Terdengar
samar-samar suara yang mencoba menyelinap masuk ke telinga, yang kemudian
berakhir dengan sebuah kecupan tepat di keningnya. “Marchasella … maafkan
bunda.” Ucapan ternikmat dari malaikat tak bersayap, ampuh menghantarkan gadis
cantik ini nyaman di alam mimpi.
“Bundaaa,
ayah jadi nganterin aku ke sekolah nggak?” Mata Marcha melirik ke arah Tante
Lisa. “Iya, nanti Ayah juga sekalian antar pesanan selai ini ke rumah Bu
Farida,” jawab Tante Lisa. “Oke, Bun. Itu Ayah udah siap, hehe ….“ Marcha
Menunjuk Ayah dan sedikit meringis.
Suasana
kota Semarang di pagi hari memang sudah ramai, tapi tidak sepadat Jakarta. Jadi
Om Teddy masih dapat melaju santai dengan vespanya. Setibanya di depan gerbang SMA, Om Teddy
mengusap rambut Marcha yang nampak lurus itu.. “Sekolah yang bener ya
Nak.” Hanya dibalas anggukan dan
lambaian tangan oleh Marcha. Sesampainya di kelas, tak berselang lama seorang
guru melangkah anggun masuk dan memulai mata pelajaran dengan sebuah perkenalan. “Assalamu’alaikum, Selamat pagi
anak-anak….” Suara siswa-siswi kelas 10A kompak menjawab,“wa’alaikumussalam,
selamat pagi Bu ….”
“Perkenalkan
saya Rita Widia, yang akan menjadi wali kelas 10A. Karena kita belum saling
mengenal, maka saya ingin kalian memperkenalkan diri masing-masing di depan,”
tegas Bu Rita.
Satu
demi satu, murid telah maju ke depan, kini giliran Marchasella. “Hallo
teman-teman, namaku Marchasella, asal Semarang. Terlahir dari keluarga sederhana,
Ayah bekerja sebagai seorang montir, sementara Bunda memiliki usaha Toko
Ananda. Aku dari 2 bersaudara, Tapi adikku … eeehmm, adikku ….” Mata Marcha
mulai memerah dan berkaca-kaca, sontak kalimatnya terhenti. Lalu ia berlari
meninggalkan ruangan. “Kenapa si cantik itu Bu?” sahut salah seorang siswa dari
pojok kelas. Bu Rita dan anak-anak lainnya nampak kebingungan dengan tingkahnya.
“Biar saya kejar ya, Bu,“ pinta Vanya sambil
bergegas pergi tanpa menunggu persetujuan bu Rita. Hampir keseluruhan sekolah
telah ia telusuri, akhirnya langkah Vanya terhenti di depan sebuah kursi.
Senyumnya terpancar, tanda ia berhasil menemukan teman barunya itu. “Marcha,
kenapa kamu nangis?” Menyodorkan tisu. “Jangan membuat bu Rita dan teman-teman
yang lain bingung dong … kalau kamu malu di depan mereka. Ya udah coba cerita
aja ke aku,” bujuk Vanya. Sekejap saja, kini Marcha memeluk Vanya dan menangis
sejadi-jadinya.
Setelah
sedikit mereda, baru ia mulai mencurahkan isi hati. “Aku nggak sanggup kalau
harus cerita tentang keluarga, karena itu hanya akan membuat pilu dan sakit,”
ungkap Marcha dengan tatapan kosong. “Kamu tahu? Aku punya adik, tapi dia udah
nggak ada,” rintih Marcha sambil meremas tisu yang digenggamnya. Vanya pun
mencoba untuk menenangkan. “Maaf, berarti adikmu meninggal?” Tangisnya kembali
pecah, seolah kenangan buruk sedang menghiasi ingatan Marcha. “Entahlah adikku
masih hidup atau nggak. Karena waktu itu, Marchello diajak bunda liburan di
Makassar. Beberapa hari kemudian, bunda pulang, tapi dia sendirian nggak sama
adikku. Begitu kutanya, bunda hanya menangis dan meminta maaf karena telah menyebabkan
Marchello hilang, begitu terus hingga sekarang dan usaha ayah mencari adikku
pun belum mebuahkan hasil.” Kalimat itu mencabik batin Vanya, tak bisa terpungkiri
betapa amat kehilangannya Marcha saat itu.
“Ehm, makasih ya … aku udah curhat banyak
tadi, padahal aku belum tahu nama kamu.” Lirik Marcha sembari melempar
senyuman.
Memang
Vanya belum sempat memperkenalkan diri, karena buru-buru menyusul Marcha tadi.
“Aku Vanya. Oh ya, sepertinya aku nggak asing deh, sama tokomu, soalnya mama
sering pesan selai di situ.” Sesekali mereka iringi percakapan dengan sedikit
gurauan. Semenjak itu, mereka berdua semakin akrab, bahkan mereka bersahabat.
Senja
di sudut Semarang, selalu menyuguhkan keharmonisan. Jingganya memang pandai
menggoda tapi tak pernah membuat penikmatnya jera, meski ada sebuah celah
kecewa. Lamunan Marcha membuat keheningan rumah semakin terasa. Kehilangan
Marchello membuatnya kadang merasa amat tersiksa.
“Anak
ayah yang mancung, lagi mikirin apa sih? kok murung?” Bersandarlah Marcha di
pundak kekar ayahnya itu. “Aku cuma lagi kangen sama Marchello, Yah.” Lagi-lagi
kalimat ini terucap dari bibir mungil anak perempuannya. Segala jurus
dilancarkan demi putrinya agar tak sedih kembali. “Mungkin Tuhan menyiapkan
takdir lain untuk Marchello, yang jelas itu sudah pasti baik. Kamu kan masih
ada ayah sama bunda, senyum dong,” jelas Om Teddy pada putrinya. Meskipun
Marcha cukup tenang, tapi rindu akan tetap menjadi bumbu yang berharap jadi
temu.
**~~***~~**
Sabtu
menjadi akhir perjuangan dari pembelajaran di sekolah selama seminggu, yang
artinya mulai malam nanti hingga esok, akan jadi hari libur bagi jiwa-jiwa
pelajar. Begitupula dengan Vanya, ia bersemangat mengajak Marcha untuk menginap
di rumahnya.
Tetapi,
Tante Lisa yang sejak awal tahu, belum bisa mengizinkan Marcha menginap di
rumah sahabatnya. Karena pesanan selai yang sangat banyak tentu butuh ulur
tangan dari putri kesayangannya itu. Jika Om Teddy selalu memanjakan Marcha,
berbeda lagi dengan Tante Lisa yang menginginkan putrinya tumbuh menjadi wanita
yang mandiri. Hasil dari kedisiplinan yang sejak dini diterapkan, kini berbuah
manis. Sebab selain pandai memasak, Marcha juga sudah lumayan mahir dalam
urusan membuat selai buah.
Menunggu
pastilah jemu, putaran waktu akhirnya mampu menghantarkan mereka berdua di
penghujung kenaikan kelas, tandanya hari libur sudah tampak jelas. Sesuai
dengan kesepakatan, dimana mereka akan bergantian mengunjungi rumah satu sama
lain masing-masing satu minggu. Yang menjadi giliran pertama adalah rumah
Vanya.
Marcha
segera mengambil beberapa pakaian ganti untuk persediaan selama ia tinggal di
sana. Setelah berpamitan kepada ayah dan bundanya, ia mendengar suara klakson
berulang kali dari sebuah mobil hitam yang telah menunggunya di tepi
jalan. “Yuk buruan, Cha!” teriak seorang
gadis sambil menurunkan setengah kaca mobilnya dari dalam. “Iya Vanyaku yang
manis, baik, tapi pesek. Hehe …” ledek Marcha sambil berjalan menghampiri
Vanya.
Setelah
sampai di ujung jalan dekat rumah Vanya, Marcha mulai heran. “Sepertinya aku
pernah melewati jalan ini bareng Ayah,” batinnya. Dan, ternyata benar, tante
Farida pelanggan setia bunda dan juga pemilik rumah termewah di komplek Graha
Estetika adalah mama dari Vanya.
Baru
saja bagian pintu rumah yang dibuka, sudah mampu membuat Marcha menganga
terpana. Belum lagi saat Vanya mengarahkan sahabatnya menuju kamar. “Wow! mewahnya
rumahmu.” Marcha berdecak kagum sambil melihat sekelilingnya.
“He..he..he
… dari dulu setiap diajak ke rumahku, kamu selalu nolak sih,” ledek Vanya
sedikit mengangkat alisnya. “Tahu gini sih nggak bakal nolak aku Van,” sahut
Marcha sambil memamerkan giginya yang terbaris rapi.
Mentari
membawa rona kebiruan semakin terlihat, ia juga bersanding manis bersama awan
putih yang pekat. Suasana sepagi ini
memang di rumah Vanya masih terbilang sepi. Tapi, kebiasaan Marcha yang
selalu bangun lebih awal, menjadi pemandangan yang berbeda. Sebab setiap kali Vanya terbangun, sahabatnya
sudah berhasil menyajikan berbagai menu di meja makan. Berbanding kebalik
dengan Marcha yang dilatih untuk mandiri, Vanya tumbuh dengan sifat
kekanak-kanakan. Jadi segala hal yang ia inginkan pasti harus dituruti. Apalagi
soal urusan dapur, dia tidak ikut campur sama sekali. Melihat Marcha yang
rajin, tante Farida tertegun. Sebagai seorang wanita karir yang super sibuk, ia
merasa terbantu sekali dengan perlakuan sahabat anaknya tersebut.
Seminggu
telah berlalu, kini giliran Vanya yang berkunjung ke rumah Marcha.
“Assalamu’alaikum, Tante Lisa…,” sapa Vanya kepada Bundanya Marcha. “Wa’alaikumussalam, eh Vanya, mau nginap di
sini ya?” Tante Lisa tersenyum ramah. “Iya, Tante.” Marcha menyusul dengan langkah tergopoh-gopoh
karena membawa beberapa kantong plastik berisi belanjaan, pemberian dari tante
Farida. “Bun, mau kemana kok rapi banget? Bawa koper gede lagi,” tanya Marcha
penasaran.
“Bunda
mau ke rumah nenek, Cha. Katanya beliau sakit, kamu di rumah aja ya sama Ayah,”
jelas Bunda. “Yah Bunda, tapi janji jangan lama-lama ya, hati-hati Bunda.” Marcha
memeluk dan mencium Tante Lisa.
Putaran
detik ke menit begitu cepat hingga tak terasa liburan hanya tinggal tersisa
beberapa hari. Anehnya, Vanya menjadi sedikit berubah. Sepertinya ia tidak
betah tinggal di rumah Marcha dan sering murung dan melamun.
“Van,
kamu kenapa?” tanya Marcha sedikit menyelidik. “Aku nggak apa-apa,” jawab Vanya
singkat.
Hingga
pada suatu malam, saat itu hujan cukup lebat. Sementara ayah sedang ronda
kampung. Tepat pada pukul 02.00 WIB ada tangisan histeris dari seorang wanita
yang sepertinya sedang kesakitan dan ketakutan. Sampai akhirnya Marcha
terbangun dan melihat sahabatnya sudah tidak ada di kamar. Setelah mendekat ke
sumber suara, betapa terkejutnya ia mendapati Vanya yang terbaring lemah di
sudut kamar mandi, dengan pakaian yang telah koyak. Serta beberapa bekas luka
di lengan dan wajahnya, ditambah lagi potongan-potongan rambut yang berserakan
memenuhi lantai.
“Ya
Tuhan, Vanya! Apa yang terjadi?” desak Marcha panik. Bukan jawaban yang
dilontarkan oleh Vanya melainkan rintihan-rintihan yang membuat keadaan saat
itu semakin miris. Tak lama kemudian Vanya pingsan di dalam dekapan Marcha.
Setelah
kejadian tersebut, tidak ada kabar lagi dari Vanya bahkan di pesta ulang tahun
Marcha yang ke-17 Vanya juga tak datang. Dan sampai waktu masuk sekolah tiba,
Marcha tidak pernah melihat sahabatnya kembali. “Apa yang membuatmu seperti ini
Vanya, aku takut barangkali itu adalah salahku,” tanya Marcha dalam hati sambil
melangkah pulang membawa teka-teki misteri.
2
minggu kemudian, ketika Marcha pulang sekolah. Ia melihat tante Farida berada
di teras rumahnya. Sementara ayah tidak ada. Tiba-tiba tante Farida menarik
paksa tangan Marcha dengan kasar. “Ayo, ikut saya ke kantor polisi!” Marcha mengelak kebingungan. “Loh kenapa
Tante? Aku salah apa? Ja-ja-jangan!”
Meronta sekalipun pada akhirnya Marcha tetap dibawa ke kantor polisi. Ia
dituduh menjadi pelaku penganiayaan atas sahabatnya sendiri. Karena menunggu
hasil pemeriksaan yang akurat, ia tetap harus diamankan dahulu di sel tahanan.
“Ya
Allah, apa yang terjadi bahkan menyakitinya saja aku tak mungkin.” Marcha hanya
mampu meratapi kenyataan hidup yang tak semanis madu.
**~~***~~**
Sudah 5
hari Marcha berstatus sebagai tahanan. Tapi, tiba-tiba ia dikeluarkan, dan
melihat ayahnya datang dengan tangan yang diborgol dan salah satu kaki yang
pincang. “Ayahmu adalah penjahat! Ia yang telah memperkosa Vanya, kejadian
malam itu adalah yang paling biadab, karena dia juga menganiaya Vanya hingga
terluka. Dan perlu kamu tahu, Vanya hamil sekarang!” bentak tante Farida
melangkah pergi sambil mendorong Marcha hingga jatuh tersungkur. Kalimat itu
membuat Marcha seakan ingin mati, batinnya teriris-iris. “Apa itu benar, Ayah?
Kenapa? Kenapa harus Vanya, Yah!”
“Hahahaha
… iya sayang, Ayah memang pelakunya, kamu tahu kenapa Vanya? Karena dia itu
cantik dan baik, tidak seperti bundamu yang berhati busuk!” jawab ayah seraya
tertawa.
Teriak
Marcha “Aaaarggghhhh … nggak, Yah! Ayah tegaaa!” Sebuah tamparan keras mendarat
di pipi sang ayah. “Dasar kamu! anak nggak tahu diri! Berani menampar ayah?
Lihat bundamu yang sudah menjual Marchello, adikkmu sendiri. Apa mungkin kau
memarahinya? Hah!”
Ternyata
rahasia terbesar dalam hidup Marcha terkuak sudah, hatinya semakin
terombang-ambing. Sebab dahulu si adik tidaklah hilang melainkan dijual dengan
sengaja oleh Tante Lisa. Dan baru ia ketahui pula jika orangtuanya telah
bercerai sebulan yang lalu.
Setelah
bebas dari tahanan, Marcha berniat untuk mengakhiri hidupnya. Tapi sebelum itu
terjadi, kembali ia datangi rumah Vanya untuk menebus kesalahan. Dengan jelas
ia melihat sebuah perdebatan. “Gugurin aja, Van! Mama nggak sudi kamu punya
anak dari laki-laki keji itu!” Mama Vanya menunjukkan wajah geram hingga
tatapannya penuh amarah.
“Nggak
ma! Aku takut ma!” jawab Vanya seraya menangis. Entah petunjuk apa yang Marcha
dapat. Ia memberanikan diri untuk menyela. “Biarkan saja anak itu di
kandungnya, setelah anak itu lahir. Saya yang akan merawat.”
“Apa
kamu bilang?! Semudah itu kah saya percaya?” ucap tante Farida dengan nada
tinggi. “Sudah Ma! Marcha nggak salah, tapi om Teddy yang salah,” pinta Vanya
sambil berlutut di kaki mamanya.
Tuhan
Yang Maha Kuasa, mampu melunakkan hati setiap hamba-Nya. 9 Bulan telah berlalu,
kini ruang operasi rumah sakit Harapan Indah – Semarang, menjadi saksi
kelahiran bayi laki-laki. Yang kemudian diberi nama Rasya El-Fatih, di luar
dugaan setelah melihat bayi itu, membuat Marcha mendapatkan semangat hidupnya
kembali. “Mulai saat ini juga, tolong bawa anak ini pergi, dan jangan pernah
kamu temui aku lagi, Cha!” ucapan Vanya membuat Marcha terbelalak, mana mungkin
detik ini juga ia membawa Rasya pergi.
Tetapi
takdir memang tergaris seperti ini, keloknya terkadang tak sesuai apa yang
dipinta. Marcha berjalan bimbang dengan sejuta pengharapan, di dalam dekapannya
kini ada tanggung jawab besar. Pengalaman pahit di usia yang baru menginjak 17
Tahun harus ia telan. Menjadi seorang tahanan di tempo lalu, juga membuat ia
dikeluarkan dari sekolah. Pupuslah segala impian, hanya Rasya yang saat ini
harus diperjuangkan.
Peluh
yang menetes deras, tak mengurangi sebuah kerja keras. Layaknya seorang ibu, ia
sangat mencintai Rasya, meski sekarang hingga kedepan, beribu kerumitan siap
menghadang. Dari mulai tangisan Rasya di tengah malam, hingga pemenuhan gizinya
di setiap hari, sudah ampuh membuat Marcha semakin terlihat malang. Belum lagi,
hujatan orang-orang yang menganggap dirinya rendah menjadi musik pengiring di
setiap kaki melangkah.
Lain
hal dengan Marcha, tante Farida membawa putri kesayangannya pergi, mereka
pindah ke luar negeri, untuk mengurangi traumatis yang diderita oleh Vanya.
Selain itu, Vanya juga melanjutkan studinya yang telah lama tertunda.
7 tahun kemudian, Rasya yang semula
bayi kini sudah tumbuh menjadi anak yang tampan. Selain itu, ia juga cerdas dan
bercita-cita ingin menjadi seorang pianis. Terkadang, Marcha sering dibuat
kagum oleh adik tiri yang sekaligus merangkap menjadi anak angkatnya tersebut. Saat
ini terlihat lebih mirip Marchello, karena kebetulan hobi mereka pun sama,
apalagi ketika jemari tangan Rasya begitu piawai memainkan piano tua di
rumahnya, peninggalan adik Marcha dulu. Semakin membuat ibu muda itu merindu.
“Mami, kenapa liatin aku terus?” Tatap Rasya
membulatkan matanya. “Sayang, mami bangga sama kamu. Kamu itu bikin hidup mami
lebih berarti,” Mendekap Rasya dalam-dalam penuh kasih sayang.
Karena
kegigihan Marcha, usaha yang dirintisnya sudah mulai berkembang dan memiliki
beberapa cabang. Sudah cukup untuk menghidupi mereka berdua hingga saat ini.
Suatu hari, Rasya merengek meminta agar diizinkan ikut lomba musik, mewakili
sekolahnya. Marcha adalah sosok ibu yang penyayang meski Rasya bukan anak
kandung, ia tetap saja memperlakukan dan memberikan yang terbaik.
Setelah
pementasan berlangsung, Rasya yang meraih juara 1, mendapat sorak sorai yang
meriah. Kemudian ia turun dari panggung dengan bangga, namun ada satu hal yang
membuatnya sedih. “Mam, aku nggak punya papi ya?” Rasya tertunduk. “Siapa
bilang nggak punya? Rasya punya papi kok, cuma udah meninggal sayang,” ucap
Marcha meyakinkan meskipun itu hanya sebuah kebohongan.
Tepat
di hari Sabtu, setelah Rasya berhasil mendapat kejuaran di bulan lalu, kini ia
sering di undang ke berbagai acara sebagai pengiring musik Seperti kali ini,
undangan itu berasal dari keluarga konglomerat yang akan membuat pesta pernikahan.
Namun sayangnya, Marcha tidak bisa mendampingi Rasya lebih awal karena masih
harus mengurus pesanan kue, jadi ia hanya berjanji akan menyusul putra
kebanggannya itu setelah pekerjaan usai.
Denting
piano menembus menelisik ke penikmat musik. Seisi ruangan diselimuti suka cita
termasuk kedua mempelai. Hingga pada lagu ketiga yang diiringi, Rasya
memberanikan diri, meminta sedikit kesediaan waktu kepada seluruh tamu untuk
mendengarkan lagu persembahan untuk ayahnya yang telah tiada.
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Penggalan bait demi bait terasa sekali, hingga
tak sedikit yang menangis haru. Tiba-tiba seorang laki-laki, yang merupakan
mempelai putra di pernikahan itu, bergegas menghampiri Rasya dan memeluknya. Ia
menangis tersedu-sedu sampai pada akhirnya ia berkata “Saya pernah merasakan
pilu, tetapi lebih dari ini. Karena dipisahkan dari ayah dan kakak perempuan
oleh bunda saya sendiri. Dan dengan tega membiarkan anaknya dirawat oleh
keluarga lain. ”Sesekali pria itu menyeka air matanya.
“Mungkin
ini pertama kali saya akan berbicara tentang masa lalu di depan umum, untuk ayah dan kak Marchasella di sini saya Marchello Nathan
sangat merindukan kalian, semoga kelak kita bertemu dan bersama lagi.” ucap
laki-laki tersebut dengan jelas.
“Tunggu! Apa kamu bilang
Marchasella?” sela seorang wanita yang baru saja sampai di ruangan itu. “Mami!”
panggil Rasya.
“Apakah
ayah kamu bernama Teddy?” tanya Marcha yang kemudian diikuti oleh anggukan pria
tadi. “Ya Tuhan,
ini kakak, Dek. Kakakmu,” jelas Marcha seraya menangis dan memegang wajah pria
tadi untuk memastikan.
“Sayang,
aku turut bahagia kamu menemukan Marchasella kembali.” sahut mempelai putri
yang ternyata adalah Vanya.
“Iya
sayang, aku nggak nyangka Tuhan begitu amat baik.” Marchello memeluk Marcha dan
Vanya.
Suatu
kejadian di luar logika mereka, pengorbanan Marcha selama ini membuahkan titik
terang. Tak hanya Rasya yang ia miliki sekarang, namun keinginan bertemu dengan
Marchello Nathan juga terwujud. Begitupula dengan Vanya, ia sempat ikhlas
mengandung Rasya, justru itu menghantarkan Vanya pada sosok lelaki yang tulus
dan berhati baik yang tak lain adalah adik kandung Marcha. Kini mereka memulai
semua dari awal. Meskipun begitu, menjaga rahasia tentang siapa orangtua
kandung dari Rasya menjadi sebuah pilihan Marcha dan Vanya. Ini semua mereka
lakukan agar kedua pria tercintanya, yaitu Marchello Nathan dan Rasya tidak
tergores luka.
Sebuah
alur kehidupan menjadi kuasa Tuhan, entah itu akan diselingi tawa ataupun lara.
Suatu ketidakpastian akan menjadi pasti jika alam menghendaki. Sebuah
ketidakmungkinan akan menjadi mungkin, apabila semesta telah berbicara. (Tegal - @atikars12)
Posting Komentar untuk "Semesta Berbicara Cerpen Karya - Atika R Diana"