Tepat
di mana jingga memamerkan warna indahnya, aku mengamati langit dari sebuah
taman yang sunyi. Taman yang ditumbuhi bunga-bunga yang indah. Betapa
menyejukkan kala aku duduk di bangku taman. Dipayungi pohon rindang dan
ditunjukkan berbagai tumbuhan di taman ini.
Kala
senja masih menjadi raja di angkasa, kutulis sebuah keinginan. Keinginan yang
kucurahkan dalam di buku kecilku. Buku berwarna biru langit yang menggambarkan
suasana hatiku. Sungguh, aku lebih suka menuangkan apapun dalam kertas putih.
Aku
Filantropi. Gadis yang tidak pernah jatuh cinta sama sekali. Namun, entah
mengapa orang tuaku menamakanku Filantropi yang artinya cinta. Ingin tergelak
rasanya menerka kenapa nama itu melekat di akta kelahiranku.
Aku
kembali menunduk melihat kertasku yang tertuang tulisan. Sebuah font rapi
tertuang di kertas itu. Kusemogakan keinginan ini menjadi nyata. Bukan fiksi
semata.
Aku
ingin jatuh cinta.
Begitulah
tulisannya. Senyumku merekah. Sampai menyadari arlojiku menunjukkan waktu
hampir malam, terlintas di otakku melihat mentari pulang ke tempatnya. Akhirnya
setelah bulan menyelinap, aku akan pulang.
"Astaga,
bukuku!"
Buku
itu masih di bangku lengkap dengan bolpoinnya. Namun, kala akan kututup, ada
tulisan orang lain di sini. Aku menatapnya lekat. Lalu kuedarkan pandang. Tidak
ada seorang pun di sini.
Aku
akan jatuh cinta.
Tulisan
ingin dicoret digantikan akan. Ya Tuhan mendadak jantungku berdetak kuat. Siapa
yang melakukan ini? Seseorang yang iseng atau orang di suatu tempat yang dibuat
untukku? Aku menggeleng kecil lalu melanjutkan berjalan kembali ke peraduanku,
griya putih dengan pagar cokelat.
Keesokan
hari tepat pukul 17.00 WIB, aku datang ke taman lagi. Kurapatkan jaket. Memang
seusai hujan, suasana menjadi dingin di belahan bumi yang kutempati ini.
Seperti biasa, aku perempuan setinggi seratus enam puluh lima senti meter hanya
menjadi pengamat.
Taman
yang sepi sangat cocok untukku yang tidak suka hingar-bingar laksana di kota
besar. Detik ini tepat kuedarkan pandang ke sekitar. Kutangkap seorang lelaki.
Tampan. Kutersenyum tanpa sadar.
Lelaki
yang duduk di paving sambil menghitung daun melati putih dan menandai daun itu
dengan penanya. Eksentrik. Apa yang ia lakukan? Kala aku larut dalam aktivitas
lelaki itu, tanpa sadar lelaki datang menuliskan sebuah angka pada tanganku.
Angka
dua ratus dua puluh empat. Aku menunduk takut. Apa maksudnya? Aku mengernyit
kebingungan.
"Di
senja itu, aku menemukan buku biru langit. Dan sepertinya punyamu. Jadi
kugantilah kata ingin menjadi akan," gumamnya dengan suara berat khas
lelaki. "Akan, itu sesuatu yang pasti terjadi padamu ...."
"Apa
arti nomer ini?"
Dia
tersenyum tipis, begitu tipis, "Aku mencintaimu hari ini, besok, dan
selamanya."
Demi
apa aliran darahku seperti sungai yang mengalir deras. Membuatku terdiam
menghela napas dan tersenyum ramah. Dari sana aku tahu siapa dirinya. Seorang
lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Antipati.
Ternyata
Antipati mengamatiku diam-diam yang rutin datang ke mari. Namanya unik. Namanya
mempunyai arti benci yang berbeda denganku. Yang berarti cinta.
Kita
sampai tertawa kala membahas nama satu sama lain. Antonim, Antipati sempat
berkata seperti itu. Antipati sendiri lelaki jangkung yang berkulit putih dan
wajahnya begitu menawan. Seperti kataku tadi, tampan.
Hari
berikutnya kita mengunjungi bangunan kecil dengan kayu sebagai temboknya. Kata
lelaki unik itu, Antipati tidak bisa tinggal bersama ibu, ayah, dan adiknya.
Karena adiknya menderita SCID. Di mana
rumah megah yang bersebelahan dengan rumah kayunya harus selalu disterilkan.
Ya, penyakit langka itu membuat kekebalan penderitanya sangat buruk.
Semburat
ideku pun muncul. Aku mengajak Antipati menggambar di jendela adiknya dari sisi
luar. Dari luar juga aku melihat perempuan mungil murung di sana. Kuedarkan
pandang ke sekitar, mendapati Antipati tersenyum penuh untuk pertama kalinya.
Telak membuatku laksana terombang-ambing di luar angkasa.
Antipati
mulai mengambil spidol di rumah kayunya. Dan di masa yang sama aku bisa
berkenalan dengan adiknya, Kasih. Kita bercerita walaupun dibatasi jendela.
Sungguh, Antipati sukses mengenalkan diriku pada dunianya. Dan sekarang
dunianya telah mengenalku sebagai Filantropi yang sedang merasakan buih-buih
cinta tumbuh perlahan padanya.
Kala
menggambar bumi dengan planet di kaca bening. Aku diam-diam curi pandang ke
Antipati. Diamnya lelaki itu berbanding
terbalik dengan dadaku yang berdebar kuat. Aku sampai harus mengusap dadaku
akibat kharismanya yang menawan.
"Kak
Filantropi terima kasih telah menunjukkan dunia luar melalui jendelaku."
"Sama-sama."
Dan terima kasih telah menjadi adik Antipati yang lucu.
Percaya
tidak kalau pertemuan pertama pasti ada pertemuan selanjutnya? Dan aku sangat
percaya. Entahlah, langit dan matahari pagi mengatakan begitu padaku. Lewat
embunnya di dedaunan tanaman hiasku.
Aku
akan ke rumah Antipati lagi. Mengenakan dress bunga-bunga dan bandana senada
dengan warna dressku, merah hati. Sialnya aku kembali merasakan meteor jatuh
kala mataku terpejam. Pertanda apakah ini? Kuharap kebahagiaan ini bertahan
lama.
Sesampainya
di halaman rumah Antipati. Aku melihatnya dengan kemeja merah. Ya Tuhan tepat
sasaran panahnya menuju afeksiku. Debaranku kembali kambuh seperti penyakit
kronis. Kutersenyum-senyun sendiri mengamati Antipati yang berjalan ke arahku.
Sekarang
jarak kami begitu dekat. Tatapannya begitu teduh. Tangannya yang lembut mengenggam
menghangatkan buku-buku tanganku yang kedinginan. Sampai di dekat rumah orang
tuanya yang seperti castle, Antipati berjongkok. Aku menertawainya dan malah
menarik tanganku dan ikut berjongkok.
"Mau
taruhan denganku?" Antipati menantangku, aku mengangguk dengan cepat.
"Apa?"
"Kita
hitung daun jeruk ini hingga habis. Jika jumlahnya ganjil, aku akan akan
mengatakan isi hatiku. Jika genap, kamu yang harus mengatakan terlebih
dahulu."
"Menarik."
Aku
dan Antipati mulai menghitung daun jeruk. Rasanya ada pertanyaan berbaris di
kepalaku. Siapa yang akan mengatakan isi hatinya terlebih dahulu? Aku terpejam
menetralkan debaran ini.
Yang
mengatakan jika mata salah satu dari kita tertutup. Bisa melihat orang yang
dicintai lebih indah dari aslinya. Dan yang mencurahkan melalui kedua matanya.
Bahwa memandangnya seperti memandang malaikat tersenyum ceria. Jika menghirup
aromanya, seperti bunga kasturi.
Hitungan
terakhir begitu final. Antipati yang akan mengatakan isi hatinya. Tahu-tahu
karena kemenanganku itu, aku reflek terlonjak girang. Lelaki itu sampai
mengikuti pergerakanku melalui matanya yang lincah.
Tanpa
sadar lelaki itu semakin mendekat. Jarak di antara kita pun sudah terkikis.
Jantungku memompa darah begitu cepat. Mataku tidak berani lagi berkeliaran,
hanya terfokus pada netranya yang menatap dalam. Laksana layangan, dia adalah
angin yang membawaku terbang.
"Aku
merasa terombang-ambing di luar angkasa kala melihatmu, kuharap hembusan angin
bisa mengatakan betapa aku mencintaimu ...."
Bumi
seolah berhenti berputar serupa dengan jam yang seolah berhenti pada detik itu.
Kakiku lemas dan mataku menatapnya dalam. Inikah cinta? Inikah perasaan yang
membuat bahagia dan indah di saat bersamaan?
***
Aku
melenggak ke cakrawala. Mengamati pancaronanya yang menyilaukan mata. Pagi ini
aku berjanji dengan Kasih akan mengenalkan warna-warni selain pelangi, krayon,
dan pensil warna. Namun bukan hanya itu.
Aku
juga akan menyatakan pada Antipati tentang perasaanku. Kemarin bukannya dia
telah menyatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Dan tanggal hari ini genap.
Giliranku.
Setelah
membeli bunga, aku membawakannya beraneka macam bunga dengan warna berbeda. Ya
Tuhan, bunga-bunga di tanganku begitu cantik. Jika nanti kuhias jendela Kasih
dan menyatakan cinta di bawah pancawarna pelangi, pasti Antipati akan sangat
mengenang kisah cinta kita. Kubawa bunga ini ke rumah Antipati.
Aku
pun melewati jalan yang sepi. Mendadak sebuah mobil muncul di depanku. Sebuah
mobil sedan yang siap menghantamku. Aku terkejut setengah mati.
Badanku
terjatuh ke tanah. Sebelum mataku terpejam, kulihat pelangi yang mulai memudar.
Demi apa nyeri sekali kepalaku. Seolah dituang timah panas.
"Antipati
...," desisku perlahan mataku terpejam.
Tatkala
mataku terbuka kuedarkan ke sekeliling ruangan. Sunyi. Menandakan ruangan
rawatku tidak ada seorang pun di sini. Hanya kutemukan daun dengan nomer dua
ratus dua puluh empat.
Tanganku
gemetar mengambilnya di nakas. Kupeluk begitu erat. Di mana Antipati? Apakah
dia meninggalkanku tatkala aku koma di rumah sakit ini? Kala pintu ruang rawat
terbuka, ada seorang perempuan paruh baya yang menghampiriku.
Beliau
menangis seraya memelukku begitu erat. Namun, keheningan ini lenyap. Perempuan
itu menceritakan semuanya. Beliau berkata hal yang membuatku ingin menangis
sejadi-jadinya.
Antipati
telah tiada. Katanya kala aku kecelakaan, Antipati menangis histeris. Itu salah
satu penyebabnya. Ya, antipati menderita adams oliver sindrom.
Sebuah
sindrom bagian kulit kepala dan tengkorak di mana setengah tengkorak kepala
Antipati menghilang. Kepalanya hanya dilindungi cairan di sekitar otak dan
lapisan kulit tipis. Jika menangis saja akan menyebabkan hal yang sangat fatal.
Kematian.
Mendengar
penuturan itu. Badanku lemas seketika. Netraku dibanjiri air mata. Rasanya
sesak. Bagaikan ditancapkan belati putih berkali-kali, baru bangun disuguhi
luka yang mendalam.
Detik
itu juga kuputuskan bersama ibunya ke makam Antipati. Sesampainya di sana, aku
bisa mencium aroma taburan bunga di atas makamnya begitu wangi. Dulu aku akan
memberikan bunga sebagai pertanda cinta. Namun, sekarang orang-orang memberikan
bunga pertanda Antipati telah tiada.
Sembari
duduk di kursi roda, kupandang pusara Antipati. Lelaki yang mengalah dengan
adiknya karena sama-sama memiliki sindrom langka. Senyumku begitu rapuh. Belum
mengatakan isi hati, akan tetapi hatiku sudah tergores sendiri.
"Ketika
cinta adalah sihir, aku butuh kamu sebagai mantra ...."
Butiran
bening jatuh di pelupuk mataku. Bersamaan dengan itu aku menaruh daun
bertuliskan angka dua ratus dua puluh empat ke tempat peristirahatan terakhir
Antipati. Setidaknya akan yang Tuhan rencanakan telah pernah terjadi. Aku jatuh
cinta.
Untuknya, terima kasih karena akan telah benar-benar terjadi, batinku. Bersama ibu
Antipati, kita meninggalkan komplek pemakaman dengan perasaan sendu. Ada
kalanya yang ingin menjadi akan. Yang akan menjadi pernah. Kemudian berakhir
digenggaman Tuhan. (Pati - Jawa Tengah @sevinadwialyani_)
Bionarasi
"We don't have to wait
for the inspiration to come, we create it ourselves." Sevina Dwi Alyani
kelahiran 2005. Selama aku mengangkat pena, aku telah menulis quotes,
cerpen, dan puisi. Aku terlalu mencintai tulisan-tulisan, bagiku mereka
saudara.
1 komentar untuk "Filantropi dan Antipati - Cerpen Oleh: Sevina Dwi Alyani "