu dan memandangi sejenak rumah nenek, aku dan Ratna naik ke dalam
mobil. Kami bersepakat untuk tidak menoleh lagi ke belakang, tanpa perlu
memberi isyarat.
“Mbak....”
Ratna memanggilku lirih.
“Pokoknya
Ratna ndak mau pulang ke kampung ini lagi. Ratna mau ikut mbak Dewi terus aja.
Kemanapun Mbak Dewi ajak, aku akan ikut. Asalkan ndak pulang ke kampung ini
lagi. Aku capek, Mbak. Setiap hari denger orang-orang kampung bicarakan
keluarga kita. Pokoknya aku ndak mau balik lagi.”
Tidak
ada satupun kalimat yang keluar dari mulutku untuk menanggapi pernyataannya.
Yang kulakukan hanya merangkulnya. Dan hanya itu yang kulakukan sepanjang
perjalanan. Tenang saja, Ratna. Tanpa kamu minta. Ikrar itu sudah Mbak lakukan
sejak kita melangkahkan kaki keluar dari rumah itu. (Sulawesi Tengah - @rhinny96 )
Posting Komentar untuk "Pulang untuk Perempuan -- Cerpen - Rini Lestari"