Namaku Raina aku seorang anak yang memiliki kekurangan, aku
terlahir sebagai anak polidaktili, saat aku lahir ibuku juga kekurangan darah.
Saat melahirkanku perjuangannya begitu keras aku terlahir sebagai kategori bayi
prematur. Selain itu karena iburahimnya sangat lemah hingga harus di oprasi
pada saat itulah orang tuaku menjual semua hartanya, namun sayang aku lahir
kedunia bayarannya harus nyawa ibu.
Bagaimana tidak semuanya serba kekurangan.
18 tahun setengah berlalu...
Hari dimana pengumuman naik ke kelas 2Sma
“Inilah yang di tunggu tunggu, pengumuman juara1 Umum yang
akan di bacakan langsung oleh bapak kepala sekolah,” ujar waka kesiswaan dengan
semangat.
Waka kesiswaan memberikan micnya ke kepala sekolah agar
membacakan siapa juara umum di Sma Mahardika11.
Dengan jantung yang sedari tadi sudah dag dig dug, dan
berdenyut tak menentu aku tak sabaran siapa yang
Akan menjadi juara1 umum, di karenakan pada masa kenaikan
kelas 11 akulah yang juara1 umum tersebut.
“Baiklah saya tau kalian pasti sudah dag dig dug menunggu
siapa yang akan menjadi juara1 umum di sekolah kita pada kali ini,” ujarnya
membuatku tambah penasaran.
“Langsung saja juara 1umum jatuh kepada...”
Menjeda ucapannya sekitar beberapa menit, aku menarik nafas
dalam membuangnya dengan kasar. Semangkin kesini semangkin membuatku penasaran.
“Juara1 umum jatuh kepada... Alianda Rania Maharani Floura,”
ujarnya sangat meriah.
Suara yang kuat dan melengking di telinga membuatku terharu
bahagia, aku maju kedepan dengn bangga, dan sedih lagi lagi aku maju sebagai
juara umum dengan bahagianya namaku terdengar jelas oleh ratusan siswa lainnya.
“Rania selamat nak lagi lagi kamu berprestasi,” menjabat
tangan ku.
“Terimakasih bu,” senyumku paling bahagia.
Semua orang mengucapkan selamat kepadaku.
“Yah nih hasil ujian akhirku,” menyodorkan dengan wajah
terpaksa.
“Alhamdulillah nak,” ia tampak kaget bahagia melihat hasil
Raina.
“Nakkk...”
“Hmm,” gumamku buang
muka.
“Kamu memang anak ayah paling luar biasa,” laki laki itu
mendorong kursi rodanya mendekat dengan ku ia ingin memeluk.
“Ihhh apaansih ga usah peluk peluk,” bentak ku.
“Astaqfirullah nak kamu ini,” mengelus dada.
“Apaansihh,” ujarku sangat geram kepadanya.
“Andaikan ibu masih ada pasti ibu bangga dengan ku, ibu
pasti senang, kenapasi aku yang nanggung semuanya, kenapasih aku yang harus
terlahir punya ayah ga berguna sama sekali? Sumpah deh ayah itu cuma beban
kalau ayah ga di kursi roda ga
jadi ayah yang menyandang Disabilitas. Kek aku itu punya
sosok laki laki tapi ga berguna sama sekali percuma,” lanjutku aku pergi
meningglkan nya.
Pada saat itu aku benar benar tak menghiraukan perasaannya
karena apa yang ku bilang tadi sesuai sama kenyataan jadi sah sah saja.
***
“Raina... ini sudah siang loh nak,” membanguuni degan
lembut.
“Eeemm.”
“Bangun, udahh pagiloh ini.”
“Ya ampuun aku masih ngantuk,” tapi akhirnya aku memutuskan
untuk bangkit juga.
“Audah ngantuk banget, minggir aku mau mandi” gertak ku menggeserkan posisi kursi roda.
Lelaki itu hanya geleng kepala, ia tak berkata sepatah
katapun.
***
Dengan langkah jalan yang teratur wanita itu datang membuka
tudung saji yang terbuat dari rotan.
“Yahh... ayaaahh,” teriaknya dengan suara yang kuat,
sehingga memenuhi ruangan.
“I, ia sebentar nak,” lelaki tua yang duduk di kursi roda
itu segera saja langsung menghampiriputrinya.
“Ada apa?”
”Ada apa, ada apa ga liat noh mana lauk aku lapar yah masak
aku harus makan kerak nasik lagi ogah,” dercanya
marah marah.
Astaqfirullah nak, ayah cuma punya itu. Ayah ga punya uang,”
jelas laki laki itu dengan menahan tangisnya.
“Udah deh emang ayah ga guna sumpah kalau kyak gini mending
aku tinggalin ayah aja sendiri,” Raina pergi kekamar nya.
Raina, ia sengaja membantingkan pintu kamarnya sangat kuat
sehingga membuat ayahnya terkejut.
“Astaqfirullah,” mengelus dada.
Lelaki itu berusaha menyabarkan dirinya.
“Kalau begini aku bisa bisa bakalan terus terusan melarat
apa lagi hidup susah sama orang tua beban yng bisanya cuma nyusahin kapansi
ayah itu ga usah buat aku susah ribet amat hidupnya kalau gitu mendingan ayah
aja dulu yang meninggal kenapa harus ibu,” geram.
“ahh udah deh mending aku keluar aja buat ngilangi suntuk,”
Raina bangkit dari tempat tidurnya.
“Rania mau kemana
nak?”
“Ga urusan ayah sera akulah mau pergi kemana emang masalah
buat ayah ga kan! Yaudah ga usah nanya nanya,” ujar Raina membentak.
“Raina kamu itu satu satunya harta ayah, kamu itu berarti
buat ayah. Ayah ga salahkan kalau nanyak.”
“Udah dehhna ayah itu ga berguna ga usah sok deh percuma,’’
Aku langsung pergi meninggalkan ia dirumah.
“Sumpah itu orangtua susah amat ribet semua mau tau heran
udah ga pernah ngasih uang jajan soksoan mau nasehat kebanyaan cakap,” dercaku.
Kebanyaan orang mengatakan bahwasanya anak perempuan itu
cinta pertamanya adalah ayah, tetapi itu tidak berlaku padaku justu orang yang
ku benci pertama adalah ayahku, ia tak seperti lelaki lain ia sangat payah,
bahkan hidupnya hanya embebaniku selama 20tahun.
01 April tepat ultaku bahkan sepeserpun laki laki itu tak
memberiku kado. Selama 20tahun aku tinggal di rumah gubuk bersama ayah kini,
aku sudah tumbuh dewasa aku juga suda tamat sekolah kini aku melanjutkan
sebagai pelukis, karya karya lukisan ku sudah banyak terjual
hingga keluar kota rencana uang lukisan itu akan ku gunakan untuk pindah ke
kota dan meninggalkan ayah apalagi ia sekarang hanya seorang laki laki tua yang
lemah tak berguna, ayah sekarang sudah sakit sakitan uangku hampir habis gegara
sering membawanya kerumah sakit.
Uhhuukk, uhhuuk. Suar batuk yang kuat.
“Yahh bisa diam ga aku lagi melukis ribut amat keluar sana,”
ujarku sambil melukis.
“Maa, maaf nak ayah rasa ayah butuh obat,” sura sesak
sesakan.
“Yaudah belilah sana ga lihat apa aku lagi melukis.”
Uhuuk... uhukk... suara batukan ayah terus terusan saja
menggangguku.
“Bisa diam gasihh,” bentkku mulai emosi mendengar suaranya
yang terus terusan batuk batuk.
“Nakkk tol... to... tolong,” suara ayah terdengar putus
putus.
“Apaan lagi sih berik amat,” aku memutuskan bangkit dan
meninggalkan lukisanku itu.
“Apaan?” berkacak pinggang di depaan pintu.
Uhuuk... huuk, ayah memuntahkan darah dari mulutnya.
“Ayahhh,” Teriakku mulai panik aku segera saja
menghampirinya.
“Ayah, yah ayah bertahan ya,” ujarku menenangkan.
Saat itu rasa panik akan ayah mulai menyelimuti jiwaku, aku
mencoba mengambilkan pil penenang dari dokter.
“Ayah yah sini minum pilnya dulu.”
“S- sudahlah Raina ayah rasa ayah tak akan lama lagi,”
memegang pipi Raina.
“Yah ayah ga boleh gitu, pokoknya ayah harus kut,” saat
itulah aku menangisi seseorang yang selama ini selu ku lawan.
“Ra- rai na kamu udah dewasaya, selama ini ayah belum bisa
bahagian kamu selama ini ayah hanya menjadi beban buat kamu, sekarang ayah yang
tak berguna ini akan pergi buat selamanya,” menangis.
“Ga ga, ayah harus kuat, ayah ga boleh ninggalin aku,” air
mataku menetes, tangis ini semangkin menjadi jadi.
“Ayah sudah tidak tahan, kamu harus hidup dengan baik kamu
juga harus tumbuh menjadi anak yang hebat, kamu pintar kamu pasti masuk
kemanapu ayah jamin itu. Raina kamu jangan malu sama kekurangan kamu ya kamu
anak istimewa kok,” tersenyum menguatkan Raina.
“Yah bagaimana mungkin aku baik baik saja tampa ayah,”
Memgang erat tangannya.
Namun ayah hanya tersenyum perlahan melempitkan tangan nya
ke perut, saat itu jugalah matanya tertutup menghembuskan nafas terakhir.
“Ayaaaahhhhh tidakkkkkk yaahhhh,” Teriakku semenjadi mungkin
aku mulai merasakan kehilangan terhebat, sebelumnya aku tak pernah merasakan ini.
Aku merasa anak yang berengsek anak yang bisanya hanya melawan anak kurang ajar
yang tidak tau diri.
“Yah Raina menyesal, yah Raina mau ayah kembali Yah Raina
belum siap kehilangan sosok ayah, Raina menyesal yah.”
Aku memeluk mayat lelaki itu dengan erat, tak henti henti
aku menciumi dan menangis di peluknnya.
“Yahh, Raina mau ngobrol dengan ayah 1Jam saja yah,”
mengharap kalau ayahku hidup kembali. (Medan - Rizka Hinayah)
1 komentar untuk "CERPEN - SATU JAM SAJA - Oleh Rizka Hinayah"