Aku terperanjat
dari tidur malamku saat mendengar suara kereta yang melaju kencang. Sepertinya
lagi-lagi aku ketiduran di bangku stasiun. Beruntung malam itu tak terlalu
ramai orang yang akan naik kereta. Jadi kupikir, aku tak terlalu mengganggu
para calon penumpang yang ingin duduk di sini. Beberapa dari mereka kadang
mengusirku dengan kasar dan memintaku untuk pergi.
Kuregangkan
tubuhku yang putih mulus. Berharap ototku tak tegang setelah tidur malam yang
sempat terjeda tadi.
“Sepi sekali,”
batinku. Bahkan petugas stasiun dan para porter yang biasa mangkal di sini juga
tak kelihatan batang hidungnya.
Orang jaman
sekarang sepertinya lebih memilih bepergian menggunakan kendaraan pribadinya
dibanding harus bersusah payah naik kereta. Membuat orang-orang yang bekerja di
stasiun lebih banyak menganggur.
Saat aku hendak
kembali tidur, mataku yang bulat dan berwarna biru menangkap kedatangan seorang
pemuda tampan dari kejauhan.
Aku berniat
mendekat padanya dan menyapanya. Sudah kuduga, kali ini ia akan datang. Cukup
lama pemuda itu tak ke stasiun ini. Satu bulan yang lalu adalah terakhir kali
pertemuan kami.
“Kamu nunggu
aku?” Pemuda itu membelai kepalaku. Sungguh menyenangkan saat ia memanjakanku
seperti ini. Aku menyukainya.
Ia kemudian
berjalan ke bangku tempat aku tidur tadi dan duduk di sana sambil meletakkan
tas ranselnya yang berat.
“Kamu tambah
cantik aja.” Kini pemuda itu mengelus daguku dengan mesra. “Udah makan belum?
Ini aku bawa makanan buat kamu.”
Pemuda itu menyuapiku.
Ia memastikan aku makan apa yang ia bawa. Ternyata ia mengingatku.
“Kayaknya, kita
nggak bakal ketemu lagi, deh. Aku udah resign dari pekerjaan dan aku nggak
bakalan balik ke Jakarta. Ibuku yang ada di desa sakit-sakitan. Nggak ada yang
jaga dia. Kamu baik-baik di sini, ya. Jangan nakal.”
Aku menatap
wajah lesu pemuda itu dengan tatapan haru. Aku baru saja mengenalnya dan kini
ia berkata bahwa kami tak akan pernah bertemu lagi.
Beberapa saat
kemudian, terdengar suara kereta yang berhenti. Sambil sedikit bergegas, pemuda
itu kembali memakai ranselnya. Pemuda itu masih sempat melambaikan tangannya
padaku sebelum akhirnya pria itu masuk ke dalam kereta.
Pemuda yang
kupikir benar-benar menyukaiku itu ternyata hanya singgah. Tak ada yang bisa ia
janjikan kecuali sebuah perpisahan.
Kupalingkan
wajahku dari pemuda kejam itu dan berjalan menuju pemuda lain yang memanggilku,
“Pus!” ( Kediri, 28
November 2022 - Icha Isnaini )
Posting Komentar untuk "CERPEN - SINGGAH - Oleh : Icha Isnaini"